Mohon tunggu...
MJK Riau
MJK Riau Mohon Tunggu... Administrasi - Pangsiunan

Lahir di Jogja, Merantau di Riau

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Sok Gagah Sama Istri, Padahal Takut!

5 November 2018   06:53 Diperbarui: 5 November 2018   07:28 326
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber: https://whalaa.com

Iman memang sering mondar mandir. Pada saat hati senang terkadang iman hilang. Namun sebaliknya jika hati sedang ciut, maka iman pun datang. Pada saat sedang menghadapi rasa takut itulah buru buru iman ditaruh di dada, di tempel di hati biar lengket, dibalut dengan doa berkepanjangan biar bersatu dengan Ruh. 

Apa yang anda lakukan kalau ingin pergi jauh pada tengah malam, namun berharap berangkat sendiri tanpa istri ? Tentu pura pura tidur dulu, dengan harapan istri juga tertidur sehingga pada saatnya, dapat ditinggalkan untuk berangkat sesuai dengan rencana. Itulah yang pernah saya lakukan ketika masih muda dulu. Masih pengantin baru, punya urusan untuk memperpanjang STNK motor ke Pacitan, sementara saya berdomisili di Jogja.

Praci baru menuju Pacitan. Namun jalur yang paling pendek adalah Jogja Wonosari Gunung Kidul menuju Pacitan. Jalan dari Jogja ke Wonosari Gunung Kidul saja sudah mendaki menanjak, kemudian nanti akan berlanjut dengan jalan tembus Wonosari Pacitan yang bukan saja belum pernah tahu medannya, tetapi biasanya di kanan kiri banyak perbukitan, hutan, pepohonan dan tentu saja sangat sepi dan tidak ada rumah dan perumahan yang dilewati, pada tahun 87an. 

Namun karena waktu dan menganggap lewat Gunung Kidul itu jarak yang terpendek, maka kami putuskan untuk melewati jalan yang sebetulnya mengerikan itu. Malam hari jalanan Jogja Wonosari walau pun sepi, dengan kondisi aspal yang mulus, ternyata ada beberapa pejalan kaki yang membawa gendongan secara berombongan kami temui. Kami berpikir mungkin mereka para pedagang dari Gunung Kidul yang ingin mencari rejeki ke Jogja. Sampai Wonosari jalanan semakin sepi, namun tanpa sengaja, kami melihat ada bapak bapak yang duduk di simpang, mungkin mereka sedang main kartu. 

Tanpa rasa curiga terhadap kami berdua, karena kami menggunakan mantel pasangan baju dan celana, sehingga istri saya luar dari tidak tampak kalau seorang perempuan, kami diberitahu arah menuju Pacitan. Akan ada simpang tiga, kalau lurus menuju Wonogiri, kalau belok kanan menuju Pacitan. Alhamdulillah, kami menemukan jalan seperti petunjuk yang kami terima. Begitu menjumpai simpang tiga, kami ambil arah ke kanan.

Tanpa kami sadari pada saat mempunyai rencana berangkat, dari situlah awal dari jalan yang membuat hati menjadi ciut. Bukan hanya itu di jalan itulah, nafas seolah terhenti dan hanya dengan bekal mulut komat kamit istighfar sajalah yang kami punya. 

Jalanan begitu sepi, tidak ada suara sama sekali. Konsentrasi terus ke depan, karena kalau memandang ke samping kiri, tiba tiba ada bukit besar seolah akan menghempaskan kami berdua. Begitu juga jika melihat ke kiri, kalau tidak hutan dan pepohonan, maka pada saat melewati belokan, bukit itu begitu besar ada di sisi, seakan menghadang perjalanan. 

Suasana gelap menyelimuti jalan yang terkadang lurus terkadang belok, naik turun bukit, dengan kondisi jalan belum beraspal. Hanya lampu motor yang menerangi jalan itu.

Pada suatu tanjakan tiba tiba mesin motor mati. Kami pun hampir terjatuh karenanya. Setelah agak seimbang dan menghidupkan motor kembali, sorot lampu motor bukan ke jalan lagi, namun sudah ke berbelok ke arah lain. Nun jauh di sana terlihat ada lampu yang menyala. Tiba tiba saya berniat ingin menuju lampu itu, saya berpikir bagus juga kalau istirahat di sana, mungkin ada rumah karena ada lampu. 

"Tidak usah! Kita terus saja." kata istri saya.

Kami pun melanjutkan perjalanan dan kembali menyusuri jalan sepi itu. Tanpa kami sadari keringat dingin mulai mengucur di pipi. Bagaimana ada rumah di tempat sepi seperti ini. Bagaimana ada lampu di tempat gelap seperti ini. Itu satu satunya lampu yang kami jumpai. Istighfar, menjadi modal utama. 

Namun saya terkejut dan takut pun langsung menyelimuti. Ada bayang bayang di depan sana. Seperi dua orang yang sedang berjalan. Suasana mencekam dan rasa takut yang menghantui membuat tangan untuk memutar gas, supaya motor dapat lebih cepat berjalan pun, tak dapat. Berasa Ruh sudah berpisah dengan jiwa. Ketika kami hampir berpapasan dengan  dua makhluk itu, baru kelihatan kalau ada mahkluk yang berjalan tanpa kepala, yang satu lagu tanpa kaki. Setelah agak jauh istri saya bertanya:

"Kita tadi ketemu apa, mas ?"

"Nggak ada siapa siapa." kata saya sok gagah, untuk menenteramkan istri supaya tidak ketakutan. Padahal tadi mulut saya tidak berhenti istighfar. 

Pertanyaan itu kembali muncul ketika menjumpai pemandangan itu lagi. Ada makhluk memakai caping topi petani pakai sarung tapi tanpa kepala dan kaki berjalan di tepi berlawanan arah dengan kami. Saya bergidik melihat hal itu, berharap motor tidak kembali mati. Istri pun tidak bertanya lagi, hanya dekapannya ke dua tangannya semakin kuat ke dada. 

Nafas semakin sesak saja. Mata lurus ke depan, mulut komat kamit dan tangan yang serasa kaku tetap berusaha kuatkan gas, supaya motor tetap bisa jalan dan menjauh dari jalanan berbukit itu. Tapi sampai kapan hal itu dapat dilalui, tidak tahu, karena belum pernah lewat daerah itu. 

Ketika fajar sudah mulai datang dan ada kelihatan bangunan seperti mushola, baru hati mulai tenteram. Berasa Ruh kembali bersama jiwa. Langsung istirahat dan sholat subuh di mushola yang sepi itu. 

Setelah sholat subuh, istri saya lega, karena mulai mengenal daerah itu. 

"Praci ini mas." seru istri saya. 

"Alhamdulillah." jawab saya sok gagah sama istri, Padahal tadi ketakutan setengah mati. Praci merupakan kota di Propinsi Jawa Tengah yang berbatasan dengan Propinsi Jawa Timur di bagian selatan pulau Jawa. Dari Praci perjalanan sudah terang menuju Pacitan Jawa Timur. Alhamdulillah.

Perjalanan malam yang seharusnya tidak dilakukan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun