Anies memang sempat menjadi berita besar dan menggoncangkan publik setelah pidato pelantikannya sebagai Gubernur DKI. Anies bahkan dianggap menjadi kandidat Calon Presiden setelah pidatonya yang menggemparkan itu.
Walaupun tidak sedikit serangan yang menghambur ke Anies, khususnya mengenai isu "pribumi" yang panas itu. Anies bukan saja dianggap akan menyaingi popularitas Pak JokoWi, namun bahkan ada yang beranggapan bahwa Anies akan menjadi lawan potensial bagi Pak JokoWi pada Pilpres 2019. Namun karena satu dan lain hal, balon udara yang menggelembungkan Anies ke udara perpolitikan nasional itu akhirnya mentah, karena ternyata Anies tidak mau ikut dalam Pilpres 2019, baik sebagai Cawapres apalagi Capres.
Barangkali hal itu yang menjadi salah satu pertimbangan dari Persatuan Penulis Indonesia (PPI) yang menjadikan salah satu dasar dari tema lomba menulis Mengapa Anies Menolak Tawaran Menjadi Cawapres Prabowo. Hal itu barangkali akan menghadapkan Anies secara langsung dengan Pak JokoWi, yang pernah memecatnya dari Mendikbud. Jika Anies menerima pencalonan menjadi Cawapres Prabowo, maka Anies akan dianggap akan membalas dendam atas perlakuan Pak JokoWi kepada Anies tersebut. Anies kelihatannya menghindari persoalan panas tersebut.
Tentu ada tema yang lain yang ditawarkan oleh PPI tentang hal-hal yang membuat Anies mengambil keputusan menolak menjadi Cawapres Prabowo, antara lain adalah Anies juga menolak tawaran dari PKB untuk berpasangan dengan Muhaimin Iskandar.
Bahwa ada selentingan PKS, PAN dan PKB akan membentuk poros baru dengan menggandengkan Anies dan Muhaimin Iskandar setelah Demokrat mendekati Gerindra untuk berkoalisi, sempat menjadi berita panas juga. Barangakali perjuangan Demokrat untuk menggolkan AHY menjadi Cawapres Prabowo membuat PKS dan PAN pasang kuda-kuda. Namun Anies tidak ingin mengkhianati Prabowo, sehingga berita akan munculnya poros PKS, PAN dan PKB layu sebelum berkembang.
Tema lain yang ditawarkan PPI mengenai penolakan Anies untuk maju dalam Pilpres 2019 adalah Anies tidak ingin masyarakat Jakarta yang baru saja tenang usai pilgub yang penuh hiruk-pikuk kembali memanas, kembali terlibat dukung-mendukung.
Anies tidak ingin menambah suasana panas Pilpres kembali memanaskan Jakarta. Walaupun hal tersebut tidak mungkin dihindari seratus persen, namun paling tidak Anies tidak ingin berperan langsung sebagai pemicu memanasnya situasi dan kondisi Jakarta pada saat menjelang Pilpres mau pun setelah Pilptes. Situasi dan kondisi setelah Pilkada DKI saja sulit reda, apalagi jika peristiwa yang sama terjadi lagi dengan Anies kembali menjadi aktor utamanya. Tentu hal tersebut dihindari Anies.
Dari beberapa tema yang ditawarkan oleh PPI, tema yang berkaitan dengan keinginan Anies untuk menunaikan janjinya kepada masyarakat Jakarta suatu hal menarik. Dalam masa jabatan yang masih singkat masih banyak janji Anies yang belum dilaksanakan. Anies juga ingin menghilangkan kesan yang timbul bahwa menjadi Gubernur DKI menjadi semacam batu loncatan untuk menjadi Presiden RI.
Anies bahkan ingin mendapatkan kesempatan besar untuk menorehkan tinta emas sebagai Gubernur Indonesia, yang bahkan sempat diutarakan baik oleh Ara tokoh intelektual politik PDI Perjuangan dan Mendagri Cahyo Kumolo. Bagaimana Anies berusaha untuk dapat menorehkan tinta emas sebagai Gubernur Indonesia di DKI, artikel ini akan mecoba mengulasnya secara umum. Â Â
Boleh bikatakan Anies mendapat tantangan berat dalam pelaksanaan tugasnya sebagai Gubernur DKI. Bukan hanya karena Anies mampu membalikkan keadaan dalam Pilkada DKI dari pandangan umum bahwa Ahok akan dapat memenangkan Pilkada DKI karena jumlah suara Ahok dalam putaran pertama Pilkada DKI di atas jumlah suara Anies dan AHY, namun juga Anies tadinya bukanlah dianggap sebagai kuda hitam dalam Pilkada DKI.
Merosotnya perolehan suara AHY, baru menjadikan kubu Anies merasa optimis untuk dapat mengalahkan Ahok. Hal tersebut membuat Anies tidak ingin berkuasa di Jakarta tanpa kuku. Prestasi Anies sebagai Mendikbud mungkin saja dapat dijadikan modal awal untuk berkiprah di dunia birokrasi, namun mengurus DKI bahkan bisa jadi lebih berat dari pada mengatur dan melaksanakan program-program pendidikan di Mendikbud.