Cita Cita Tak Harus Setinggi Langit
Putri Pembayun bergegas menuju ke dapur untuk mencari telur asin kiriman Ki Koh Agil dari Brebes. Namun belum lagi ketemu tempat telur asin itu, Putri Pembayun mendengar suara Bunda Fitri dari arah belakang rumah:
"Cita-cita tidak harus setinggi langit, Muthi."
Putri Pembayun menjadi penasaran dengan yang dibicarakan Bunda Fitri. Untuk sejenak Putri Pembayun lupa pada tujuannya pergi ke dapur, karena tertarik ingin mendengarkan pembicaraan Bunda Fitri. Dengan siapa ya, Bunda Fitri saat ini ?, pikir Putri Pembayun. Oh, mungkin dengan mbak Muthia, tadi kan Pangeran Sepuh sempat bilang kalau mbak Muthia sedang main ke sini. Tapi apa yang sedang dibicarakan Bunda Fitri dengan mbak Mutia, pikir Putri Pembayun makin jauh. Ada baiknya, aku ke sana saja, biar tahu yang dibicarakan mereka berdua, lanjut Putri Pembayun.
"Maksud Bunda Fitri dengan tidak boleh menggantungkan cita cita setinggi langit itu, lalu kita tidak boleh ingin sukses seperti orang lain begitu ?" tanya Muthiah.
"Ya. Tante Fitri ini bagaimana sih. Kalau orang lain bisa kenapa kita tidak bisa. Setiap orang hidup kan mempunyai hak yang sama. Orang lain sukses, kan tidak boleh dihalang-halangi. Apalagi hanya mau bercita-cita setinggi langit saja kok nggak boleh.
Kita ini ya, mbak Muthi, kalau punya cita-cita setinggi langit, kan seandainya jatuh, masih bisa di puncak gunung.
Nah, kalau cita-cita hanya sampai di pohon jambu. Kalau jatuh ya hanya kembali ke tanah. Udah lah cita cita tidak tercapai sakit lagi. Kan rugi.
Lagian, kan hanya cita cita. Gratis tanpa biaya. Mau setinggi langit. Mau setinggi awan. Memang ngaruh." cerocos Putri Pembayun, langsung nimbrung pembicaraan antara Bunda Fitri dengan Muthiah.
"Eh, Pembayun, bukannya kamu tadi lagi asyik main hp. Kayaknya kamu sudah tidak dapat dipisahkan dari hp. Tiada hari tanpa hp." seloroh Bunda Fitri.