"Kamu ambil air, dari mata air di desa ini. Bawa ke bak mandi rumahku"
"Tapi keranjangnya bolong-bolong, lagi pula kotor. Bagaimana bisa untuk mengambil air dari mata air di desa, yang jalannya mendaki. Kemudian harus pula dibawa ke kamar mandi Bapak"
"Hus, kamu banyak tanya. Tadi kamu katanya mau dihukum, asal tidak disiksa"
"Ini lebih berat dari pada disiksa"
"Apa katamu ?", sambil bajunya kurengut terus kutarik mendekati lehernya. Namanya juga anak-anak tentu takut.
"Ampun, Pak. Budi bersedia"
"Nah itu baru orang yang bisa menepati janji"
Budi kemudian bolak balik menuju mata air di desa yang jalannya mendaki, mengambil air, kemudian sambil berlari, membawanya ke kamar mandi rumahku. Setelah hampir setengah hari, bolak balik dari mata air di desa, menuju kamar mandi ku. Yang tentu saja tak pernah bisa penuh, karena airnya selalu hilang di jalan. Keranjangnya saja bolong-bolong. Itu keranjang kan untuk pengangkut rumput, bukan air.
"Ampun, Pak. Budi nyerah deh. Sudah capek Budi menjalani hukuman. Â Tapi tidak juga berhasil, membawa air ke bak mandi Bapak."
"Ternyata kamu gigih juga Budi. Tetap bersemangat tinggi. Padahal kamu tahu tidak akan pernah berhasil. Mudah mudahan bukan karena takut dihukum tapi karena ingin memegang janji"
"Kamu masih ingat senandung yang kau ucapkan tadi ?"