"Difangir, jangan kau menghina Permaisuri Ming dengan mengatakan kalau aku sudah tua ya. Aku, Permaisuri Ming dulu meruapakan Permaisuri Kerajaan Matraman Raya yang dulu disegani banyak orang. Bukan hanya cerdas, pandai, jujur dan lugas, tetapi juga mandiri".
"Banyak orang memujiku bagai Matahari. Bahkan ada yang mengatakan kulitku mengkilap seperti batu pualam. Kau ... Kau... berani ... beranina mengatakan aku, Putri Sepuh!"
"Hem, tapi masih Putri juga ya."
"Hai Difangir. Matikan lampu kamar, sorot aku dengan lampu emergency, biar tahu kau, siapa Permaisuri Ming yang sebenarnya."
Ki Difangir seperti kerbau yang baru dicucuk hidungnya, segera mengikuti perintah Permaisuri Ming. dimatikannya lampu kamar, begitu kamar nampak gelap gulita, kemudian dicarinya lampu emergency, agak sedikit lama, karena yang biasa mencari lampu emergency adalah Putri Buyan. Namun akhirnya Ki Difangir berhasil menemukannya. Segera setelah itu, disorotkannya lah ke arah Permaisuri Ming. Nampak Wajah Permaisuri Ming yang cantik luar biasa.Â
"Mendekat sini Difangir. Biar kamu tahu dengan jelas siapa Permaisuri Ming. Jangan lagi kau sebut Putri Sepuh Putri Sepuh."
Ki Difangir sadar bahwa Permaisuri sedang marah besar. Oleh karena itu, sambil mendekat Ki Difangir merapal ajian angin sepoi-sepoi, maksud Ki Difangir supaya, Permaisuri Ming dapat diusahakannya istrirahat dan nanti setelah sadar akan disampaikannya permohonan maaf. Namun yang terjadi tidak seperti yang dipikirkan oleh Ki Difangir. Begitu Ki Difangir merapal ajian angin sepoi-sepoi, kesadaran Permaisuri Mingset mulai kabur. Ke dua tangannya melemas, sehingga kimononya yang tidak terikat sempurna lepas. Begitu melihat kilau pualam Permaisuring Ming, Ki Difangir galau. Tanpa sadar, secara refleks, melihat tubuh Permaisuri Ming akan terjatuh, maka dengan sigap dipeluklah Permaisuri Ming.Â
"Kau panggil apa aku tadi ?"
"Putri Se..."
"Apa ?", sambil menarik selimut yang menutupi mereka.
"Putri Ming" Â Â Â Â