Mohon tunggu...
Mas Johny
Mas Johny Mohon Tunggu... Wiraswasta - Wiraswasta

ANAK KELAUTAN YANG SUKA MANAJEMEN

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

"Lari" dari Tembalang Sebuah Romantika Diamord

17 Januari 2023   14:09 Diperbarui: 17 Januari 2023   14:18 559
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(sumber gambar: https://twitter.com/undipmenfess)

Perjalanan penuh kenangan, tidak berlebihan kiranya saya mengawali cerita pada tulisan kali ini. Kenangan itu kembali setelah sekian lama pergi entah kemana. Juni barangkali menjadi bulan yang penuh kesibukan bagi sebagian besar orang tua yang anak nya diterima masuk perguruan tinggi. 

Salah satu kesibukan yang paling kentara adalah mencarikan kos. Maklum lah setelah hampir dua tahun online, pembelajaran pada semua jenjang pendidikan tahun ini kembali dilakukan secara offline, sehingga para mahasiswa baru yang jarak kampusnya tak lagi bisa dijangkau dari rumah tempatnya berada, mau tidak mau harus mencari tempat tinggal sementara atau yang lebih dikenal dengan sebutan kos -- kos san. 

Dari sini lah yang katanya belajar mandiri itu dimulai, setidaknya mandiri untuk dapat menyelesaikan sebagian problematika kehidupan mereka sendiri , minim intervensi ayah bunda karena kendala jarak yang sudah menjadi jeda. 

Barangkali itulah alasan ditambahkanya kata "Maha" didepan siswa, karena pada fase inilah para siswa -- siswa itu akan mulai banyak berhadapan dengan realita kehidupan yang harus dicoba sendiri untuk memecahkan, sehingga pantas bagi mereka ditambahkan sebutan "Maha", karena bakalan Maha juga problematikanya, tugas -- tugas kuliah terutama. 

Sama halnya dengan keluarga lain, Juni kemaren saya berkesempatan untuk datang lagi ke Tembalang, mencarikan kos -- kosan untuk salah satu keponakan. Secara fisik Tembalang sudah berubah, sudah banyak yang hilang tergilas perputaran waktu dan kemajuan jaman. 

Tak ada lagi ku jumpai angkot kuning yang dengannya mengantarkanku dari kosan menuju kampus disebelah FKM, 2 ribu perak saja. Sebagai generasi mahasiswa yang tidak mempunyai motor, angkot kuning adalah moda setia penjelajah ramahnya Tembalang.  Aku juga tak lagi menjumpai toko di ujung masuk jalan Banjarsari. Toko Tembalang namanya. 

Padanyalah anak -- anak baru kala itu terbiasa berkumpul mencari barang yang dibutuhkan sebagai bahan ospekan. GSG sebagai bangunan diarea selamat datang pun kini sudah menghilang, tempat yang paling mudah bagi kami untuk janjian. Lapangan miring tempat kami bermain bola kala senja telah tiba pun sudah hilang berganti menjadi bangunan Fakultas Hukum.  

Dilapangan yang jauh dari standar FIFA itulah  kami berteriak melepaskan semua kepenatan. Tak ada lagi ku jumpai mahasiwa yang berjalan kaki dari bundaran depan naik ke area kampus. bila tidak capek dulu banyak diantara kami yang memilih cara ini. Menyusuri perkebunan tanah liat merah dan kuburan yang sudah tidak lagi digunakan, dan kami menjuluki rombongan ini sebagai pasukan infantri. 

Sigarbencah pun tidak lagi menjadi tempat yang menyeramkan, sudah banyak berdiri perumahan dikanan kirinya yang membuat aura mistis sebagai jalanan angker lambat laun menghilang. 

Dibandingkan dengan 13 tahun lalu saat saya berpamitan pada Tembalang, daerah ini benar -- benar sudah berubah. Diantara banyaknya persolekan Tembalang, nyatanya ada satu bagian yang tidak akan pernah terlindas dan menghilang. Nama jalan dan gang -- gang kecil penyusun tidak pernah pergi walau Tembalang sudah hilir berganti. Sumur Boto, Banjarsari, Sirojudin, Tirtosari, Baskoro, Nirwanasari, Iwenisari, Tunjungsari, Maerasari, Sipodang, Bulusan, Gondang, Timoho, Perumda,  nama -- nama  akan selalu terngiang saat siapapun yang pernah tinggal disini kembali datang, membuka memori, mengingat - ingat dan melukiskan ceceran cerita yang sudah samar terbuang . Kenapa begitu mengenang?? pada gang  dan jalan itulah cerita pendewasaan kami dilalui, pagi, siang sore, malam, kembali ke pagi lagi begitu seterusnya sampai kata perpisahan pada Tembalang tiba. 

Seingatku di salah satu gang jalan itu ada warung penjual makanan idola banyak mahasiswa, Pak Sri nama si empunya, kumisnya tebal , suka bercelana pendek, bila berbicara suka menambahkan sedikit aksen berat pada kata terakhirnya. Idola karena murah dan banyaknya porsi yang didapatkan, sebuah standar baku yang harus dipenuhi bila ingin disukai kalangan mahasiswa, soal bersih dan citarasa bisalah dikompromikan pada urutan setelahnya. Nasi, ongseng kangkung, tempe mendoan satu, telur dadar yang banyak campuran tepungnya itu seingatku dulu tidak sampai  10 ribu. 

Didaerah Gondang ada warung yang serupa mbok Darmi namanya, sama halnya dengan punya Pak Sri, warung mbok Darmi menjadi idola karena telah memenuhi standar makanan yang di cari mahasiswa. Belum sempat menemukan warung yang ketiga, dua warung itu sudah tak ku jumpai lagi kabar kejayaanya. Munkin pindah mungkin juga telah bertransformasi pada jenis usaha yang berbeda. Di pinggir jalan Banjarsari, dulu ada rental computer yang begitu saya suka, pemiliknya seorang pns empat tahun lebih disana aku pun tidak pernah tau nama pasti bapaknya, aku hanya mengenal sebagai pak Adivena, nama yang saya ambil dari label rentalan itu "Adivena computer". 

Kami menyukainya karena hampir tidak ada batasan waktu bila sedang merental disana, bahkan pernah sampai jam 2 dini hari pun Pak Adivena ini tetap mau menunggui walau harus tertidur di sofa samping kanan dan kiri, murah tentu saja menjadi alasan utama kenapa rentalan ini begitu banyak fansnya. Bagi mahasiwa yang kuliah pada jaman saya, memang kehadiran rentalan komputer sangat membantu disaat tidak semua orang tua punya akses untuk membelikan perangkat itu sebagai pelengkap label ke "mahasiswaanya". Dan lagi -- lagi Adivena Computer tak lagi ku jumpai kabar rimbanya, entahlah. 

Pondok Pesantren Galang Sewu di pojokan kampus masih kulihat Gagah berdiri, di Jalan Jurang Blimbing itulah saat bulan puasa kami kadang mencari buka gratis dibalut kajian dan siraman rohani oleh Pak Kyai yang lucu dan sangat mengena tausiyahnya Kyai Sam'ani kami menyebutnya.

Mengingat kembali tentang jalanan dan gang kawasan Tembalang, soal makanan, soal kenangan, dan cerita lain yang 4 -5 tahun telah membersamai keberlangsungan sebuah fase kedewasaan, sudah barang tentu akan membawa semua orang yang pernah kuliah di UNDIP atas , mengerucutkan kepalanya mencoba membuka nostalgia yang sejenak tertidurkan, cerita yang sekian waktu terlupakan dan orang -- orang yang sekian lama telah memudar dari ingatan. 

Di tempat itulah kami pernah terdiam, sunyi, tertawa, bercengkrama, ketakutan dan mencoba menikmati rintikan hujan demi sebuah rangkaian cerita masa depan. Banjarsari tetaplah jalanan lurus yang sekarang bertambah macet, Gondang, Timoho Tunjungsari, Iwenesari tetaplah Gang -- gang yang dikanan kirinya telah bersolek kos -- kosan megah dengan pohon rambutan dihalaman depanya. 

Para penghuni kos datang dan pergi, berpamitan meninggalkan sejuta memori dan cerita indah untuk dikenangkan, ada yang telah menjadi lurah, pedagang, pengusaha, pegawai bank, dosen, pns, lengkap dengan problematikanya sendiri.  "Lari dari Tembalang" adalah awal sebuah petualangan baru yang akan meninggalkan sejuta romantika mengharu biru. Banjarsari dan gang- gang lain akan selalu ramah menyambut penghuni baru dengan cerita baru dan juga romantika baru.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun