Mohon tunggu...
Izzuddin Ar Rifqiy
Izzuddin Ar Rifqiy Mohon Tunggu... Freelancer - Fungsional Statistisi di BPS

Bisa dikunjungi di : http://masizz.xyz atau http://masizz.tumblr.com Banyak baca, banyak merasa.

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Go-Jek, Big Data dan Peranan Pemerintah

20 Desember 2015   10:41 Diperbarui: 20 Desember 2015   11:31 1211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Beberapa hari yang lalu, seperti yang kita tahu, Gojek dan ojek-ojek online dilarang pemerintah. Dan kita semua tahu Bapak Presiden turun tangan untuk menegur Menteri Perhubungan, sehingga larangan tersebut dicabut dalam waktu kurang dari 24 jam. Yang tidak(atau belum) kita tahu adalah hal-hal dibalik itu, tentu saja banyak hal. Hmm-hmm, mau bikin teori konspirasi baru, mungkin begitu pikirmu. Tapi sayangnya bukan.

Ojek online merupakan sebuah moda transportasi yang kian digemari masyarakat kalangan menengah yang tinggal di kota-kota besar. Go-Jek menjadi salah satu yang paling disukai. Dari segi tarif maupun jumlah pengemudi yang melimpah. Jumlah pengguna/ paling tidak yang sudah memasang aplikasi pendukungnya ada pada kisaran 5-10 juta (data dari Google Playstore). Salah satu yang perlu disoroti adalah kerasnya kecaman dari pengguna setia(kalangan menengah) tatkala larangan tersebut terbit. Sempat menjadi headline koran-koran nasional dan juga trending topik di berbagai media sosial. Tagar #SaveGojek yang nangkring di trending topic tentu tak akan terlewatkan oleh seorang presiden yang melek twitter.

 

Lalu apa yang kita tahu tentang terobosan inovasi seorang Nadiem Makarim ini? 

Andi S. Budiman, Managing Partner IdeoSource seperti yang dikutip Bareksa menyatakan bahwa Go-Jek memang bukan sekadar Inovasi, tapi merupakan sebuah Investasi Raksasa. Andi memperkirakan dana investasi yang telah diinjeksi ke Go-Jek sejauh ini sudah mencapai angka di atas $100 juta atau sekitar Rp1,4 triliun dengan kurs Rp14.000/dolar AS. Seorang fund managersenior yang berada di lingkaran investor Go-Jek bahkan menyebut angka lebih fantastis lagi, sekitar $150 juta atau sekitar Rp2,1 triliun.

Keberhasilan ini sontak mengundang masuknya pesaing, salah satunya adalah GrabBike. Perusahaan asal Malaysia ini menyiapkan anggaran hingga $137 juta atau sekitar Rp1,9 triliun untuk merambah Indonesia; demikian sebagaimana diberitakan sejumlah media.

Menurut Andi, 70 persen pendapatan Go-Jek saat ini bukan dari mengantar penumpang melainkan dari antaran makanan.Lalu mengapa Go-Jek tidak mengantar makanan saja, tapi malah terus-terusan menambah layanan dan promosi pada para pengguna. Lalu apa yang diperoleh dari para Investor dari investasi bernilai luar biasa besar tersebut?

Dr. Rhenald Kasali, Guru Besar Universitas Indonesia yang juga praktisi bisnis memberikan tanggapannya pada wawancaranya dengan Okezone Juli 2015 lalu. Menurutnya ini merupakan strategi disruption bussines,  strategi mengubah pasar dengan 'merusak harga' dan menggaet lebih banyak pengguna. Semakin banyak pengguna, maka nilai Go-Jek dimata investor akan semakin naik.

"Go-Jek akan punya data orang yang menggunakan jasanya. Nah siapapun yang ingin mendapatkan data pelanggan itu bisa didapat dari Go-Jek. Nanti juga iklan akan datang dengan sendirinya, jadi fungsinya bisa jadi media juga," tukasnya.

Sementara Nukman Luthfie, CEO Jualio.com pada laman facebooknya mengatakan "Pada tahap awal yang dicari pertumbuhan user, lengkap dengan behavior data yang kelak bisa dimonetisasi. Investor nggak masalah. Ini memang permainan jangka amat panjang."

Sementara Nadiem Makarim sendiri mengungkapkan bahwa Go-Jek memang belum memperoleh keuntungan. "Kalau kami untung justru kami dimarahi investor," tukasnya.

 

Apa Kata Kunci Yang Kita Dapat? Data

Data as new currency, dengan kata lain, data sebagai mata uang baru. Pembicaraan ini sudah lama mengemuka di negara barat. Big Data, istilah yang mulai populer belakangan ini juga berkaitan dengan hal ini.

Data is the only real currency of the web, begitu ungkap Alina Musayeva pada tulisannya di TEDx Amsterdam. Artikel berjudul "Mata Uang Baru Bernama Data" yang viral beberapa waktu yang lalu,  ditulis oleh Hilman Fajrian pada portal Kompasiana juga menjelaskan secara apik mengenai hal ini. Berikut saya kutipkan tulisan mas Hilman

-Awal Kutipan-

Bila anda sering berkunjung atau berbelanja ke situs belanja online, khususnya Indonesia, akan sering ditemui barang dengan harga jauh lebih murah dibanding pasaran. Atau sering juga ada program promo yang menjual barang dengan diskon sampai 90%, bahkan 99%. Harga-harga yang sulit diterima akal. Kita yang awam ini akan berpikir harga bisa murah karena banyak biaya operasional yang dipangkas, atau sebuah brand produk sedang promosi di situs itu. Sebagian kecil benar, tapi sebagian besar salah. Yang terjadi adalah pengelola toko online memberi subsidi kepada konsumen sejumlah selisih harga. Bila distributor memberi harga Rp1 juta kepada toko, dan toko menjual seharga Rp500 ribu kepada konsumen, maka toko nombok Rp500 ribu. Kalau ada 100 pembelian, maka toko nombok Rp50 juta.

Investor kok tidak mau untung?

Tidak masuk akal, kan? Kalau mau yang lebih tidak masuk akal lagi, lihatlah Whatsapp Messanger ini tidak menampilkan iklan, pun gratis tahun pertama. Biaya berlangganan di tahun berikutnya hanya $1/tahun. Itu pun bisa 'diakali' supaya gratis terus. Tapi tahun lalu Facebook membeli Whatsapp Rp222 triliun! Secara keuangan, perusahaan ini tidak pernah untung, tidak beriklan, tapi dibeli ratusan triliun.

Bisnis konvensional sulit memahami ini. Selama ini performace bisnis hanya diukur lewat angka di buku keuangan perusahaan. Kalau duitnya minus, berarti jelek. Namun dalam bisnis digital, data adalah mata uang baru. Pintu masuknya melalui jumlah user. Kalau kita sudah mendapatkan user, datanya akan siap untuk dikapitalisasi untuk apapun. Iklan hanya salah satunya. Artinya, kalau sudah punya banyak user, terserah mau kita manfaatkan untuk apapun agar menghasilkan uang. Jadi, dalam bisnis digital modal dalam bentuk uang lebih sebagai tool atau perangkat untuk mencapai target yang sebenarnya: user dan data.

-Akhir Kutipan-
Berdasarkan research dari IBM pada tahun 2012, 2,5 milar gigabytes  data baru dibuat setiap harinya. Dan jumlah data akan bertumbuh dua kali lipat tiap tahunnya. Atau secara hitung-hitungannya pada tahun 2020, akan ada lebih dari 44 triliun gigabytes data pada 2020. Menurut IBM juga, 4.4 juta data scientist baru dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan pengolahan data di seluruh dunia. Terbayang sudah pentingnya data bagi pergerakan progresif dunia?

 

Peranan Pemerintah 

William D. Eggers, Rob Hamill & Abed Ali dalam Deloitte University Press mengungkapkan sebuah pernyataan menarik berkaitan dengan hal ini :

"Government is one of the biggest producers of data—and one of the few that deliver data to the public free of charge. Governments already regulate how organizations may use personal data and myriad other issues related to data. The question, then, isn’t really whether government should get involved in the new data marketplace, but rather how it should take part."

Pemerintah sebagai penyedia data terbesar dan satu dari segelintir yang menyediakan secara data secara cuma-cuma. Pemerintah sudah membuat peraturan bagimana seharusnya sebuah organisasi/perusahaan memperlakukan data personal. Pertanyaannya bukan lagi "APAKAH sebagai pemerintah harus ikut campur dalam pasar persaingan data ini?" Tapi sudah harus bergerak ke arah "BAGAIMANA seharusnya pemerintah mengambil peran dalam pasar data digital ini?"

Melalui artikel sepanjang 4000 kata ini, mereka bertiga menjelaskan bagaimana seharusnya pemerintah berperan. Membagi peranan pemerintah menjadi 3 fungsi penting.

  1. Pemerintah sebagai produsen data
  2. Pemerintah sebagai konsumen data
  3. Pemerintah sebagai fasilitator

Kedua peran 1 dan 2 sudah menurut saya sudah jelas fungsinya. Namun fungsi ketiga masih perlu dijabarkan lebih lanjut. Menurut William dkk, sebagai fasilitator, pemerintah dapat melakukan 3 hal utama.

Yang pertama adalah membuat parameter. Sebagai regulator, pemerintah dapat mendorong lingkungan yang mempromosikan inovasi sementara menghormati privasi user. Membuat standar-standar baru yang fungsinya untuk melindungi hak-hak privasi digital warga negaranya. Beberapa waktu kebelakang, ada kasus yang mengemuka (kebetulan juga tentang Go-Jek). Ada beberapa oknum pengemudi Go-Jek yang melanggar privasi pengguna dengan mengirim pesan di luar konteks pekerjaan. Menggoda pelanggannya. Hal tersebut sempat viral sebelum kemudian tenggelam dengan cepatnya informasi bergerak. Itu baru contoh kecil yang dilakukan oleh kalangan grass root. Belum menyentuh korporasi besar yang memiliki seluruh data pengguna.

Yang kedua adalah membangun infrastuktur.  Pemerintah juga dapat memberikan platform untuk mendorong pasar data yang berkembang. Contoh yang paling berani dari inisiatif tersebut ditemukan di India, di mana pemerintah telah memulai proyek manajemen identitas terbesar dalam sejarah. Dikenal sebagai Aadhar-India's Unique Indentification. (UID) Program-itu membawa konsep (data as currency) data pribadi sebagai mata uang ke dalam artian sebenarnya.

Dengan menciptakan satu set unik dari titik data biometrik dan demografis untuk masing-masing dari 1,2 milyar warga yang tinggal di India. Pemerintah dan para pebisnis akan dapat menggunakan database yang dihasilkan dengan cara yang tak terhitung banyaknya, dari membangun kepercayaan pemberi pinjaman untuk memperluas keuangan mikro ke daerah-daerah terpencil untuk memperkenalkan layanan kesehatan pribadi yang lebih baik.

Yang terakhir adalah. Leading from the front. Memimpin dari depan. Istilahnya dalam semboyan bangsa kita yang dikemukakan Ki Hajar Dewantara. Versi lengkap dari Tut Wuri Handayani. Ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi kekuatan. Contoh konkretnya adalah memberikan contoh dan mengusahakan(mengatur) para pelaku ekonomi besar untuk membuka sebanyak mungkin data ke publik. Atau istilahnya transparansi data. Membujuk perusahaan swasta berpengaruh untuk membuka datanya ke publik untuk kebaikan sosial, filantropis data.

Jadi, nikmat Tuhan yang mana yang kamu dustakan? Jadi 'Data Scientist' secara cuma-cuma. Memang tidak salah jika data scientist dinobatkn sebagai the sexiest job in early 21st century. 'Data Scientist Pemerintah' juga gak buruk-buruk amat toh. Juga kalau ada perusahan yang tertarik sama kemampuan data science-mu, mereka bisa meminangmu dengan mahar yang telah ditentukan.

Sumber: http://masizz.xyz/esai/go-jek

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun