Jika pendidik sudah berperan sejauh ini, maka kelak, siswa kita akan berefleksi mendapatkan pemahaman bermakna. Sehingga, mereka menjadi manusia merdeka, berakal budi, yang mampu menunjukkan keberadaan dan jati dirinya. Pertanyaannya, apakah kita sebagai pendidik telah memperhatikan tumbuhnya kecerdasan budi pekerti atau watak murid dalam proses belajarnya?.
B. Teori Konvergensi dan Pengaruh Pendidikan
Seringkali kita menggeneralisir kemampuan siswa hanya berdasarkan peringkat kelas. Anggapan kita bahwa siswa yang pintar akan mampu memahami seluruh mata pelajaran, padahal faktanya berbeda. Saya pernah memiliki siswa yang juara dua di kelas selama duduk di bangku SMA, dan berada di kelas unggul (IPA 1). Tamat SMA, si anak malah memilih jurusan Psikologi, dan sukses menjadi pembawa acara di kegiatan kampus, bahkan menjadi pemeran utama film besutan tim kreatif sekolah. Artinya, si anak tersebut lebih tertarik pada dunia ilmu sosial.
Benarkah sebagai pendidik kita lebih tahu apa yang diinginkan anak didik?. Maka muncullah teori konvergensi yang terbagi atas teori tabularasa dan teori negatif . Teori tabularasa berpendapat bahwa anak adalah kertas kosong yang diisi dan ditulis oleh pendidik dengan pengetahuan dan wawasan yang diinginkan oleh pendidik. Teori negative adalah anak ibarat kertas yang sudah terisi penuh dengan berbagai macam coretan dan tulisan. Kedua teori ini tidak diterima begitu saja oleh Ki Hajar Dewantara, namun beliau memberi pandangan baru.
Pandangan baru yang disampaikan oleh Ki Hajar Dewantara dikenal dengan teori konvergensi, yaitu pendekatan teori tabularasa dan teori negative diintegrasikan. Kodrat manusia sebagai suatu kertas yang sudah terisi dengan tulisan-tulisan yang samar dan belum jelas arti dan maksudnya. Maka tugas pendidikan adalah membantu manusia atau individu untuk dapat menebalkan dan memperjelas arti dan maksud tersebut dengan tuntunan terbaik.
Ki Hajar Dewantara membagi budi pekerti menjadi dua, yaitu bagian biologis dan bagian intelligible. Bagian biologis yang tidak berubah adalah rasa takut, rasa malu, rasa kecewa, rasa iri, rasa egois, rasa berani, dan seterusnya, tidak dapat berubah. Bagian intelligible adalah kecakapan dan keterampilan pikiran, kemampuan menyerap pengetahuan, dapat berubah karena pengaruh lingkungan dan Pendidikan, termasuk pengaruh guru.Intelligible siswa dapat berubah dari ketidaktahuan menjadi tahu dan sadar.
Pendidikan dapat mempengaruhi bagian intelligible dan bagian biologis murid. Kita menyadari bahwa bagian biologis susah dihilangkan, namun harus tetap optimis, karena dengan makin terasahnya bagian intelligible mampu menutupi bahkan menghilangkan kelemahan pada bagian biologis. Sebab, kecakapan budi pekerti siswa bertumbuh dan berkembang, sehingga mampu mengendalikan dan menyamarkan sifat asli dan watak biologis. Seiring dengan itu, bagian intelligible semakin menguat dan mampu mewujudkan kepribadian dan budi pekerti yang baik.
Apakah kita sudah memahami kodrat anak, dan menempatkan anak sebagai subyek kesadaran dalam menguatkan kodratnya?. Apa yang dapat kita lakukan agar anak dapat menemukan budi pekerti atau watak baik untuk menguatkan kodratnya?, mari kita renungkan. Akhirnya, salam literasi dari bumi Kualuh, basimpul kuat babontuk elok.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H