Mohon tunggu...
Chrisma Juita Nainggolan
Chrisma Juita Nainggolan Mohon Tunggu... Guru - Emak berliterasi

Guru ekonomi SMAN 1 Kualuh Selatan, Labura Sumut

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Pamer di Medsos, Boleh Tidak Ya?

8 Juli 2022   21:37 Diperbarui: 8 Juli 2022   21:43 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Dokumen Pribadi

Beberapa hari ini, Sang Penulis Idola (SPI) memosting tentang salah satu perilaku netizen, pamer di media sosial. Awalnya, SPI menyampaikannya dengan bahasa (yang menurut saya) netral, tidak memojokkan, hanya memberi rambu-rambu, sampai batas mana yang disebut dengan pamer. Namun, apa yang terjadi?, Sebagian netizen mengamuk, bahkan membully dengan kalimat yang kurang pantas.

Kenapa ada netizen yang sampai mengamuk?. Setelah ditelisik, ternyata netizen tersebut tidak terima disebut pamer. Berbagai alasan dikemukakan, mulai dari pembenaran bahwa apa yang dilakukan tidak merugikan orang lain, apalagi SPI. Sebagian lagi menganggap SPI terlalu nyinyir, bahkan sampai lontarkan senjata pamungkas, "Iri, bilang bos!".

Yuk kita simak arti kata pamer. Pamer adalah menunjukkan sesuatu yang dimiliki kepada orang lain dengan maksud memperlihatkan kelebihan atau keunggulan untuk menyombongkan diri, (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Sehingga, dapat kita yakini, bahwa pamer adalah perilaku yang kurang baik, karena dapat menimbulkan reaksi negatif  buat sebagian orang.

Jika misalnya kita memosting di akun medsos bahwa Indeks Prestasi (IP) cuma empat, cuma Cumlaude, serta cuma-cuma lainnya. Kemungkinan besar netizen akan menganggap kita sombong, pamer, dan merendahkan yang lainnya, sebab IP 4 itu sudah maksimal. Saya tidak ingin menggurui pembaca (netizen) perihal ciri-ciri pamer, tanya saja nurani, pantaskah kita posting sesuatu itu?.

Salah satu karunia terbesar dalam menjalani kehidupan adalah sahabat yang bersedia mengingatkan kelalaian serta kelemahan kita. Buat saya, tak layak disebut sahabat jika dia tidak mau memberitahu kekurangan saya. Sahabat sejati adalah seseorang yang berani berucap bahwa saya tidak cocok mengenakan pakaian berwarna mencolok (ini pengalaman pribadi). 

Tentu, sudut pandang dia berbeda dengan saya, ketika ingin mencoba tampil mengenakan warna yang lebih ngejreng yang ternyata malah norak dimatanya.

Bagaimana saya menyikapinya?, rasa syukur yang mendalam karena masih ada yang bicara jujur apa adanya. Demikian halnya ketika SPI tadi berulang kali memosting tentang perilaku pamer di medsos (SPI memiliki follower tujuh juta orang). Tentu SPI ingin memberi edukasi kepada masyarakat, bahwa perlu pengekangan diri untuk menghindari perilaku pamer. 

Saya yakin, tujuan SPI murni ingin menjembatani komunikasi antar generasi, agar perilaku buruk tersebut tidak menjadi budaya baru bagi bangsa kita.

Salah satu kalimat SPI yang paling menohok adalah bahwa orang yang suka pamer itu sebenarnya tidak bahagia, maka dia haus pujian, ingin disanjung. 

Yakinlah, bahwa dengan semakin banyak melakukan perilaku pamer, hati semakin nelangsa ketika sedikit yang komen. Dan jangan dulu berbangga diri ketika banyak yang komen, malah di engkol pula (istilah Medan, yang artinya kita disanjung setinggi langit, padahal kenyataannya masih berpijak di bumi).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun