Mohon tunggu...
Masino Sinaga
Masino Sinaga Mohon Tunggu... Web Developer -

Web Developer yang lumayan rutin menuliskan pengalamannya di http://www.masinosinaga.com

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Benarkah Ahok Diwajibkan Cuti Kampanye?

23 Agustus 2016   11:15 Diperbarui: 23 Agustus 2016   16:33 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) mengajukan Judicial Review Undang-Undang Pilkada Nomor 10 Tahun 2016 ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ahok merasa aturan cuti kampanye bagi petahana yang tercantum dalam Pasal 70 Ayat (3) UU tersebut telah merampas hak konstitusionalnya. 

Konon kabarnya, di dalam aturan tersebut, calon petahana wajib cuti selama masa kampanye sekitar empat bulan. 

Di sisi lain, Ahok mempunyai alasan tersendiri mengapa dia tidak ingin cuti dan tidak ingin ikut kampanye. Ahok ingin benar-benar mengawal pembahasan APBD yang jadwalnya bertepatan dengan masa kampanye Pilkada DKI itu. Ahok juga tidak ingin membuang waktu percuma selama empat bulan, hanya dengan mengikuti kampanye. Ahok tetap ingin bekerja selama empat bulan itu.

Terlepas dari mereka yang pro dan kontra dengan keinginan Ahok tersebut, yang menjadi pertanyaan utama dalam tulisan saya ini adalah, Benarkah Ahok diwajibkan cuti kampanye? 

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, saya tergelitik untuk melihat kembali isi Pasal 70 tersebut secara utuh. Seperti apa sih isi selengkapnya? Saya tidak mau hanya melihat Ayat (3) itu saja. Lagi-lagi, naluri saya mengatakan bahwa untuk memahami konteks dari Pasal 70 tersebut secara menyeluruh, kita sebaiknya menyimak ayat demi ayat secara utuh. Mulai dari ayat pertama sampai terakhir. 

Mengapa? Karena ayat-ayat yang terdapat dalam suatu Pasal Undang-Undang biasanya saling terkait. Ayat-ayat itu dicantumkan tidak bisa berdiri sendiri. Itulah kenapa di dalam suatu Pasal terdapat beberapa ayat, dan ketentuan dalam satu ayat biasanya saling terkait dengan ayat-ayat sebelumnya. Atau, ketentuan di suatu ayat biasanya menjelaskan ketentuan di ayat sebelumnya.

Berikut ini kutipan lengkap dari Pasal 70.

Pasal 70
Ayat (1): Dalam kampanye, pasangan calon dilarang melibatkan:
a. Pejabat badan usaha milik negara/badan usaha milik daerah;
b. Aparatur sipil Negara, anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia, dan anggota Tentara Nasional Indonesia; dan
c. Kepala Desa atau sebutan lain/Lurah dan perangkat Desa atau sebutan lain/perangkat Kelurahan. 

Ayat (2): Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, pejabat negara  lainnya, serta pejabat daerah dapat ikut dalam kampanye dengan mengajukan izin kampanye sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ayat (3): Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama, selama masa kampanye harus memenuhi ketentuan:
a. Menjalani cuti di luar tanggungan negara; dan
b. Dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya.  

Ayat (4): Cuti sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi Gubernur dan Wakil Gubernur diberikan oleh Menteri Dalam Negeri atas nama Presiden, dan bagi Bupati dan Wakil Bupati serta Walikota dan Wakil Walikota diberikan oleh Gubernur atas nama Menteri.

Ayat (5): Cuti yang telah diberikan sebagaimana dimaksud pada ayat (4), wajib diberitahukan oleh Gubernur dan Wakil Gubernur kepada KPU Provinsi, dan bagi Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota kepada KPU Kabupaten/Kota. 

Oke, sekarang mari kita bahas satu per satu, ya.

Ayat (1) sudah jelas. Itu adalah ketentuan yang bersifat umum, dan berlaku untuk semua pasangan calon yang ikut kampanye. Sampai di sini belum ada yang perlu kita diskusikan.

Sekarang mari kita simak dengan teliti Ayat (2). Di situ dinyatakan, bahwa: 

Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, pejabat negara  lainnya, serta pejabat daerah dapat ikut dalam kampanye dengan mengajukan izin kampanye sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Mari kita perhatikan kata-kata yang ditandai dengan cetakan tebal di ayat (2) itu. Pertanyaannya, apakah di sana ada kata harus atau wajib tercantum? Apakah ada atau tidak, Saudara-saudara? Kalau memang tidak ada, maka cobalah baca kembali ayat (2) tadi. Bukankah di sana tidak ada diwajibkan calon petahana untuk ikut kampanye? Siapa tahu, saya yang salah mengartikan. 

Karena di sana tidak tercantum kata harus atau wajib, jadi apakah itu artinya? Arti dari kalimat dapat ikut dalam kampanye dengan mengajukan izin kampanye dalam hal ini mengandung dua pengertian sekaligus: 

  1. Ahok bisa ikut kampanye (makna yang tertera secara eksplisit), atau: 
  2. Ahok bisa juga tidak ikut kampanye (makna yang tertera secara implisit). 

Kalau kita cermati ulang ayat (2) tadi, maka penekanan ketentuan di sini adalah hanya bagi pasangan calon petahana yang ingin ikut kampanye. Jika Ahok ikut kampanye, maka tentu saja dia harus mengajukan izin kampanye ke Mendagri, yaitu dengan mengambil cuti, seperti yang akan dijelaskan pada ayat (3). 

Sebaliknya, jika Ahok tidak ingin ikut kampanye, maka Ahok tidak perlu mengajukan izin kampanye, atau tidak perlu mengajukan cuti ke Mendagri. Sampai di sini, sudah jelas, bukan?

Selanjutnya, setelah kita memahami konteks di ayat (2), mari kita simak ayat (3). Dalam ayat (3) dinyatakan, bahwa: 

Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, Walikota dan Wakil Walikota, yang mencalonkan kembali pada daerah yang sama, selama masa kampanye harus memenuhi ketentuan:
a. Menjalani cuti di luar tanggungan negara; dan
b. Dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya.

Jika kita membaca hanya ayat (3) ini saja tanpa melihat ayat (2), maka siapapun pasti akan langsung mengartikan bahwa Ahok harus mengambil cuti supaya bisa ikut kampanye. 

Tapi, nah ini dia... jika kita melihat kembali ayat (2) sebelumnya, maka ayat (3) ini ingin mengatakan, bahwa jika Ahok ikut kampanye seperti yang dimaksud pada ayat (2) tadi, maka Ahok harus menjalani cuti kampanye. Tapi jika kita simak lebih dalam lagi makna ayat (3) ini, kata harus di sini menerangkan bagi calon petahana yang ikut kampanye saja. Jika seandainya Ahok ikut kampanye, maka Ahok dilarang menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya. Itu sudah jelas.

Sebaliknya, karena di ayat (2) tadi terdapat makna implisit yang menyatakan bahwa jika Ahok tidak ikut kampanye, maka ayat (3) tersebut dengan sendirinya tidak berlaku bagi Ahok. Itu artinya, karena Ahok tidak mengikuti kegiatan kampanye tadi, maka Ahok tetap dapat bekerja selama dalam masa kampanye tersebut. Dengan demikian, secara otomatis pula, Ahok tetap bisa menggunakan fasilitas yang terkait dengan jabatannya. Jelas dong, karena Ahok tidak ikut kampanye.

Untuk ayat (4) dan ayat (5), sudah jelas. Ayat (4) berisi ketentuan yang menjelaskan ayat (3), sedangkan ayat (5) menjelaskan ketentuan yang menjelaskan ayat (4). Kedua ayat yang terakhir ini masing-masing menjelaskan tentang ketentuan teknis pengajuan dan pemberian cuti secara hirarki.

Mungkin ada juga yang akan menafsirkan bahwa antara ayat (2) dan (3) itu masing-masing berdiri sendiri. Jika ayat (2) dan ayat (3) itu berdiri sendiri, pertanyaan selanjutnya: mengapa di ayat (2) terdapat makna yang bertentangan dengan ayat (3) tadi? Seperti uraian saya di atas tadi, ayat (2) mengandung dua makna (boleh ikut kampanye, atau boleh tidak ikut kampanye), karena tidak adanya kata wajib atau harus di sana. 

Dari uraian dan analisis saya di atas, masihkah kita menganggap bahwa ketentuan di Pasal 70 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 itu mewajibkan Ahok untuk mengambil cuti kampanye? 

Apakah itu artinya selama ini kita (sudah atau sedang) terjebak dalam memahami ketentuan yang tercantum dalam suatu Undang-Undang secara parsial atau sebagian saja? Apakah kita selama ini tidak pernah melihat konteks di suatu Pasal dalam suatu Undang-Undang  secara menyeluruh? 

Selain itu, tidak adakah satu orang Pejabat di level Pusat sana yang memahami niat baik dari seorang Ahok di atas? Bukankah ketika Ahok memutuskan ingin bekerja selama empat bulan masa kampanye itu, itu jauh lebih baik daripada dia tidak bekerja sama sekali. 

Justru karena dengan tetap bekerja itulah, Ahok menyadari betul, bahwa dia tidak ingin melakukan kampanye lagi bagi masyarakat Jakarta yang akan memilihnya nanti. Ahok juga sekaligus ingin membuktikan, bahwa jika calon petahana tetap bekerja dengan baik dan jujur, maka tidak perlu menghabiskan biaya yang tidak sedikit hanya untuk berkampanye. Bukankah ini bisa menjadi contoh yang baik bagi para pemimpin di daerah lainnya?

Sayangnya, niat baik Ahok ini pun tidak bisa dipahami oleh mereka yang selama ini tidak senang dengan Ahok dan "memaksa" supaya Ahok tetap ikut cuti.

Bagaimana menurut pendapat Anda?

Sumber: UU No. 10 Tahun 2016, klik di sini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun