Konflik Palestina – Israel selalu tak sederhana untuk dibicarakan. Konflik panjang yang terpampang pada peta geopolitik Timur Tengah itu setidaknya sudah berlangsung seumur republik kita tercinta, 70-an tahun lamanya.
Asa Zionisme untuk mendirikan sebuah tanah air bagi bangsa Yahudi, Medinat Yisrael atau Israel Raya, membuat jutaan orang tergusur dari tanah airnya, menyebabkan konflik regional yang menghanguskan jutaan dollar hingga hilangnya puluhan ribu nyawa tak berdosa.
Setidaknya terjadi 3 perang besar antara negara-negara Arab dan Israel. Tahun 1948 menjadi awal konflik berdarah antara koalisi Arab melawan Israel, disusul dengan Perang 6 Hari yang terjadi pada 1967. Malangnya, kekuatan koalisi Arab berhasil dipatahkan oleh strategi dan tindakan defensif - ofensif militer Israel.
Barulah pada konflik bersenjata tahun 1973, Israel dibuat kewalahan. Angkatan bersenjata negara-negara Arab di bawah komando Mesir dan Suriah menguras kekuatan militer Israel. Meski pada akhirnya peperangan itu diakhiri dengan gencatan senjata setelah Israel memukul mundur koalisi Arab. Konflik bersenjata yang dikenal dengan Perang Yom Kippur itu pun melibatkan Amerika Serikat dan Uni Soviet di belakang layar.
Sejarah kelam yang bermula dari migrasi besar-besaran Yahudi ke tanah Palestina cukup dijadikan dalil bahwa konflik itu bernuansa kemanusiaan. Meski sebagian pihak menyebut konflik itu sebagai perseteruan antara dunia Islam dan Yudaisme.
Pudarnya Kekuatan Anti Zionisme
Pasca Perang Yom Kippur, ancaman nyata negeri Yahudi di Timur Tengah beringsut memudar. Bermula pada ditandatanganinya perjanjian damai dengan Mesir pada 1978. Perjanjian yang dikenal dengan Perjanjian Camp David itu mengantarkan Presiden Mesir saat itu, Anwar Sadat pada kematiannya di tahun 1981. Ia diberondong oleh anggota militer Mesir saat parade militer pada tahun 1981.
Yordania menyusul langkah Mesir saat Raja Hussein dan Yitzhak Rabin membubuhkan tanda tangannya di atas perjanjian damai pada 26 Oktober 1994 dengan disaksikan Presiden AS, Bill Clinton.
Sementara itu Irak, Libya dan Suriah tereliminasi dari daftar ancaman regional Israel melalui konflik dalam negeri.
Meski berada di tengah mayoritas negeri Arab yang cenderung islamis, pemerintahan Irak dan Suriah memiliki ideologi yang berbeda.Â
Hafez al-Assad (pendahulu Basyar al-Assad) dan Saddam Hussein adalah seorang sosialis. Mereka adalah pengikut partai Ba'ath yang menggelorakan gerakan Pan Arabisme/nasionalisme Arab yang anti Barat.
Ba'ath mulai berkuasa di Suriah pada 1963 dan kemudian di Irak pada 1968. Di Suriah, partai ini masih bertahan dengan diwariskannya kekuasaan dari Hafez al-Assad ke Bashar al-Assad. Sementara di Irak, Ba'ath sudah diberangus saat Saddam Hussein tumbang oleh serangan tentara sekutu pimpinan AS.
Konflik internal di Suriah ditengarai sebagai upaya untuk meruntuhkan rejim Al-Assad sekaligus mencoreng wajah Islam di pentas internasional.
Generasi masa kini mungkin tak mengenal Saddam Hussein, Muammar Qadhafi dan Hafez al-Assad sebagai sosok anti kolonialisme Zionis. Justru yang lebih dikenal adalah sosok Saddam dan Qadhafi sebagai diktator yang tak segan melanggengkan kekuasaannya secara zalim.
Tak beda dengan rezim al-Assad di Suriah. Pandangan sektarian bahwa mereka bagian dari Syiah yang diberitakan giat memerangi Sunni dalam perang saudara akan lebih mengemuka. Fakta bahwa Suriah pernah menjadi rumah gerakan muqawamah Palestina, Hamas dari 2001 hingga meletusnya perang saudara pada 2012 menjadi informasi yang asing yang di telinga.
Hal yang sama terjadi pada Iran dan faksi militan Lebanon, Hizbullah. Jutaan dollar AS yang dikucurkan pemerintah Iran kepada Hamas luput dari daftar partisipasi negara Arab dalam anti Zionisme.
Kompleksitas permasalahan Palestina pun muncul dari dalam tubuh faksi-faksi perlawanan. Friksi yang pernah terjadi antara Fatah dan Hamas menjadi dinamika yang mewarnai perjalanan anti pendudukan Israel.Â
Dan pada saat yang bersamaan, Turki menyembul dan menjadi bintang kontra Israel. Meski di lapangan, perekonomian Turki mereguk keuntungan dari hubungan perdagangan dengan Israel.Â
Tercatat dalam kurun waktu 2014 hingga 2021, nilai rata-rata ekspor Turki ke Israel mencapai USD 302 juta. Melihat kondisi itu, Erdogan harus bermain cantik dalam upaya konfrontasinya dengan Israel. Atau nantinya ancaman Turki ke Israel akan berakhir sebagai retorika.
Sumber :
- Wikipedia
- Iran said increasing Hamas funding to $30m per month, wants intel on Israel
- Turkey Exports to Israel 2014-2021 Data
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H