Mustahil juga jika seorang tenaga pemasaran yang berada di tengah-tengah pameran mobil berpakaian kaus oblong dan rambut yang nggak disisir untuk menarik calon pembeli. Adanya juga rok di atas dengkul dan riasan yang cetar membahana.
Begitu pula dalam nilai-nilai reliji. Susah masuk di akal, jika seseorang yang berpenampilan "kurang islami" dan tak memiliki kecakapan yang lebih dalam hal agama bisa meraih simpati dari orang lain yang tengah berusaha beragama dengan baik. Kecuali di negeri ini memang terlalu banyak orang yang terpedaya oleh orang yang berkemampuan ala kadarnya bahkan baca al-Fatihah pun tak fasih.
Lalu apa yang menjadi batasan kalimat Pak Menteri?
Batasannya adalah logika bahwa tak mungkin ia mengalamatkan tudingan pembawa ide radikalisme secara gebyah uyah kepada para good looking guy dan hafiz. Mau cari masalah apa?
Bahwa Menag menyebut good looking dan hafiz sebagai identitas agen radikalisme perlu dimaknai terbatas bahwa sangat mungkin seorang radikalis memang memiliki kelebihan dibanding dengan muslim lainnya.Â
Biar lebih jelas, coba cari video Abu Jandal al-Indunisi yang beberapa tahun lalu --di kisaran tahun 2015-- viral karena mengancam Panglima TNI kala itu, Moeldoko.
Lalu bandingkan keluwesan lidahnya dalam melafalkan ayat al-Quran dengan bacaan Anda, eh orang-orang di sekitar Anda. Sama fasihnya atau lebih fasih yang mana?
Berpengetahuan Tak Selalu Radikal, Itu Jelas! Wong yang Bodoh tapi Radikal Juga Ada
Kata radikal di sini terkait dengan pemahaman seseorang yang tak mengenal toleransi, yang meletakkan batasan kebenaran hanya dari perpektif berpikirnya saja. Sikap itu bersifat universal dan bisa hinggap di mana pun juga. Tak terkecuali kepada para penganut ajaran agama atau kepercayaan apa pun.Â
Tentu radikalisme atau ekstremisme itu bukan lahir dari ajaran agama namun dari para pemeluk yang menafsirkan dogma agama dengan kacamata kuda. Demikian saya mengutip dari para agamawan yang lebih mengerti.
Meski menafsirkan banyak hal dengan sudut pandang yang terbatas, seorang radikalis amat mungkin tak terlihat bodoh. Apa pasal?Â
Sebab orang yang tertarik dengan pemikirannya adalah orang-orang yang tak lebih pandai darinya. Bisa jadi ia bergelar atau memiliki kedudukan namun minim kapasitas keilmuan agamanya. Di sinilah apa yang dikatakan Menag tentang "penguasaan bahasa Arab bagus, hafiz" itu berperan.Â
Lalu setelah orang-orang itu mengikuti pemikiran keras sang mentor, ia pun tak lantas menjadi pandai berdalil, menerangkan hukum ini dan itu lalu menjabarkan berbagai ayat dengan lancar.