Mohon tunggu...
Ahmad Indra
Ahmad Indra Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Good Looking nan Radikal? Mungkin Ada Benarnya

5 September 2020   20:37 Diperbarui: 16 September 2020   21:57 746
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Agama RI, Fachrul Razi | Kompas.com

"Jadi Pak Menteri ingin mengetrek atau menarik perhatian publik tentang perlunya kita hati-hati dengan berbagai varian, cara modus, paham tersebut. Paham-paham di lembaga pendidikan, di pengajian, majelis taklim," ucap Dirjen Bina Masyarakat Islam Kemenag, Kamaruddin Amin, seperti diberitakan Detikcom, Jumat (4/9/2020). 

Agen Radikalisme, Good Looking?
Pernyataan Menteri Agama (Menag) Fachrul Razi mengenai agen radikalisme yang good looking itu seperti sekuel dari pernyataannya terdahulu. Yup, pernyataan yang menyinggung tentang cadar dan celana cingkrang waktu itu.

Cadar sebagaimana celana cingkrang memang sudah menjadi bagian dari identitas keislaman meski banyak juga muslim yang tidak beratribut seperti itu. Bahkan di Indonesia, justru lebih banyak muslim yang tidak berpenampilan seperti itu.

Namun pernyataan Menag kadung dianggap sebagai sebuah ungkapan yang menciderai nilai keislaman. Dan kali ini terulang lagi.

Mengatakan bahwa anak yang good looking sebagai agen yang mengantarkan radikalisme, Menag pun kembali panen kritikan. Selain good looking, purnawirawan TNI itu pun menyebut bahwa radikalisme dibawa oleh orang yang memiliki penguasaan bahasa Arab yang baik bahkan bisa jadi ia hafal al-Quran (seorang hafiz).

Masuk akalkah pernyataan Menag tersebut?

Sebelum menjawabnya, perlu rasanya kita sediakan segelas es teh manis dulu untuk mendinginkan suasana. Hehe..

Good Looking Itu Kayak Marketer Gitu?
Saya sendiri tak terlalu kaget dengan pernyataan Menag. Sebab kalimat yang meluncur dari lidah Bapak Fachrul Razi itu nampak ada benarnya juga. Tentu dengan beberapa batasan. Istilah Jawanya "Amm makhshush", kalimat umum yang dibatasi. Biar terkesan ilmiah, hehe.

Begini penjelasannya.

Kalimat itu bersifat umum saat dibawa ke bahasan tentang cara menggaet orang untuk mengikuti suatu pemikiran. Seseorang tentu perlu ketertarikan dari lawan bicara untuk mendapat perhatian. Entah dari cara bicara atau penampilannya.

Ibarat seorang yang menawarkan kartu kredit ke Anda, mustahil rasanya dia mengatakan "Awas kalau nggak ikut, gue sumpahin lu". Kata demi kata tentu dirangkainya dengan indah agar dapat menghunjam ke sanubari.

Mustahil juga jika seorang tenaga pemasaran yang berada di tengah-tengah pameran mobil berpakaian kaus oblong dan rambut yang nggak disisir untuk menarik calon pembeli. Adanya juga rok di atas dengkul dan riasan yang cetar membahana.

Begitu pula dalam nilai-nilai reliji. Susah masuk di akal, jika seseorang yang berpenampilan "kurang islami" dan tak memiliki kecakapan yang lebih dalam hal agama bisa meraih simpati dari orang lain yang tengah berusaha beragama dengan baik. Kecuali di negeri ini memang terlalu banyak orang yang terpedaya oleh orang yang berkemampuan ala kadarnya bahkan baca al-Fatihah pun tak fasih.

Lalu apa yang menjadi batasan kalimat Pak Menteri?

Batasannya adalah logika bahwa tak mungkin ia mengalamatkan tudingan pembawa ide radikalisme secara gebyah uyah kepada para good looking guy dan hafiz. Mau cari masalah apa?

Bahwa Menag menyebut good looking dan hafiz sebagai identitas agen radikalisme perlu dimaknai terbatas bahwa sangat mungkin seorang radikalis memang memiliki kelebihan dibanding dengan muslim lainnya. 

Biar lebih jelas, coba cari video Abu Jandal al-Indunisi yang beberapa tahun lalu --di kisaran tahun 2015-- viral karena mengancam Panglima TNI kala itu, Moeldoko.

Lalu bandingkan keluwesan lidahnya dalam melafalkan ayat al-Quran dengan bacaan Anda, eh orang-orang di sekitar Anda. Sama fasihnya atau lebih fasih yang mana?

Berpengetahuan Tak Selalu Radikal, Itu Jelas! Wong yang Bodoh tapi Radikal Juga Ada
Kata radikal di sini terkait dengan pemahaman seseorang yang tak mengenal toleransi, yang meletakkan batasan kebenaran hanya dari perpektif berpikirnya saja. Sikap itu bersifat universal dan bisa hinggap di mana pun juga. Tak terkecuali kepada para penganut ajaran agama atau kepercayaan apa pun. 

Tentu radikalisme atau ekstremisme itu bukan lahir dari ajaran agama namun dari para pemeluk yang menafsirkan dogma agama dengan kacamata kuda. Demikian saya mengutip dari para agamawan yang lebih mengerti.

Meski menafsirkan banyak hal dengan sudut pandang yang terbatas, seorang radikalis amat mungkin tak terlihat bodoh. Apa pasal? 

Sebab orang yang tertarik dengan pemikirannya adalah orang-orang yang tak lebih pandai darinya. Bisa jadi ia bergelar atau memiliki kedudukan namun minim kapasitas keilmuan agamanya. Di sinilah apa yang dikatakan Menag tentang "penguasaan bahasa Arab bagus, hafiz" itu berperan. 

Lalu setelah orang-orang itu mengikuti pemikiran keras sang mentor, ia pun tak lantas menjadi pandai berdalil, menerangkan hukum ini dan itu lalu menjabarkan berbagai ayat dengan lancar.

Ia bisa saja tetap berpengetahuan terbatas karena memang ia hanya memiliki waktu yang terbatas dalam menggali ilmu agama yang melaut luas. Dan tetaplah ia menjadi pribadi bodoh yang hanya mau memegang ajaran gurunya dan menganggapnya sebagai sebuah kebenaran tunggal.

Baca juga : Kala Rocky Gerung Masuk [Sekolah] Islam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun