Begitu terobsesinya kepada motor bergenre sport, saya pernah nglurug ke lebih dari 5 modifikator motor, satu di Solo dan lainnya di Yogya.Â
Hobi, Curahan Perasaan
Pertama kali saya tertarik pada dunia balap motor di saat masih kuliah. Kira-kira tahun 2000-an. Saat itu Kenny Roberts Jr baru saja menjuarai GP 500cc dengan Suzuki RGV 500.Â
Saking kepincutnya, saya sempat nembung ke bapak untuk dibelikan sebuah motor. Waktu itu, saya nggak menyebut sebuah motor balap. Hanya menyampaikan alasan untuk memperlancar transportasi ke kampus dan mempermudah mobilitas saat mengerjakan tugas.Â
Apa daya, saya akhirnya harus mengubur asa itu karena proposal tidak di-ACC. Walhasil, saban hari ke kampus tetap naik angkot atau jalan kaki. Lumayan, hampir setengah kiloan jarak antara kos dan kampus.Â
Sebagai curahan perasaan, saya pun hobi corat coret di kertas HVS dengan tema motor sport. Poster di kamar kos pun sama. Dari Emilio Alzamora (juara Gp 125 1999), Tetsuya Harada (juara GP 250cc 1993), Daijiro Kato (juara GP 250cc 2001) dan masih banyak lagi.
Dan saat di kampus, saya cuma bisa terkagum-kagum pada sebuah Honda NSR 150 berkelir putih yang terparkir di antara ratusan motor lainnya. Meski saat itu keinginan saya adalah sebuah Suzuki RGR 150.
Baru Terlaksana Setelah Kerja
Sepuluh tahun setelah lulus, saya baru bisa mewujudkan keinginan yang terpendam.
Saat itu di Solo, saya menyambangi sebuah bengkel modifikasi di dekat kampus Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS). Tak butuh waktu lama, saya pun menebus sebuah Honda Tiger untuk dijadikan bahan modifikasi.
Hal itu kini menjadi titik awal penyesalan saya dan menyadarkan bahwa yang namanya cinta itu memang bikin rabun mata.
Saking kebeletnya punya motor yang moge look, saya nggak sempat survei ke tempat lain atau setidaknya browse dan bertanya tentang modifikasi motor sport agar lebih lebar layar pandangan saya.
Meski tampangnya nggak memalukan, namun hasil modifikasi bengkel tersebut kurang enak untuk dikendarai. Salah satu sebabnya adalah pemilihan material yang kurang bagus menurut saya.Â
Shock depan upside down yang terpasang sama sekali tak nyaman saat motor melalui jalan berlubang atau berkerikil sekalipun. Radius putar motor pun sangat terbatas karena tangki yang merampas space putaran stang. Ya, kaya moge beneran sih.. kalau mau belok harus miring..
Berulang Kali Masuk Bengkel
Hasil project pertama pun saya nyatakan gagal. Padahal saat itu dana yang keluar mencapai kurang lebih 17 jutaan. Amsiong dah.
Lalu seiring dengan kepindahan ke Yogya, saya pun mencari "dokter" lain yang bisa mengobati penyakit-penyakit pada si Macan. Jatuhlah pilihan pada sebuah bengkel modifikasi di kawasan Jl. Parangtritis.Â
Bermaksud untuk merevisi saja, saya justru merombak total si Macan. Kali ini mengganti hampir semua part bawaan pabrik, dari rangka depan, velg, tangki dan lengan ayun dengan bahan eks moge beneran.Â
Saat itu limbah yang digunakan sebagian besar adalah eks Aprilia RS 125. Hadeuh, anggaran melonjak dengan tingginya.Â
Meski begitu, hasilnya pun tak sesuai harapan. Mungkin salah satu sebabnya adalah saya yang gonta-ganti rencana baik dalam model atau penggunaan bahan tadi. Modifikatornya puyeng kali, ini anak maunya gimana sebenarnya.
Masih tak puas, akhirnya si Tiger masuk ke bengkel terakhir di kawasan Jl. Kaliurang. Di sana saya hanya fokus untuk membuat motor nyaman dikendarai karena dana sudah banyak terkuras.Â
Pesan yang Didapat dari Modifikasi Motor
Modifikasi motor ternyata bukan hobi main-main. Ia butuh dana yang tak sedikit jika si empunya motor ingin hasil yang "sempurna".
Bukan cuma dana, ia pun harus punya persiapan matang, dari pemilihan bengkel yang pas, pemilihan material hingga yang paling awal yakni desainnya. Sebab modifikasi jauh lebih rumit daripada bikin gambar di CAD, yang jika salah tinggal hapus melalui satu atau dua klik saja.
Hobi ini membutuhkan dana yang "tak terbatas". Dulu saat masih mengandalkan limbah moge, anggaran untuk mengubah tampilan kaki-kaki saja sudah menghabiskan dana lebih dari 10 jutaan.Â
Jumlah itu untuk menebus daftar belanjaan yang terdiri dari shock depan, lengan ayun beserta shock-nya, velg serta perangkat rem. Belum yang lain.Â
Namun kini, produk lokal sudah menjamur. Jadi harga untuk sektor itu bisa ditekan.
Lalu faktor keamanan pun harus jadi pertimbangan utama. Modif ekstrim misal ganti rangka atau ubah double shock jadi monoshock harus dikerjakan oleh modifikator yang berpengalaman. Karena salah perhitungan bisa mengundang bahaya. Minimal motor jadi nggak nyaman saat dikendarai.
Dan yang perlu diingat adalah bahwa desainer motor terbaik adalah pabrikan motor sendiri. Mereka tentu sudah melewati sekian banyak tahap sebelum melahirkan sebuah produk. Jadi jika masih ingin mengubah tampilan, mungkin cukup dengan modifikasi minor saja.Â
***
Baca juga :
- MotoGP: Marc Marquez Resmi "Mundur" dari Musim 2020
- Hizbut Tahrir Dibela, Ini Sebabnya
- Mampukah KAMI Buktikan Diri Konsisten sebagai Gerakan Moral?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H