Banser itu, sebagian orang gemar menyindirnya dengan sebutan penjaga gereja. Padahal di lain waktu, orang-orang itu bangga mengabarkan warga non muslim yang tengah mengamankan salat jamaah.
Banser itu, bagi sebagian orang, wajib di-bully karena katanya suka membubarkan pengajian. Padahal Banser tak pernah bermasalah dengan segala pengajian, asal penceramahnya tak bermasalah.
Banser itu, bagi pembencinya, suka disebut dengan ban serep, padahal jelas-jelas bukan ban serep. Maksudnya apa coba? 😁
Banser dan HTI
Media telah mencatat hubungan yang tak harmonis antara Banser dan HTI. Meski Banser dan organ induknya yakni GP Ansor dan induknya lagi, Nahdlatul Ulama sama sekali nggak ingin ada gesekan dengan sesama muslim apa pun mazhab-nya.
Tapi HTI, sebagaimana Hizbut Tahrir-Hizbut Tahrir di belahan bumi manapun, yang justru menempatkan diri secara berhadapan dengan kaum muslimin lainnya. Terbukti banyak negara muslim yang menolak HT.
Apakah lalu dikatakan bahwa hanya ulama HT yang benar dalam memandang persoalan khilafah? Sementara ulama lainnya keliru dalam memahami bahasan khilafah dalam perspektif hukum Islam?
Di Indonesia, peristiwa yang masih lekat dalam ingatan adalah gesekan yang terjadi di lapangan antara badan otonom NU di bawah kendali GP Ansor itu dengan para pengikut HTI di beberapa kota di Indonesia. Lalu penolakan GP Ansor terhadap Felix Siauw yang nota bene adalah agen HTI solid. Termasuk juga lampu kuningnya yang diarahkan kepada Ustadz Abdul Somad yang pernah hadir dalam acara HTI.
Dan baru-baru ini, viral di media sosial para anggota Banser yang disebut mempersekusi orang yang menyebarkan paham khilafah.
Lalu netizen pun menggunakan formulasi "Banser selalu salah" karena Banser lebih memandang non muslim sebagai kawan, Banser suka membubarkan pengajian dan pasal-pasal memberatkan lainnya. Yang pasti, pokoknya Banser yang salah, deh.
HTI dan Mudahnya Penerimaan Masyarakat
Mendengar istilah khilafah, otomatis yang akan terbayang di benak kita adalah HTI. Meski ia bukan satu-satunya organ yang mempropagandakan khilafah, tapi HTI-lah yang paling masif dan mencolok pergerakannya di Indonesia. Dan hingga badan hukumnya dicabut pun, para aktivis HTI masih saja bebas bergerak.
Mudahnya HTI dalam pergerakan di masyarakat itu diantaranya terjadi karena beberapa faktor. Diantaranya :
1. Lekat dengan atribut keagamaan
Seperti biasa, apapun yang membawa label agama akan laku keras di negeri ini. Begitu juga dengan HTI.
Dengan menempatkan kalimat tauhid sebagai lambang, masyarakat awam akan dengan mudah menerimanya sebagai sebuah gerakan islamis sejati. Tanpa dalil babibu, cukup dengan liwa' dan rayah, dengan mudah bejibun simpati mendarat.
Dan konsekuensinya jelas, siapa yang berseberangan dengannya sudah barang tentu dinisbatkan sebagai musuh, tepatnya musuh Islam.
Konyolnya, orang-orang yang kerap menelurkan tuduhan "musuh Islam" itu bukanlah orang-orang yang memiliki pengetahuan mendalam tentang isu yang dibicarakan. Lha wong tahunya cuma dari internet.
2. Keterbatasan Pengetahuan tentang Khilafah
Khilafah bagi HTI adalah wajib, namun tidak bagi muslim lain. Khilafah adalah sebuah diskursus yang bisa didiskusikan secara ilmiah dengan mengambil dalil-dalil agama.
Namun karena ruang-ruang publik tak terisi oleh diskusi-diskusi semacam itu, maka masyarakat hanya tertuju pada propaganda-propaganda HTI.
Di sini, HTI tak berjalan sendirian. Pihak-pihak lain, yang ironisnya tak sejalan dengan HTI dalam memandang khilafah pun, ikut mendukungnya. Seperti pada kasus bendera HTI dan bendera tauhid. FPI, yang secara terbuka menyatakan berbeda dengan HTI dalam paradigma khilafah, juga ikut-ikutan membela bendera HTI .
Perlu dipertanyakan kepada mereka, mana mungkin ada umat Islam yang menolak kalimat tauhid?, jika yang dituduhkan kepada para penolak HTI adalah bahwa yang mereka musuhi sesungguhnya bukanlah HTI melainkan Islam.
Tuduhan yang tak masuk di akal.
3. Tindakan Berlebihan Penentangnya
Sudah distempel sebagai musuh Islam, tapi para penentang HTI justru bertindak yang berlebihan. Misalnya menyebut HTI sama saja dengan PKI.
Di mata masyarakat, tentu hal itu tak dapat diterima. Mana mungkin para islamis bisa dipersamakan dengan pemeluk ajaran komunisme? Tanpa casciscus, jawabannya adalah mustahil. Bahkan cenderung terkesan menghina agama sendiri.
Ntar yang ada malah disebut mbah buyutnya musuh agama. Kontraproduktif.
Cukuplah bersikap proporsional dalam mendeskripsikan penolakan. Meski HTI adalah ekstraordinary case, menjadi berlebihan dalam meng-counter-nya bukanlah menjadi solusinya.
4. Korban Penzaliman
Pencabutan badan hukum oleh Menkumham dianggap sebagai kezaliman penguasa. Dan sebagaimana biasanya, hal itu akan dengan mudah mendatangkan simpati.
Pemerintah sebenarnya masih baik hati karena hanya mencabut status badan hukum HTI. Meski paham yang hendak mengganti dasar negara dimasukkan dalam UU Ormas sebagai paham yang dilarang, namun pada kenyataannya para aktivis HTI masih bebas bergerak.
Terakhir, pada 1 Muharram lalu mereka meluncurkan film "Jejak Khilafah di Nusantara" melalui channel Youtube. Tak menunggu lama, film itu pun segera diblokir pemerintah.
Bisa ditebak, tindakan pemerintah ini akan dikembalikan pada pasal "penzaliman".
"Mosok nayangin film saja kok diharamkan. Film Islam lagi. Apakah mau menghapus bukti keberadaan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia? Kalau begini, apa belum pantas dikatakan sebagai musuh Islam," mungkin itu yang terlintas di benak mereka.
5. Penguasa adalah Rezim Abangan
Yang ini gongnya. Apalagi kalau bukan karena rejim yang berkuasa adalah rejim abangan.
Kala rejim biru menjadi penguasa, HTI mendapatkan angin segar. Namun saat ini, mereka diberangus. Maka tak heran jika rejim ini ditumpahi sebutan sebagai rejim otoriter, rejim anti Islam, rejim pro komunis ataupun rejim anu dan anu.
Meski pada kenyataannya, ormas Islam lainnya masih aman-aman saja dari pemberangusan, termasuk FPI yang rajin menjadi promotor "silaturahmi nasional" berjilid-jilid.
Terus anti Islamnya dimana?
***
Baca juga artikel lainnya:
- Secuil Intoleransi di "The Spirit of Java"
- Bintang Jasa bagi Fadli dan Fahri Jadi Polemik? Kok Bisa?
- Mampukah KAMI Buktikan Diri Konsisten sebagai Gerakan Moral?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H