Sudah distempel sebagai musuh Islam, tapi para penentang HTI justru bertindak yang berlebihan. Misalnya menyebut HTI sama saja dengan PKI.
Di mata masyarakat, tentu hal itu tak dapat diterima. Mana mungkin para islamis bisa dipersamakan dengan pemeluk ajaran komunisme? Tanpa casciscus, jawabannya adalah mustahil. Bahkan cenderung terkesan menghina agama sendiri.Â
Ntar yang ada malah disebut mbah buyutnya musuh agama. Kontraproduktif.
Cukuplah bersikap proporsional dalam mendeskripsikan penolakan. Meski HTI adalah ekstraordinary case, menjadi berlebihan dalam meng-counter-nya bukanlah menjadi solusinya.Â
4. Korban Penzaliman
Pencabutan badan hukum oleh Menkumham dianggap sebagai kezaliman penguasa. Dan sebagaimana biasanya, hal itu akan dengan mudah mendatangkan simpati.
Pemerintah sebenarnya masih baik hati karena hanya mencabut status badan hukum HTI. Meski paham yang hendak mengganti dasar negara dimasukkan dalam UU Ormas sebagai paham yang dilarang, namun pada kenyataannya para aktivis HTI masih bebas bergerak.Â
Terakhir, pada 1 Muharram lalu mereka meluncurkan film "Jejak Khilafah di Nusantara" melalui channel Youtube. Tak menunggu lama, film itu pun segera diblokir pemerintah.
Bisa ditebak, tindakan pemerintah ini akan dikembalikan pada pasal "penzaliman".Â
"Mosok nayangin film saja kok diharamkan. Film Islam lagi. Apakah mau menghapus bukti keberadaan kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia? Kalau begini, apa belum pantas dikatakan sebagai musuh Islam," mungkin itu yang terlintas di benak mereka.
5. Penguasa adalah Rezim Abangan
Yang ini gongnya. Apalagi kalau bukan karena rejim yang berkuasa adalah rejim abangan.
Kala rejim biru menjadi penguasa, HTI mendapatkan angin segar. Namun saat ini, mereka diberangus. Maka tak heran jika rejim ini ditumpahi sebutan sebagai rejim otoriter, rejim anti Islam, rejim pro komunis ataupun rejim anu dan anu.