Ustad Abu Janda Al-Boliwudi, begitu dia menamai dirinya di media sosial. Permadi Arya, si aktifis media sosial itu kerap menimbulkan 'kekacauan' dengan status-statusnya. Bukan cuma jadi sasaran cemoohan para penentangnya, dia pun jadi bahan sesalan bagi mereka yang sejatinya berada nyaris sebarisan dengannya.
Permadi Yang Suka Offside
Salah satu acara televisi nasional yang menampilkan sosok Permadi Arya adalah Indonesia Lawyers Club (ILC). Kala itu temanya tentang pemberedelan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Saya lupa judul persisnya.Â
Dalam acara itu, hadir pula influencer pro Jokowi lain, Denny Siregar. Di pihak yang sama --anti HTI-- hadir Ketua PBNU, KH. Marsudi Syuhud dan seperti biasa sebagai gongnya, hadir pula Prof. Mahfud MD melalui telewicara.Â
Sedangkan di kubu lawan, didatangkanlah mantan aktivis HTI yang kemudian aktif di Forum Umat Islam (FUI), Muhammad al-Khaththath dan tokoh muda HTI, Felix Siauw.Â
Menurut saya, mempertemukan Permadi-Denny dengan al-Khaththath-Felix dalam tema khilafah, hanya akan mendegradasi perlawanan terhadap khilafah itu sendiri. Adu dalil dari ke dua pihak jelas tak seimbang. Apalagi KH. Marsudi Syuhud seperti biasa, bersikap woles dalam menyampaikan ulasannya.
Khalayak yang kadung termakan kampanye HTI, tak akan mungkin memperhitungkan dalil yang beradal dari logika dan hukum positif ala Permadi-Denny. Wong, khilafah itu perintah Tuhan, masa mau dilawan dengan logika dan aturan bikinan makhluk. Begitu kira-kira simpatisan khilafah membantahnya.
Namun setidaknya ada pernyataan Mahfud MD yang secara tegas meng-counter pro HTI dari sudut pandang agama. Meski sebenarmya diskusi mengenai khilafah tak cukup hanya dalam satu atau dua jam saja. Banyak literatur ulama terdahulu yang harus dibuka sebagai referensinya.
Tak hanya terhadap Felix, sentilan pakar Hukum Tata Negara itu mengarah ke Permadi yang secara serampangan berkomentar mengenai dalil naql, dalam hal ini hadits nabi.Â
Begitulah kesan tentang kehadiran Permadi Arya. Perlu nggak perlu dan offside.Â
Kebaya dan Cadar, Apanya Yang Perlu Dibandingkan?
Hendak memeriahkan Hari Kartini, Permadi melalui akun twitter-nya berkomentar mengenai cara berpakaian tradisional ala Kartini dengan cadar dalam cara berbusana sebagian muslimah.
Secara eksplisit, dia terlihat hendak memposisikan cadar sebagai sesuatu yang mesti distigma lebih rendah dari pakaian tradisional.
Di sini nampaknya Permadi lupa tak paham bahwa cadar adalah masalah yang di dalamnya terjadi perbedaan pendapat bahkan di antara para ulama Syafi'iyah sekalipun*. Adapun salah satu golongan yang menyandarkan diri pada mazhab fiqih yang diprakarsai oleh Imam Muhammad Idris al-Syafi'i itu adalah Nahdlatul Ulama (NU).
Dan kita tahu bahwa Permadi ini gemar mengidentifikasi dirinya sebagai nahdliyyin atau setidaknya akrab dengan orang-orang NU.Â
Jadi mengatakan hal buruk mengenai cadar apalagi mengafiliasikannya hanya kepada sikap ekstrim sebagian orang Islam, eksklusif apalagi hanya sekedar poligami, ibarat seorang yang menumpang jualan di pekarangan orang tapi nyinyir terhadap salah seorang anak si tuan rumah.
Sentilan pun datang dari Dr. Nadirsyah Hosen. Dalam twit yang me-mention Permadi, Rais Syuriah PCI NU Australia dan New Zealand itu menilai bahwa memperbandingan kebaya dan cadar adalah sebuah pemikiran sempit.Â
Mas @permadiaktivis pendapat saya wajah perempuan gak termasuk aurat, sehingga gak wajib ditutupi. Tapi kalau ada yg mau bercadar, saya hormati. Toh gak ganggu saya apapun pilihan cara berpakaian dan alasan mereka. Buat saya terlalu sempit menilai perempuan semata dr pakaian
Demikian bunyi twit Gus Nadir.Â
Offside lagi...
Oleh sebagian orang, cadar kerap dijadikan sebagai alat untuk mengidentifikasi ekstrimisme. Jelas hal itu adalah sebuah penilaian yang keliru. Gebyah uyah kata orang Jawa.
Jika para ekstrimis berlatar agama itu mengenakan cadar, bukan berarti cadar hanya identik dengan pemahaman ekstrim terhadap agama. Akibat pemikiran salah itu, muncullah diskriminasi dan antipati orang terhadap pengguna cadar. Meski tak ekspresif, paling tidak ada saja yang berpikir, "Beragama kok gini-gini amat ya terlalunya".Â
Dan twit Permadi bisa saja menimbulkan kesan lebih buruk lagi. Apalagi saat disentil Gus Nadir, dia berkilah bahwa cadar tak punya sandaran kuat dari Quran maupun hadits.Â
Lha kalau pernyataannya itu dipegang oleh para follower-nya, lalu diletakkan dimana hasil ijtihad para ulama fiqih yang jelas mu'tabar (otoritatif) dalam keilmuannya?, dimana sebagian dari mereka berpendapat bahwa cadar adalah sunnah.
Hal itu tentu saja bukan hal yang positif. Yakni saat orang yang tak jelas asal usul keilmuannya berbicara melampuai kapasitasnya dan diikuti pendapatnya oleh orang banyak.
Fenomena seperti ini bisa terjadi di mana saja, di posisi apa saja. Termasuk saat para 'ustad selebriti' dan 'ustad politik' dijadikan panutan dan diamini perkataannya oleh orang awam yang latah dan cenderung mengikuti seseorang dari sudut pandang selera diri atau pandangan politiknya saja.
Baca juga artikel lainnya :
- Merasa Rugi Beribadah di Rumah Selama Ramadhan?
- Lagi, Hizbut Tahrir Indonesia dalam Edaran Resmi Pemerintah
- Mudik Dilarang, Momen Melayang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H