Work from home (WfH) jadi moncer sebab terjangan Covid-19. Ketidakhadiran karyawan di kantor dimaksudkan untuk meminimalisir penularan virus itu. Sebenarnya work outside the office, katakanlah begitu, sudah pernah menjadi bahan diskusi di lingkup pemerintahan.Â
Adalah Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional (PPN)‎/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) yang pada Nopember tahun lalu dikabarkan tengah menggodok skema kerja PNS tak wajib ngantor. Hal itu diungkapkan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Tjahjo Kumolo.
Itu di lingkungan PNS, swasta apalagi. Sudah lebih dulu!
 Work from Home Efektif, Ini SyaratnyaÂ
WfH di tempat saya bekerja sudah berjalan 2 pekan lebih. Kalau bukan corona, mungkin 'terobosan' seperti ini tak akan dilakukan.
Menilik sebabnya, WfH hanyalah sebagai exit strategy agar perusahaan tetap bisa berjalan meski sebisanya. Namanya juga darurat, tak semua lini dapat bekerja sebagaimana saat normal.
Bagi sementara orang, WfH dipandang sebagai sebuah kenikmatan. Betapa tidak. Wong kita nggak perlu ngantor, nggak harus mandi pagi, kerja pakai kolor dan kaus singlet pun bisa. Asal pas online pakai Zoom, jangan sampai keliatan lecek-lecek amir.Â
Nah, ada beberapa poin yang bisa menunjang efektivitas dan kenyamanan dalam pelaksanaan WfH. Berikut ini diantaranya.
 1. Lajang.
Lho, lho, lhoh? Kenapa status marital bisa jadi faktor penentu kenyamanan WfH.Â
Tentu. Bagi yang belum berumah tangga, tentu tak ada yang akan menginterupsi keasyikannya bekerja di rumah. Diantaranya tak ada anak yang mengajaknya berinteraksi saat bekerja, misal ngajak bermain atau nemenin bapak atau ibunya kerja sembari melayangkan seribu tiga belas macam pertanyaan dari yang trivia sampai yang pilihan ganda.
Hal itu biasa terjadi pada karyawan yang masih memiliki anak usia balita atau beberapa tahun di atasnya. Bagi mereka, bapak atau ibu yang dirumah akan dianggap sedang libur kerja. Di kepala mereka belum ada istilah 'kerja di rumah'. Bukan bermaksud untuk mengkatagorikan anak sebagai gangguan tapi.. gimana ya bilangnya.. 🤔
 2. Tempat Persembunyian.
Bagi yang sudah tak lajang lagi namun harus bekerja di rumah, tak perlu risau apalagi menyesali pernikahan. 😂
Ada cara lain untuk menetralisir potensi gangguan sebagaimana yang tak dihadapi oleh seorang bujangan. Yakni tempat persembunyian. Bukan tempat sembunyi dalam arti hakiki, tapi sekedar tempat agar anak tak mudah menjangkau saat kita larut dalam kesibukan.
Saat kantor sebagai tempat memfokuskan diri harus tak tersentuh, kamar di rumah kita bisa menjadi penggantinya. Atau tempat lainnya, asal bisa mendukung fokus kita dalam bekerja.Â
Namun jika semua potensi yang membuyarkan kerja kita bisa dikondisikan, kita pun bisa gunakan ruang tamu, ruang makan atau ruang keluarga.
Bagi Anda yang sukar lepas dari si kecil, mungkin memasang gambar Joker atau badut IT di pintu kamar bisa membantu.
 3. Persediaan Kopi Yang Memadai.
Salah satu perlengkapan kantor yang cukup signifikan fungsinya adalah mesin pembuat kopi. Bukan begitu?
Kerja tanpa secangkir atau 2 cangkir kopi itu rasanya ada yang kurang. Meski tempo hari asam urat saya naik mungkin juga disebabkan oleh konsumsi kopi yang berlebihan.Â
Ada yang bilang, work from home berpotensi menambah pengeluaran. Bisa saja hal itu terjadi. Karena banyak hal yang harus dipenuhi selama bekerja di rumah dimana pengeluaran itu tak termasuk pengeluaran regular.
Kecuali kopi itu harus ditemani dengan kripik tempe, peyek, kacang telor, pisang goreng, ubi rebus, pop mie, krip krip dan chicky balls.
 4. Koneksi Minim Hambatan .
Sambungan internet yang handal (dan murah) tentu menjamin kelancaran dalam bekerja. Yang biasanya kerja dengan dokumen hard copy, saat WfH harus buka file soft copy satu-satu. Online meeting atau sekedar chatting untuk koordinasi pastinya memerlukan koneksi internet yang mumpuni.
Kalau lemot, alamak..nambah stress, bo. Apalagi kalau kerjaan diburu-buru. Ibaratnya, stress karena kemacetan di jalan dipindahkan ke stress dalam menghadapi kemacetan jaringan.Â
Tempo hari, saat skema WfH akan dijalankan, IT adalah tim yang dibuat kerja ekstra keras. Sebab mereka harus membangun skema kerja yang dapat mengakomodir kebutuhan tiap departemen yang saling terkoneksi. Bahasa sederhananya, memindahkan flow kerjaan yang sehari-hari dilakukan offline ke dalam sebuah sistem sehingga bisa berjalan secara online.
Mereka pun harus mampu menjamin kelancaran proses kerja selama semua orang di rumah dan sekian ratus orang secara bersamaan mengakses server. Jika tidak, work from home tak akan berjalan dengan baik, setidaknya bagi sebagian departemen dalam sebuah perusahaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H