Pernyataan kontroversial muncul dari Rektor UIN Sunan Kalijaga (UIN Suka) Yogyakarta, Prof. Yudian Wahyudi, sosok yang pada Rabu (5/2) lalu dilantik Presiden Joko Widodo sebagai Ketua Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).
"Si Minoritas ini ingin melawan Pancasila dan mengklaim dirinya sebagai mayoritas. Ini yang berbahaya. Jadi kalau kita jujur, musuh terbesar Pancasila itu ya agama, bukan kesukuan," demikian katanya saat diwawancarai Detikcom dalam Blak-Blakan Ketua BPIP : Panggilan jihad Pertahankan NKRI [video].
Kontroversi yang melibatkan nama institusi pendidikan di Yogyakarta itu bukan kali ini saja terjadi.Â
Belum genap setahun lamanya, masyarakat digemparkan oleh disertasi salah seorang dosen UIN Surakarta yang tengah menempuh pendidikan pasca sarjana di sana. Mengambil judul "Konsep Milk al-Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Nonmarital", disertasi Abdul Aziz --nama dosen itu-- dinilai melegalkan seks di luar nikah.
Menanggapi hal itu, Prof. Yudian sebagai rektor memberikan tanggapannya. Dikatakannya, UIN Suka tak akan menyerahkan ijazah Abdul Aziz seandainya revisi disertasinya tidak dilaksanakan. Yang bersangkutan pun meminta maaf atas polemik yang disebabkannya*.
Kini, selang beberapa bulan kemudian justru Prof. Yudian sendiri yang menimbulkan kegemparan.
Pernyataannya yang dinilai mempertentangkan agama dan Pancasila sontak membuat publik gusar. Ungkapannya mengenai agama musuh terbesar Pancasila selepas dirinya dilantik sebagai Ketua BPIP mengundang komentar masyarakat yang tak sependapat.
Sekjen MUI yang juga salah satu Ketua PP Muhammadiyah, Anwar Abbas bahkan mendesak Presiden untuk memecat Yudian secara tidak hormat jika memang rektor berusia 60 tahun itu menyatakan pendapat seperti yang diberitakan*.Â
Tanggapan menohok pun datang dari Sekjen PBNU, Helmy Faishal Zaini. Alumni strata 2 Universitas Paramadina itu mempertanyakan letak pertentangan antara agama dan Pancasila. Helmi pun menyatakan kesediaannya untuk berdebat dengan Yudian mengenai hal itu*.
Telaah Ungkapan Agama Musuh PancasilaÂ
Bagi saya, perkataan Prof. Yudian itu tak masuk akal. Tak masuk akalnya bukan terletak pada 'Pancasila yang mustahil bermusuhan dengan agama', melainkan tak masuk akal jika Prof. Yudian benar-benar menganggap agama sebagai musuh Pancasila.
Ada beberapa logika yang bekerja sebelum konklusi itu diambil. Di antaranya latar belakang sang akademisi.Â
Sulit untuk mengatakan bahwa seorang akademisi di sebuah perguruan tinggi Islam ternama menganggap agama dan Pancasila memiliki hubungan paradoksal.Â
Apalagi kemudian kita menganggap bahwa lembaga yang bergerak untuk menghidupkan Pancasila di setiap lini kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara --BPIP-- nantinya dipergunakan untuk mendeligitimasi agama.Â
Logika kedua adalah jawabannya saat ditanya oleh host Detik, Alexander Sudrajat mengenai hal krusial dari Pancasila yang telah hilang di masa sekarang. Jawaban yang diberikan adalah 'Ketuhanan Yang Maha Esa' [menit ke-20].
Logika lainnya terletak pada pernyataan lain sang rektor. Menjawab pertanyaan host mengenai jargon 'Indonesia adalah negara Pancasila, bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler', Prof. Yudian justru mengungkapkan sisi relijiusitas Pancasila.Â
Dengan dua jawaban tersebut maka tidak logis jika Prof. Yudian didakwa memiliki pendapat bahwa Pancasila berbenturan dengan agama. Mana mungkin seseorang mengatakan bahwa agama tidak sesuai dengan suatu hal yang justru berasal atau bersesuaian dengan nilai-nilai agama?
Diksi 'musuh' dalam ungkapan 'agama musuh Pancasila' memang terkesan ekstrem. Namun jika kita membawanya pada ilustrasi yang diberikan Prof. Yudian mengenai perbedaan NU dan Muhammadiyah, maka bisa jadi 'ekstrimisme' itu menjadi masuk akal.
Begini kira-kira yang diilustrasikannya.
NU dan Muhammadiyah memiliki pandangan yang berbeda mengenai ziarah kubur. NU menjadikannya tradisi sedangkan Muhammadiyah tidak. Dan kedua entitas itu memiliki dalil yang digali dari sumber otentik agama. Mereka hanya berbeda dalam penafsirannya.
Jika masing-masing pengikut NU maupun Muhammadiyah keukeuh pada keyakinannya, yang pada gilirannya menjurus pada perpecahan umat Islam maka di situlah diperlukan sebuah konsensus. Konsensus tersebut dijadikan pegangan keduanya untuk tak saling melanggar batas. Di sinilah ibaratnya Pancasila berada.Â
Pancasila, yang merupakan konsensus bersama antara umat seagama dan antar umat beragama, menjadi pereda ketegangan antara mereka yang membawa dalil-dalil agama yang dikuatirkan tak dapat bertoleransi dengan umat lain yang berbeda pendapar. Meski di dalam agama (Islam) terdapat firman Allah yang melarang umat-Nya berpecah belah.
Atau jika dihubungkan dengan perkataan lainnya. Dia menerangkan bahwa adagium 'negara Pancasila bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler' adalah cara rejim Orde Baru untuk mengatakan Pancasila bukan seperti DI/TII merujuk pada disksi agama, bukan pula seperti PKI merujuk pada diksi sekuler.
Begitu kira-kira tafsiran mengenai diksi 'musuh' dalam teks kalimat Prof. Yudian. Jika ada tafsiran lain, silakan saja.
Beranjak dari polemik hebat ini, ada baiknya jika Prof. Yudian selaku subyek yang mengeluarkan pernyataan itu memberikan klarifikasinya agar tak berkepanjangan. Apalagi hal itu menyangkut 2 institusi di negeri ini, UIN dan BPIP.Â
- Polemik Pemulangan Eks-ISIS, dari Eksekutif hingga Mantan Teroris
- Kini Tegas Menolak, Indonesia Pernah Terima Deportan Eks-ISIS
- Mantan Teroris dan Contoh Nyata Ketidakberhasilan Deradikalisasi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H