Bagi saya, perkataan Prof. Yudian itu tak masuk akal. Tak masuk akalnya bukan terletak pada 'Pancasila yang mustahil bermusuhan dengan agama', melainkan tak masuk akal jika Prof. Yudian benar-benar menganggap agama sebagai musuh Pancasila.
Ada beberapa logika yang bekerja sebelum konklusi itu diambil. Di antaranya latar belakang sang akademisi.Â
Sulit untuk mengatakan bahwa seorang akademisi di sebuah perguruan tinggi Islam ternama menganggap agama dan Pancasila memiliki hubungan paradoksal.Â
Apalagi kemudian kita menganggap bahwa lembaga yang bergerak untuk menghidupkan Pancasila di setiap lini kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara --BPIP-- nantinya dipergunakan untuk mendeligitimasi agama.Â
Logika kedua adalah jawabannya saat ditanya oleh host Detik, Alexander Sudrajat mengenai hal krusial dari Pancasila yang telah hilang di masa sekarang. Jawaban yang diberikan adalah 'Ketuhanan Yang Maha Esa' [menit ke-20].
Logika lainnya terletak pada pernyataan lain sang rektor. Menjawab pertanyaan host mengenai jargon 'Indonesia adalah negara Pancasila, bukan negara agama dan bukan pula negara sekuler', Prof. Yudian justru mengungkapkan sisi relijiusitas Pancasila.Â
Dengan dua jawaban tersebut maka tidak logis jika Prof. Yudian didakwa memiliki pendapat bahwa Pancasila berbenturan dengan agama. Mana mungkin seseorang mengatakan bahwa agama tidak sesuai dengan suatu hal yang justru berasal atau bersesuaian dengan nilai-nilai agama?
Diksi 'musuh' dalam ungkapan 'agama musuh Pancasila' memang terkesan ekstrem. Namun jika kita membawanya pada ilustrasi yang diberikan Prof. Yudian mengenai perbedaan NU dan Muhammadiyah, maka bisa jadi 'ekstrimisme' itu menjadi masuk akal.
Begini kira-kira yang diilustrasikannya.
NU dan Muhammadiyah memiliki pandangan yang berbeda mengenai ziarah kubur. NU menjadikannya tradisi sedangkan Muhammadiyah tidak. Dan kedua entitas itu memiliki dalil yang digali dari sumber otentik agama. Mereka hanya berbeda dalam penafsirannya.