Mohon tunggu...
Ahmad Indra
Ahmad Indra Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mantan Teroris dan Contoh Nyata Ketidakberhasilan Deradikalisasi

10 Februari 2020   22:21 Diperbarui: 11 Februari 2020   04:58 1032
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Umar Patek, sang terpidana kasus terorisme bom Bali boleh merasa lega saat melenggang di acara HUT Kemerdekaan RI. Bukan ke luar lapas karena mendapat remisi, melainkan melenggang di tengah peserta upacara sebagai petugas pengibar bendera. 

Mereka yang Berhasil Kembali
Patek pertama kali didaulat menjadi petugas saat Hari Kebangkitan Nasional pada tahun 2015, beberapa tahun kemudian dia mengulanginya di upacara HUT Kemerdekaan RI. Penugasannya itu bukan karena ditunjuk, melainkan karena mengajukan diri.

Reputasi Umar Patek semasa menjadi peracik bom tidak bisa dipandang remeh. Lulusan Akademi Militer Mujahidin Afghanistan itu merupakan buronan Amerika dengan tawaran hadiah USD 1 juta.

Tertangkap, dia pun divonis 20 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Belakangan dikabarkan, Lapas Porong Sidoarjo sebagai tempat dia dipenjarakan mengusulkan pembebasan bersyarat karena kelakuan baiknya. Jika semua syarat terpenuhi, dia akan bebas pada 2024 mendatang.

Umar Patek bukan satu-satunya mantan teroris yang kembali ke NKRI. Ali Fauzi Manzi adalah contoh lainnya. Adik kandung Amrozi itu bahkan mendirikah sebuah yayasan di Lamongan yang diberinya nama Yayasan Lingkar Perdamaian. Yayasan itu memiliki program untuk menjauhkan masyarakat dari kegiatan destruktif termasuk terorisme.

Contoh lainnya adalah Khairul Ghazali. Mantan napi terorisme itu mendirikan sebuah pesantren yang khusus menampung anak-anak napi terorisme. Pesantren Al-Hidayah yang berada di Deli Serdang, Sumatera Utara itu pun memuat silabus deradikalisasi.

Deradikalisasi dan Sekian Persen Ketidakberhasilannya
Dalam talkshow Opsi di Metro TV yang berakhir pada pukul 21 malam ini, Kepala BNPT Komjenpol Suhardi Alius menyinggung peliknya proses deradikalisasi. Menganggapi keinginan para eks-ISIS yang kini menjadi pengungsi di Suriah, dia pun berpesan kepada khalayak untuk tak mudah terkecoh dalam menyikapinya.

Sementara itu BBC pada 7 Februari 2020 mengangkat berita tentang pasangan suami istri asal Indonesia yang menjadi bomber bunuh diri di Filipina. Ruille Zeke dan Ulfa, nama pasangan itu, sebelumnya pernah menjalani program deradikalisasi di Indonesia. Selepas itu, mereka terbang ke Malaysia dan kembali terhubung dengan sel ISIS. Dan akhirnya mereka pun melancarkan aksinya di Sulu, Mindanao.

Sri Musfiah, konselor program deradikalisasi yang pernah secara langsung bertemu dengan Zeke dan Ulfa saat menjalani program rehabilitasi mengungkapkan keterkejutannya merespon berita itu. Karena menurut penilaiannya, pasangan suami istri itu cukup kooperatif dalam program yang pernah dijalaninya.

Dengan demikian deradikalisasi adalah sebuah program yang tak menjamin 100% keberhasilan. Sehingga pemerintah tak bisa sekonyong-konyong menyerahkan beban pembinaan anasir-anasir terorisme kepada program ini dan meyakini keberhasilannya.  

Saran Mantan Teroris
"Seharusnya anak-anak muda ini dipahamkan ajaran agama Islam yang lurus, jangan hanya sepotong-sepotong, tidak utuh atau bahkan hanya belajar lewat online," demikian kata Umar Patek dalam sebuah keterangan tertulis yang dikutip Liputan6.

Apa yang disampaikan Umar itu begitu nyata di hadapan kita. Seiring dengan mudahnya akses ke internet, banyak muslim awam yang mengakses informasi dari situs-situs atau sumber-sumber yang diyakininya sebagai sumber sahih dalam menggali ilmu agama.

Padahal para ulama menggariskan pentingnya ketersambungan ilmu atau yang biasa disebut sebagai sanad keilmuan. Dengan sanad, seorang murid tak hanya diharapkan dapat mewarisi ilmu dari sang guru, melainkan juga akhlak gurunya yang baik.

Tak perlu jauh-jauh sampai dengan ekstrimisme para teroris, kini di sekeliling kita banyak muslim pemula yang sudah merasa pintar daripada muslim lain hanya karena kerap membuka situs-situs islami. Tak mengherankan jika belajar agama secara autodidak adalah sebuah kesalahan fatal dalam cara beragama. Dan bukan tak mungkin, media itu menjadi salah satu jalan untuk menularkan radikalisme pemikiran yang pada gilirannya dapat bergerak menjadi radikalisme dalam tindakan.

Baca juga artikel lainnya :

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun