Krisis Uighur menyeruak memenuhi laman pemberitaan. Seiring dengan tampilnya gelandang Arsenal, Mesut Oezil melalui cuitan yang membela Uighur, sindiran publik tanah air mengarah pada pemerintah yang dianggap adem ayem saja.Â
Meski mendapatkan kritikan tajam dari pemerintah Tiongkok, pemain berdarah Turki itu mendapatkan pembelaan Arsene Wenger yang menyatakan bahwa Oezil berhak mengutarakan pendapat pribadinya.Â
Sementara itu di tanah air, tudingan ditujukan kepada organisasi massa Islam, Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama (NU) serta Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang beberapa waktu lalu berkunjung ke ibu kota provinsi Xinjiang, Urumqi.
Laporan Wall Stret Journal, Muhammadiyah: Fitnah!Â
Adalah laporan Wall Street Journal (WSJ) pada 11 Desember 2019 yang mengatakan adanya upaya pemerintah Tiongkok untuk meredam tudingan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) atas etnis muslim Uighur melalui lobi terhadap elemen Islam tanah air. Laporan itu didasarkan pada terkesan melempemnya ormas Islam tanah air pasca kunjungan yang difasilitasi Beijing. Muhammadiyah, NU dan MUI didaulat untuk menjadi perwakilan publik Islam dalam menyaksikan langsung kehidupan di provinsi yang berbatasan langsung dengan Kazakhstan dan Kyrgistan itu.Â
Menanggapi laporan itu, Muhammadiyah meradang. Beberapa hari lalu Pengurus Pusat (PP) Muhammadiyah mengeluarkan pernyataan sikapnya*. Melalui pernyataan pers nomor: 507/PER/I.0/I/2019 itu, PP Muhammadiyah menyebut bahwa laporan WSJ yang menyebut lobi Beijing terhadap ormas Islam dan MUI sebagai fitnah yang merusak nama baik Muhammadiyah, NU dan MUI.Â
Mereka pun mendesak WSJ meralat laporannya dan meminta maaf. Jika tidak, maka jalur hukum akan ditempuh. Warga Muhammadiyah pun dihimbau untuk cerdas dalam mencerna informasi yang beredar terutama di media sosial yamg menghasut dan tak dapat dipertanggungjawabkan.Â
Ketua Majelis Hukum dan HAM PP Muhammadiyah, Trisno Raharjo, berpendapat Tiongkok memang memiliki permasalahan HAM sebagai akibat dari penanggulangan aksi separatisme di Tibet yang Budha dan Xinjiang yang muslim. Demikian dia mengutip hasil investigasi media-media Barat sebagaimana ditulis dalam situs resmi Muhammadiyah*.Â
PBNU dan Hibah Ambulans Â
Serangan lebih heboh menimpa PBNU. Salah satu materi yang digoreng terutama di dunia maya adalah pernyataan Ketua Umum PBNU, KH. Said Aqil Siroj beberapa waktu lalu yang mengatakan bahwa tidak ada persekusi muslim Uighur oleh pemerintah Tiongkok.Â
Selain itu diapun mengatakan bahwa tak ada diskriminasi terhadap pemeluk Islam di sana. Bahkan masjid-masjid dibangun dan jamaahpun membeludak, tambahnya berdasarkan pengamatannya saat mengunjungi Xinjiang pada 2016.Â
Tak pelak, tuduhan bahwa PBNU telah dibeli Tiongkok pun mengalir deras.Â
Argumen lainnya adalah bantuan pemerintah Cina berupa sebuah mobil ambulans yang kini terparkir di kantor PBNU. Menanggapi tudingan itu, Wasekjen PBNU yang juga Stafsus Wakil Presiden bidang Komunikasi dan Informasi, Masduki Baidlowi tak mau ambil pusing. Dia pun menyatakan bahwa pihaknya tak pernah menolak bantuan selama ditujukan untuk kemanusiaan.Â
Dalam kesempatan terpisah, Baidlowi menyatakan bahwa pemerintah RI akan mengupayakan tekanan diplomasi terhadap pemerintah Cina agar memperhatikan hak-hak warga muslim Uighur.Â
NU melihat Tiongkok masa kini berbeda dengan masa lalu. Sepeninggal Mao Zedong, negeri tirai bambu telah bergerak meninggalkan pekatnya revolusi kebudayaan (1966-1976) yang diantaranya telah membabat hal-hal spiritual bahkan termasuk ajaran Konfusius. Reformasi 1978 yang menjadikan Deng Xiaoping sebagai tokoh sentralnya melahirkan Cina baru yang menghormati keberagaman, termasuk agama dan kepercayaan*.Â
Di provinsi Xinjiang, perkembangan jumlah masjid menjadi bukti komitmen pemerintah Cina. Menurut dekan Fakultas Etnografi dan Sosiologi Minzu University of China, Prof. Yang Shengmin yang lahir dalam keluarga muslim, jumlah masjid di Xinjiang pada 1984 hanya berkisar 9 ribuan. Kini, merujuk Buku Putih Kondisi Kebebasan Beragama Xinjiang (Xinjiang de Zongjiao Xinyang Ziyou Zhuangkuang) yang dirilis Dewan Negara Tiongkok pada Juni 2016, di Xinjiang ada sekitar 24 ribu masjid. Sebuah peningkatan yang cukup signifikan.Â
GP Ansor: Klarifikasi Ladang Minyak di XinjiangÂ
Komentari laporan WSJ, Ketua Umum GP Ansor Yaqut Cholil Qoumas justru menekankan pentingnya klarifikasi atas potensi sumber daya alam yang ada di Xinjiang.Â
"Dari data yang kita peroleh, di Xinjiang itu ada beberapa blok migas, sumur gas, dan pipa gas. Bahkan dalam catatan kita pernah ditawarkan 30 blok migas di tahun 2017. Semua bloknya onshore (di daratan). Jadi, berita tentang etnis muslim Uighur dengan segala bumbunya seperti ditulis the Wall Street Journal, saya kira perlu ada klarifikasi. Jangan-jangan ini hanya soal ingin menguasai lahan di Xinjiang yang kaya akan sumber daya alam saja", katanya sebagimana ditulis Kontan*.
Mengenai potensi minyak di Xinjiang, situs Oilprice* pernah merilis berita bahwa pada akhir 2017 China National Petroleum Corporation (CNPC) telah menemukan cadangan minyak mentah di cekungan (basin) Junggar yang berada di wilayah Xinjiang.Â
Deposit minyak mentah yang tersimpan di sana diperkirakan antara 0,52 hingga 1,24 milyar ton. Jika memang benar minyak menjadi --atau setidaknya menjadi salah satu -- faktor pemicu terjadinya krisis Uighur, maka kasusnya akan mirip dengan konflik Suriah yang ditengarai oleh adanya konflik pengguasaan migas antara Rusia versus AS - Uni Eropa.
Disamping itu, sejarah* di akhir era 1920-an yang mengetengahkan konflik horisontal di antara warga Uighur dan pendatang dari etnis Han pun perlu dicatat dalam silang sengkarut konflik di wilayah itu.Â
Konflik itu ibarat konflik Palestina - Israel dimana etnis lokal Uighur terdesak oleh imigran Han yang berasal dari Gansu, sebuah wilayah di sebelah timur Xinjiang. Para imigran yang notabene berasal dari wilayah yang sama dengan gubernur Xinjiang kala itu -- Jin Shuren --, mendominasi kegiatan ekonomi dan mendapatkan keuntungan dari kebijakan diskriminatif Shuren.Â
Ditambah lagi dengan kepongahan Shuren yang membubarkan kerajaan Islam di Xinjiang -- Kekhaganan Kumul -- yang pada masa dinasti Qing hingga Tiongkok berubah menjadi negara republik. Â
________
Sumber klik tanda *
Baca juga artikel lainnya :
- Din Syamsuddin: "Pancasila Harga Mati" Pun Radikal
- Pengusiran Haddad Alwi, Tuduhan Syiah dan Salafisme
- Kasus Habib Jafar Shodiq: Yang Hilang dari Mimbar Keagamaan
- Kasus Gus Muwafiq, Adakah Agenda FPI di Belakangnya?
- Penghargaan terhadap Colosseum, Anies Lakukan "Test the Water"?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H