"Saya merasa, saya butuh untuk dicintai, saya ingin mencintai. Tapi rasanya saya belum wajar untuk jadi teladan. Karena itu saya tidak, belum ingin dipanggil habib,"Â kata Prof. Dr. Quraish Shihab saat menanggapi keengganannya dipanggil "habib". Sebenarnya secara silsilah, menteri agama di akhir pemerintahan Orde Baru itu layak dipanggil dengan sebutan itu.Â
Dia memiliki garis nasab (keturunan) hingga Rasulullah S.A.W yang diwariskan oleh pernikahan putri beliau, Fathimah al-Zahra dan sayyidina Ali bin Abi Thalib. Namun saat sebutan habib diistilahi dengan orang teladan, orang baik yang berpengetahuan, dan seseorang yang berhubungan dengan Rasulullah, Quraish Shihab menjawab dengan kalimat merendah tadi.
Penghormatan atas Gelar SakralÂ
Ketua Umum PBNU, Prof. Dr. Said Aqil Siroj dalam sambutannya di acara doa bersama untuk keselamatan bangsa yang dihelat di halaman kantor PBNU (30/10), mengajak untuk hormati para habaib. Tak tak terkecuali Habib Rizieq Shihab.Â
Nahdliyyin memang memiliki tradisi penghormatan tinggi kepada para habaib. Salah satunya adalah sikap ikon NU, Gus Dur, yang memberikan pembelaan kepada para habaib dari pernyataan K.H. Hasan Basri yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum MUI di 1984-1990.
Pernyataan yang mengandung keraguan akan keberadaan keturunan Rasulullah itu disindir Gus Dur dalam pidatonya kala menghadiri sebuah acara di Pondok Pesantren Al-Fakhriyah Cileduk, 1994.Â
"Hanya orang bodoh yang mengatakan batu permata dibilang batu koral. Dan yang paling bodoh batu permata kok dihargakan batu kerikil. Mereka para cucunya Rasulullah Saw datang ke negeri ini merupakan karunia Tuhan yang terbesar. Dan hanya orang-orang yang kufur nikmat kalau tidak mau mensyukurinya," demikian dikutip Islam Indonesia.
"Berarti ustaz-ustaz bayaran apa? (Dijawab jemaah: babi). Apa? (Babi). Apa? (Babi). Saya tanya Maruf Amin babi bukan? (Dijawab jemaah: babi). Babi bukan? (Babi),"Â kata Ja'far disambut teriakan jemaah.Â
Sebelumnya, sang habib bercerita tentang salah seorang dari umat Nabi Musa A.S yang dilaknat Allah sehingga berubah menjadi babi. Hal itu disebabkan oleh niat untuk menuntut ilmu agama demi kepentingan dunia.
Menanggapi kejadian tersebut, Rabithah Alawiyah sebagai wadah para habaib di Indonesia angkat bicara. Ketua umumnya, Habib Zen bin Smith, menyesalkan dan mengkritik keras Habib Ja'far Shodiq.Â
"Dia kurang akhlak dan dalam ceramahnya tidak berdasarkan keilmuan. Ini bukan habib tapi sayyid --orang Arab keturunan Nabi Muhammad atau tuan-- yang perlu pendidikan akhlak,"Â tutur Habib Zen sebagaimana dikutip detikcom.
Kala Mencaci dinilai Sebuah Hal Ma'rufÂ
Menanggapi penetapan tersangka terhadap Habib Ja'far Shodiq, Koordinator Pelaporan Bela Islam (Korlabi) Novel Bamukmin menyatakan akan memberikan pendampingan hukum. Pria yang dulunya juga pernah dianggap sebagai seorang habib itu menganggap kasus ini bermuatan politik dan diarahkan sebagai materi pengalihan isu terkait kasus Sukmawati dan Gus Muwafiq.Â
Ja'far Shodiq bukan habib pertama yang berurusan dengan kepolisian, di luar Habib Rizieq Shihab tentunya. Sebelumnya Habib Bahar bin Smith harus menjalani masa tahanan karena kasus penganiayaan.Â
Video pria keturunan Arab yang pernah mengajak jamaahnya untuk bersama-sama menjaga gereja saat Natal itu viral dan menuai kritikan netizen. KPAI pun turut menyesalkan tindakannya karena korbannya adalah seorang anak di bawah umur (17 tahun). Habib muda itu pun dikenal dengan ceramahnya yang bernada keras dan kosakata yang "panas".Â
Bagi kebanyakan orang, perkataan seorang pendakwah adalah sebuah kebenaran, meski tak selalu begitu. Termasuk saat mereka mengumpat dan menguliti orang lain. Hal itu akan dianggap biasa saja, bahkan akan mendapat pembelaan.Â
Mereka akan berdalil bahwa yang dilakukannya adalah memberi peringatan khalayak akan keburukan satu dua pihak yang akan atau telah mendatangkan mudarat pada masyarakat. Sehingga sah saja dilakukan.Â
Beriringan dengan momentum pesta demokrasi, ceramah-ceramah yang memanaskan jamaah tak jarang dijumpai. Tempat-tempat ibadah berubah ajang untuk merendahkan satu pihak dan menonjolkan pihak lain ibarat tempat kampanye.
Hal itu pun tak ayal mendatangkan justifikasi yakni bahwa masjid bukan hanya tempat ibadah melainkan pusat dari segala kegiatan termasuk politik.Â
Begitulah politik, selalu ada jawaban bagi setiap pertanyaan dan tuduhan. Dan jika kita buka buku sejarah, politik pulalah yang membuat sebagian muslimin menistakan anak turun sayyidina Ali bin Abi Thalib dan Fathimah al-Zahra.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H