Dua Desember tinggal sepekan lagi. Dan kabarnya akan ada peristiwa yang kembali akan digelar di Monumen Nasional (Monas). Peristiwa itu tak lain adalah reuni para alumni 212 yang dibungkus dalam acara Munajat dan Maulid Akbar Reuni Mujahid 212. Pas banget dengan momentum bulan lahirnya Nabi Muhammad. Dan acara itu pun bertepatan dengan mencuatnya kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan oleh putri proklamator, Sukmawati Soekarnoputri.
Diundang oleh KompasTV, Sukmawati melakukan klarifikasi tentang viralnya video yang dinarasikan sebagai upaya membandingkan Al-Quran dan Pancasila serta Nabi Muhammad dan Ir. Soekarno.Â
Mengenai narasi pertama, Sukmawati mengatakan bahwa sebenarnya ada kalimat pembuka sebelum dirinya tiba pada pertanyaan itu. Yakni bahwa dia mendapatkan informasi tentang cara perekrutan calon teroris yang salah satunya dengan mempertanyakan lebih dahulu bagus mana Al-Quran dan Pancasila. Jadi ucapan itu seyogyanya tidak disandarkan kepada dirinya.Â
Lalu untuk menjawab narasi ke dua, Sukmawati beralasan bahwa dirinya ingin mengetahui apakah audiens yang kebanyakan adalah kalangan anak muda juga mengetahui sejarah bangsa Indonesia disamping sejarah Islam. Diapun menggarisbawahi timeline dengan menyebutkan kalimat "awal abad ke-20" (link video).
Namun apa lacur, ada beberapa elemen masyarakat yang sudah mengadukan ke kepolisian. Menurut keterangan Kompas per 22 Nopember 2019, sudah ada 5 laporan mengenai kasus ini. Dua laporan dilayangkan ke Polda Metro Jaya dan 3 laporan lain melalui Bareskrim Mabes Polri.Â
Tanggapan muncul dari Ketua Umum Persaudaraan Alumni 212 (PA 212), Slamet Maarif. Dia mengatakan jika kepolisian tak serius menangani kasus ini, tak menutup kemungkinan akan ada gelombang massa sebagaimana saat terjadinya kasus Ahok 3 tahun silam.Â
"Kami khawatir kalau ini dibiarkan justru menjadi gelombang umat kembali. Jangan salahkan kalau kemudian kasus Sukamawati menjadi kasus Ahok yang kedua. Jadi jangan salahkan umat kalau kita Ahok-kan Sukmawati karena proses hukum tidak berjalan,"Â kata Slamet saat ditemui di Kantor DPP FPI, Jakarta, Kamis (21/11) dikutip dari CNN.Â
Politisi PPP yang menjabat sebagai Wakil Ketua MPR, Arsul Sani menepis kekhawatiran itu. Dia mengajak masyarakat untuk mempercayakan kasus itu kepada kepolisian.Â
"Saya kira nggak usah pakai mengancam-ancamlah," tuturnya saat ditemui di kompleks MPR/DPR, Senayan, Jakarta, Jumat (22/11). "Ya kita percayakanlah sama kepolisian. Itu nanti, kalau polisinya nggak jalan sama sekali, setelah katakanlah setahun, dua tahun, baru kemudian kita pikirkan langkah yang lain."Â
Sementara itu, Wakil Sekjen MUI, Amirsyah Tambunan, menanggapi kasus ini dengan mengatakan bahwa ada proses klarifikasi dan tabayun dalam standar operasional procedure (SOP) MUI sebelum menentukan sikap.
Mereka yang Pernah Tersandung Kasus Dugaan Penistaan Agama
Pada 11 Agustus 2018, Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) Jawa Barat mengadukan penceramah Evie Effendi ke Polda Jabar. Melalui Wakil Ketua Bidang Kaderisasi IPNU Jabar, Hasan Malawi, laporan nomor LPB/769/VIII/2018/JABAR itu dilayangkan berdasarkan isi salah satu ceramah Evie yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad pernah mengalami kesesatan. Penceramah muda itu berdalih bahwa perkataanya disandarkan pada salah satu ayat Al-Quran yakni Q.S. Al-Dhuha ayat 7 :Â
"Dan Dia mendapatimu sebagai seorang yang bingung, lalu Dia memberikan petunjuk"
Tidak hanya di situ, Evie pun mempertanyakan maksud dari peringatan Maulid yang sudah mentradisi di kalangan umat Islam. Jika Nabi pun sesat sebelum diberikan petunjuk, lalu apakah maulidan itu untuk memperingati kesesatan nabi? Begitu dia melayangkan kalimat interogatif kepada jamaahnya.Â
Kasus ini akhirnya diselesaikan secara damai setelah IPNU Jabar mencabut laporannya sebagaimana yamg disarankan oleh Ketua MUI Jabar Rachmat Safei karena Evie sudah sowan ke MUI dan mengakui kesalahan serta meminta maaf.Â
Penceramah lain yang pernah menimbulkan polemik adalah Hanan Attaki. Attaki yang menyebut Nabi Musa sebagai premannya nabi dan sayyidah Aisyah --istri Nabi Muhammad-- dengan sebutan cewek gaul dinilai tak pantas karena terkesan merendahkan kedudukan kedua manusia mulia itu.Â
Mendapat respon negatif dari banyak pihak, Attaki kemudian mengklarifikasi sembari melayangkan permintaan maaf melalui media sosialnya. Dia mengakui kesalahannya dalam memilih diksi. Dalam penyebutan Nabi Musa sebagai premannya para nabi, dia bermaksud memberikan gambaran bahwa Nabi dari kalangan bani Israil itu adalah seorang yang kuat fisiknya bukan preman ditinjau dari segi moril yang bermakna negatip.Â
Meski menimbulkan polemik, namun kasus itu nampaknya tak berujung pada pelaporan ke pihak yang berwajib.Â
Pada September 2019 lalu, Ustadz Abdul Somad (UAS) diadukan ke polisi dalam kasus salib yang dianggap menciderai persatuan antar umat beragama.Â
UAS dalam klarifikasinya menyebut 3 hal yang dijadikannya pijakan untuk merasa tak bersalah. Pertama yakni bahwa dia sedang menjawab pertanyaan seseorang mengenai salib dan patung, yang ke dua bahwa hal itu terjadi saat kajian tertutup yang berupa pengajian rutin bakda Subuh di sebuah masjid dan alasan terakhir yaitu kejadian itu sudah berlangsung pada 3 tahun silam.Â
Merasa terjadi pencemaran nama baik UAS, sekelompok orang yang mengaku sebagai Pecinta Ustaz Abdul Somad melaporkan balik salah satu pelapor dugaan penistaan agama bernama Sudiarto ke Bareskrim Polri, Selasa (20/9).Â
PA 212 Giring Kasus Sukmawati Untuk Mencari Panggung?Â
Intelektual muda NU yang juga politisi Partai Solidaritas Indonesia (PSI) berpendapat bahwa FPI dan unsur 212 sengaja menggoreng kontroversi pernyataan Sukmawati agar tetap eksis karena saat ini mereka sudah mulai ditinggalkan melihat fakta bahwa Prabowo sudah merapat ke Jokowi.Â
Meski melihat adanya cacat logika dalam pernyataan Sukmawati sebab "menghubungkan" tokoh dari 2 zaman yang jauh berbeda, namun dia menganggap bahwa pelaporan itu berlebihan.Â
"Pelaporan Sukmawati itu sama saja mengingatkan kasus pelaporan penodaan agama yang dituduhkan pada tokoh mereka Rizieq Shihab yang dituding menghina Tuhan agama lain,"Â tandasnya.Â
Di lain sisi, pada Nopember lalu, Lingkaran Survey Indonesia (LSI) Denny JA merilis hasil survey yamg menyatakan bahwa tingkat kepercayaan kepada ulama terkait aktivitas politik menurun hingga 6%.Â
Dikatakan salah satu penelitinya, Adjie Alfaraby, bahwa pada Juli 2018 ada 91.3 % responden yang menyatakan percaya kepada himbauan tokoh agama. Prosentase itu turun menjadi 85,1 % setelah dilakukan survey lanjutan pasca pilpres pada Agustus 2019.
Adjie menjelaskan bahwa aktivitas dukung mendukung kalangan agamawan telah mempengarung persepsi umat terhadap para tokoh agama.Â
Lalu akankah kasus Sukmawati akan digelindingkan oleh elemen 212 agar mereka kembali mendapatkan legitimasi masyarakat?Â
Kita lihat saja nanti.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H