Belum genap 2 pekan menjabat, Menteri Agama RI Â (Menag) Fachrul Razi menimbulkan polemik melalui gagasan pelarangan niqab (cadar) di lingkungan pemerintahan. Hal itu disampaikannya dalam Lokakarya Peningkatan Peran dan Fungsi Imam Tetap Masjid di Hotel Best Western, Jakarta, Rabu 30 Oktober 2019.Â
"Memang bisa saja ada langkah-langkah lebih jauh, tapi kita tidak melarang niqab, tapi melarang untuk masuk instansi-instansi pemerintah, demi alasan keamanan. Apalagi kejadian Pak Wiranto,"demikian kata purnawirawan Panglima TNI itu sebagaimana dilansir Vivanews.Â
Dalam perjalanannya, Menag mengatakan bahwa wacana yang diungkapkannya itu bukan berupa larangan. Dia pun mengklarifikasi bahwa hal itu hanya sebatas rekomendasi. Lebih lanjut, dia menandaskan bahwa ada tata cara berpakaian yang harus ditaati oleh para aparatur sipil negara (ASN) saat bertugas di lingkungan kerja.Â
Hal senada juga berlaku bagi semua pihak misal orang-orang yang memasuki lingkungan kerja pemerintahan tersebut. Dia pun mencontohkan bahwa ada aturan bank yang melarang nasabah mengenakan helm saat memasuki bank ataupun atm. Hal itu semata-mata untuk keperluan identifikasi orang yang bersangkutan dan demi keamanan.
Tanggapan Masyarakat
Beragam tanggapan muncul dari khalayak terhadap wacana Menag tersebut. Tak terkecuali dari para pimpinan teras ormas Islam di Indonesia, NU dan Muhammadiyah.Â
Dikutip dari CNN, meski tak berkomentar banyak, Ketua Umum PBNU, K.H. Said Aqil Siroj menegaskan bahwa hal itu semata-mata menjadi wewenang penguasa. Pengasuh Pondok Pesantren Luhur al-Tsaqafah Jakarta Selatan itu hanya menandaskan bahwa jika memang rekomendasi Menag itu bersifat positip, maka PBNU akan mendukungnya.Â
Secara terpisah, Sekretaris Umum PP Muhammadiyah, Abdul Mu'ti menyatakan bahwa mayoritas ulama tak mewajibkan pengenaan niqab. Menanggapi wacana Menag, dikatakannya tak melanggar ajaran Islam dan hak asasi manusia.Â
"Kebijakan tersebut harus dilihat sebagai usaha pembinaan pegawai dan membangun relasi sosial yang lebih baik,"demikian tuturnya.
Bukan Kasus PertamaÂ
Kebijakan terkait penggunaan cadar di sebuah instansi atau institusi bukan pertama kali ini terjadi. Sebelumnya, Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta pernah mengeluarkan kebijakan untuk melakukan pembinaan terhadap sejumlah mahasiswi yang mengenakan niqab di lingkungan kampus.Â
Pada kisaran Maret 2018 lalu, pihak kampus melakukan konseling terhadap 41 mahasiswi UIN Yogyakarta dan berharap mereka tak lagi mengenakan cadar saat kegiatan belajar mengajar. Jika sampai akhir konseling tak ada perubahan sikap, maka ke-41 mahasiswi tersebut dipersilahkan untuk mencari kampus lain.Â
Namun akhirnya justru pihak kampus yang mencabut kebijakan itu untuk menjaga kondusivitas kegiatan akademik. Sebagaimana diberitakan di banyak media, langkah yang ditempuh oleh kampus mendapatkan tanggapan pro dan kontra dari masyarakat luas termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mempertanyakan alasan pelarangan tersebut.
Pantaskah Menyebut Cadar dan Cingkrang Ciri Radikalis?Â
Mungkin terjadi salah kaprah mengenai identifikasi terhadap eksklusivisme atau radikalisme di kalangan umat Islam. Mereka yang bercadar dan bercelana cingkrang kerap diberikan stempel sebagai golongan yang dekat dengan paham radikal.Â
Tentu kita jawab hal itu tak sepenuhnya benar. Namun cadar terutama, secara alami akan menimbulkan kesan eksklusivisme di tengah-tengah masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia. Hal itu tak perlu disalahkan. Karena sesuatu yang berbeda pasti akan menimbulkan penilaian tersendiri.Â
Mengenai celana cingkrang, ada sebuah pengalaman yang menjadikan seseorang seperti mereka mendapat sebutan yang tak enak didengar. Ulama berbeda pendapat mengenai isbal (kain yang panjangnya melebihi mata kaki). Ada yang mutlak melarangnya dan ada pula yang berijtihad bahwa yang terlarang adalah kesombongan yang menyertainya. Ini adalah masalah ikhtilaf (perbedaan pendapat antara ulama) mengenai sebuah redaksi hadits yang sama, sebagaimana sekian banyak bahasan fiqih lain sehingga tak dibenarkan bagi seseorang untuk menyatakan bahwa hanya pendapatnya yang benar.Â
Dalam kondisi seperti itu, ada seseorang yang mengatakan kepada saya bahwa celana yang menjuntai melebihi mata kaki menyebabkan salat tak sah. Padahal saat itu, saya sedang menanti lift di lobi, jadi dia tak melihat saya salat dengan kain celana yang dilipat ke atas mata kaki. Mungkin dia berpendapat bahwa di dalam dan di luar salat, orang dilarang isbal. Namun dia harus ingat, pendapat guru dan ulamanya harus tidak ditampilkan sebagai satu-satunya pendapat yang benar.Â
Dalam kesempatan lain, dia pun membahas qunut Subuh (bukan dengan saya) yang harusnya kita sepakati sebagai perbedaan dan diakhiri dengan kesepakatan untuk tidak bersepakat dalam hukumnya.Â
Sikap seperti itulah yang menimbulkan kesan di mata masyarakat bahwa mereka merasa eksklusif dan memandang cara berislamnyalah yang paling benar. Hal itu, setidaknya bagi saya, cukup beralasan untuk dikatakan sebagai sebuah radikalisme pemikiran dan perilaku.Â
Mengeneralisasi perilaku sebagian mereka yang merasa benar sendiri tentu bukan hal yang bijak, sama halnya dengan berlaku paling benar sendiri. Barangkali orang akan mengernyitkan dahi dan berusaha keras untuk menerima fakta di atas. Karena mereka tak pernah mengalami kejadian serupa atau bahkan bagian dari kelompok itu sehingga kemudian tak merasa perlu menggali informasi lebih dalam lagi akar permasalahannya.
Bagaimana Sebaiknya Bersikap?
Melarang orang berpakaian sesuai dengan keyakinannya memang terlalu remeh temeh dan kurang kerjaan bagi seorang sekelas menteri. Apalagi jika hal itu dijadikan sebagai sarana mendeteksi radikalisme. Terlalu gegabah tentunya.Â
Namun bukan juga berarti bahwa instansi pemerintah tak berhak mengatur etika berbusana pegawainya. Lalu untuk membabat radikalisme, tentu dengan dihadapkan dengan dalil-dalil agama yang sahih. Dan itu bukan hal yang mudah bahkan amat sulit. Ditambah lagi dengan resistensi sebagian orang yang merasa baper bahwa tuduhan radikal diarahkan kepada umat Islam secara keseluruhan. Sehingga membendung gerak radikalisme menjadi pekejaan rumah yang berat bukan hanya bagi pemerintah, namun semua pihak yang ingin Islam terhindar dari segala fitnah yang dilontarkan oleh pihak-pihak yang tak suka dengan menggunakan tangan-tangan orang Islam sendiri.
Baca artikel lainnya :
- Anti Islam, Stereotip Politis atas Penguasa
- Hanya Duduki Wamen, NU Bongkar Tenda Kontra Radikalisme?
- Firanda Andirja-Salafi Tertolak di Negeri Serambi Mekah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H