Mohon tunggu...
Ahmad Indra
Ahmad Indra Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Wacana Larangan Cadar di Instansi Pemerintah, Salahnya di Mana?

2 November 2019   15:17 Diperbarui: 2 November 2019   23:18 447
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Agama RI Fachrul Razi | Foto Kompas.TV

Pada kisaran Maret 2018 lalu, pihak kampus melakukan konseling terhadap 41 mahasiswi UIN Yogyakarta dan berharap mereka tak lagi mengenakan cadar saat kegiatan belajar mengajar. Jika sampai akhir konseling tak ada perubahan sikap, maka ke-41 mahasiswi tersebut dipersilahkan untuk mencari kampus lain. 

Namun akhirnya justru pihak kampus yang mencabut kebijakan itu untuk menjaga kondusivitas kegiatan akademik. Sebagaimana diberitakan di banyak media, langkah yang ditempuh oleh kampus mendapatkan tanggapan pro dan kontra dari masyarakat luas termasuk Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang mempertanyakan alasan pelarangan tersebut.

Pantaskah Menyebut Cadar dan Cingkrang Ciri Radikalis? 

Mungkin terjadi salah kaprah mengenai identifikasi terhadap eksklusivisme atau radikalisme di kalangan umat Islam. Mereka yang bercadar dan bercelana cingkrang kerap diberikan stempel sebagai golongan yang dekat dengan paham radikal. 

Tentu kita jawab hal itu tak sepenuhnya benar. Namun cadar terutama, secara alami akan menimbulkan kesan eksklusivisme di tengah-tengah masyarakat yang majemuk seperti di Indonesia. Hal itu tak perlu disalahkan. Karena sesuatu yang berbeda pasti akan menimbulkan penilaian tersendiri. 

Mengenai celana cingkrang, ada sebuah pengalaman yang menjadikan seseorang seperti mereka mendapat sebutan yang tak enak didengar. Ulama berbeda pendapat mengenai isbal (kain yang panjangnya melebihi mata kaki). Ada yang mutlak melarangnya dan ada pula yang berijtihad bahwa yang terlarang adalah kesombongan yang menyertainya. Ini adalah masalah ikhtilaf (perbedaan pendapat antara ulama) mengenai sebuah redaksi hadits yang sama, sebagaimana sekian banyak bahasan fiqih lain sehingga tak dibenarkan bagi seseorang untuk menyatakan bahwa hanya pendapatnya yang benar. 

Dalam kondisi seperti itu, ada seseorang yang mengatakan kepada saya bahwa celana yang menjuntai melebihi mata kaki menyebabkan salat tak sah. Padahal saat itu, saya sedang menanti lift di lobi, jadi dia tak melihat saya salat dengan kain celana yang dilipat ke atas mata kaki. Mungkin dia berpendapat bahwa di dalam dan di luar salat, orang dilarang isbal. Namun dia harus ingat, pendapat guru dan ulamanya harus tidak ditampilkan sebagai satu-satunya pendapat yang benar. 

Dalam kesempatan lain, dia pun membahas qunut Subuh (bukan dengan saya) yang harusnya kita sepakati sebagai perbedaan dan diakhiri dengan kesepakatan untuk tidak bersepakat dalam hukumnya. 

Sikap seperti itulah yang menimbulkan kesan di mata masyarakat bahwa mereka merasa eksklusif dan memandang cara berislamnyalah yang paling benar. Hal itu, setidaknya bagi saya, cukup beralasan untuk dikatakan sebagai sebuah radikalisme pemikiran dan perilaku. 

Mengeneralisasi perilaku sebagian mereka yang merasa benar sendiri tentu bukan hal yang bijak, sama halnya dengan berlaku paling benar sendiri. Barangkali orang akan mengernyitkan dahi dan berusaha keras untuk menerima fakta di atas. Karena mereka tak pernah mengalami kejadian serupa atau bahkan bagian dari kelompok itu sehingga kemudian tak merasa perlu menggali informasi lebih dalam lagi akar permasalahannya.

Bagaimana Sebaiknya Bersikap?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun