Bukan A atau B, melainkan CÂ
Dilihat dari fakta yang ada maka dikotomi bahwa manusia Indonesia hanya menganut 2 mazhab politik batal demi hukum. Karena ada orang-orang yang berada di pihak ke tiga, yang terlihat membela namun sejatinya sikapnya itu tak terpengaruh oleh dikotomi orientasi politik saat ini. Memang, hasil dari langkahnya itu terlihat menguntungkan atau memihak salah satu.Â
Mereka menghomati Quraish Shihab karena memang beliau pantas untuk dihormati karena keilmuannya. Apa pantas orang awam seperti Badrun menolak keilmuan seseorang hanya karena beberapa perbedaan pendapat dan menuduhnya menyimpang?Â
Sedangkan saat membela Islam Nusantara, ya karena memang dia sependapat dengan para ulama dan cerdik cendikia mengenai konsep itu. Kok bisa ada orang-orang yang katanya pinter, tapi menuduh istilah yang sejatinya pengejawantahannya telah mendarah daging di negeri ini, sebagai sebuah aliran baru yang mencerabut kaum muslimin dan agamanya sendiri? Ana-ana wae orang itu. Kalau berkilah karena urusan diksi, itu bukan masalah saat kita mengerti konsepnya.Â
Lalu menolak untuk mempercayai hoax, bukankah hal itu adalah sebuah kewajaran? Mosok ada orang suka kalau tertipu. Perkara hoax mana yang ditangkal, ya suka-suka. Yang pasti, menurut Badrun, menolak berita bohong dari orang yang merasa selalu benar, itu lebih memuaskan adanya.
Jadi hal-hal seperti itulah yang digunakan oleh segolongan kalong, eh..segolongan orang untuk menuduh si fulan mendukung si anu. Mungkin tak semua orang dari golongan itu berpikir prematur seperti itu.Â
Namun nyaris bisa disimpulkan, sebagian besar begitu. Sekali lagi, jangan sederhanakan semua permasalahan melali kacamata politik praktis, daripada kelihatan nggak cerdas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H