Mohon tunggu...
Ahmad Indra
Ahmad Indra Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali

Selanjutnya

Tutup

Worklife Pilihan

Stress di Tempat Kerja? Itu Harus

12 Oktober 2019   06:05 Diperbarui: 12 Oktober 2019   14:30 155
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Johann Zarco memasuki rumah barunya di awal 2017. Bersama Yamaha, dia merintis harapan untuk menjadi pembalap yang diperhitungkan di Motogp. Usaha dan kerja sama timnya membuahkan hasil. Juara dunia Moto2 2015 dan 2016 itu mampu duduk di peringkat ke-6 klasemen akhir selama 2 tahun berturut-turut yakni 2017 dan 2018. 

Namun kini nasibnya berubah. Digaet tim asal Austria, KTM, prestasinya melorot tajam. Tak mampu mengatasi frustasinya dalam menghadapi mesin RC16, Zarco menyerah. Dia memutuskan mundur dari squad KTM lebih awal. 

Andrea Ianone mengalami hal yang sama. Kini rider Itali itu tengah berada di titik terendah pencapaiannya di ajang Motogp. Saai ini dia hanya berhasil meraih posisi ke-16 klasemen sementara. 

Sang Italiano frustasi dan merindukan kebersamaan dengan 2 tim terdahulunya, Ducati dan Suzuki. Meski begitu, dia belum menunjukkan tanda-tanda menyerah pada tunggangannya. 

Stress di Dunia Kerja? Harus! 

Stress bisa dikatakan sebagai sebuah hal yang pernah singgah di setiap orang, baik karyawan maupun mereka yang mempekerjakan diri sendiri dan atau orang lain. 

Gangguan psikis itu dapat menimpa setiap kalangan, tua muda, pria wanita, berpenghasilan puluhan juta maupun yang pas-pasan, pegawai tetap maupun kontrak dan seterusnya. 

Bagi seorang karyawan, tekanan yang dialaminya itu nantinya akan bermuara pada 2 hal, mundur atau lanjut sembari berharap ada perubahan. 

Dunia kerja adalah sebuah wahana yang dinamis, bisa berubah kapan saja. Baik dilihat dari bebannya, variasi, sistem atau unsur apapun yang saling terjalin dalam sebuah alur panjang sebuah pekerjaan. 

Penambahan beban kerja yang menguras konsentrasi dan daya tahan, tak jarang mengakibatkan gangguan psikis pada seseorang. Lama atau tidaknya gangguan itu menetap, tergantung bagaimana cara seseorang dalam menanggulanginya. 

Selain beban kerja, hubungan interpersonal antara atasan dan bawahan atau rekan kerja, pola kerja dan sisi organisasi seperti ketidakjelasan tugas setiap karyawan dapat pula menyebabkan stres. 

Demikian disampaikan Nuri Purwito Adi dari Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia (Perdoki) dalam pemaparannya di Temu Media terkait Hari Kesehatan Jiwa Sedunia di gedung Kemenkes, Kamis (5/10) sebagaimana diberitakan oleh situs Departemen Kesehatan.

Tekanan yang tak dapat dinetralisir oleh seorang karyawan pada gilirannya akan mengakibatkan berkurangnya produktivitas. Jangankan merasa memiliki, melaksanakan sesuatu yang menjadi tugasnya pun akan terasa berat sehingga akan merembet kepada kualitas atau kuantitas pekerjaan yang dihasilkan.

Kesehatan Mental yang Tersisihkan

Banyak orang yang mengasosiakan gangguan mental dengan penyakit jiwa atau kegilaan. Padahal tidak begitu. Stress yang berkepanjangan atau depresi yang dialami seseorang sudah cukup mewakili istilah gangguan mental. 

Jadi seseorang yang tengah mengalami gangguan jiwa tak harus menjadi orang yang berkeliaran di jalan dengan tubuh lusuh dan pakaian compang-camping sambil bicara yang tak jelas. 

Gangguan mental dapat saja menimpa seseorang yang saban harinya bekerja di belakang meja sembari menghadap sebuah komputer dan bertumpuk dokumen di hadapannya. 

Kesehatan mental sebenarnya sudah mendapat perhatian negara dengan diterbitkannya Undang-Undang Keselamatan Kerja No. 1 Tahun 1970. Pada pasal 8 disinggung mengenai kesehatan mental pekerja yang akan diterima maupun yang telah bekerja bekerja di sebuah perusahaan. 

Pasal 8 

(1) Pengurus diwajibkan memeriksakan kewajiban badan, kondisi badan dan kemampuan fisik dari tenaga kerja yang akan diterimanya maupun akan dipindahkan sesuai dengan sifat-sifat pekerjaan yang diberikan padanya.

Pengurus yang dimaksud dalam pasal itu adalah pihak yang bertugas memimpin langsung suatu tempat kerja. 

Meski begitu, perusahaan masih memandang kesehatan fisik sebagai faktor utama. Jaminan kesehatan yang mereka berikan ditujukan untuk membantu karyawan dalam masalah kesehatan fisik saja. Dan bisa jadi, masalah kesehatan yang mendera disebabkan oleh kelelahan psikis seseorang dalam dunia kerjanya.

Kepala Humas BPJS Kesehatan M. Iqbal Anas Ma'ruf menyatakan bahwa pada 2018, total biaya yang terserap untuk kesehatan mental mencapai Rp1,25 triliun. Hal itu merupakan partisipasi BPJS dalam menanggulangi permasalahan non fisik atau psikis. Demikian dilansir Bisnis[dot]com

Meski dalam prakteknya ada beberapa pengecualian dalam penanganan pasien gangguan mental diantaranya mereka yang terindikasi mengalami gangguan mental karena tindak pidana penganiayaan, kekerasan seksual, korban terorisme dan tindak pidana perdagangan manusia. Pembatasan itu dilakukan mengacu pada Peraturan Presiden No. 82/2018 tentang Jaminan Kesehatan.

Penanganan Gangguan Mental 

Meja makan rasanya lebih layak untuk membicarakan rentang keseharian anak-anak di sekolah, rencana kegiatan di akhir pekan atau hal-hal lain yang lebih memberikan kehangatan pada hubungan antar anggota keluarga. 

Namun jika seorang suami mengalami masalah di tempat kerjanya, meja makan pun dapat dijadikan alternatip untuk mencari solusi atau setidaknya meringankan beban. Seorang pasangan diharapkan dapat memberikan opsi jalan keluar atau sekedar menjadi tempat berbagi. 

Selain kebersamaan dengan keluarga, hobipun dapat sebagai ajang stress release seseorang. Menulis, bersepeda, touring,  memiliki hewan peliharaan atau olah raga dapat memberikan kontribusi untuk meredam ketegangan pikiran yang dihadapi. 

Jangan sampai permasalahan yang dihadapi di tempat kerja justru mempengaruhi kehidupan di luar lingkungan kerja. Jika hal itu terjadi, maka seseorang hanya akan mentransfer hal yang dialaminya di meja kerja ke meja makan atau ruang keluarganya. Bahkan yang lebih buruk lagi, kamar tidurnya. 

Lembaga-lembaga keagamaanpun diharapkan menjadi salah satu ajang dalam penanganan gangguan kejiwaan yang sifatnya promotip. Promotip diartikan sebagai rangkaian kegiatan penyelenggaraan pelayanan kesehatan mental yang bersifat promosi. 

Peran para agamawan dalam membawakan tema-tema kesehatan jiwa diharapkan mampu memberikan oase karena sifat masyarakat Indonesia yang menjadikan dogma agama sebagai salah satu pijakan utama dalam keseharian. Jangan sampai sebaliknya, media-media reliji justru dimanfaatkan untuk mentransfer ketegangan lain kepada audiensnya. 

Terkait dengan penanganan gangguan kejiwaan, pemerintah bersama lembaga perwakilan rakyat telah menelurkan sebuah perundangan yang khusus mengatur hal itu yakni Undang-Undang No.18/2014 tentang Kesehatan Jiwa. Tinggal bagaimana usaha pemerintah dalam mengejawantahkan pasal demi pasal yang ada di dalamnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun