Tiga puluh September menjadi momen yang mengingatkan masyarakat Indonesia akan sebuah kekelaman sejarah. Oleh sebagian orang, kekelaman itu dimanfaatkan untuk menarik perhatian dalam pergumulan politik masyarakat masa kini.Â
Dan terang saja, hal itu mendapatkan respon luas bermula dari kekuatiran akan kembalinya masa itu. Mengambil tema kebangkitan komunisme itu, masyarakat diajak untuk mengerahkan suara dalam rangka melawan musuh bersama yang tak lain dinisbatkan kepada pemerintahnya sendiri.
Waspada Boleh, Asal Tuding JanganÂ
Pentas politik senantiasa penuh dengan strategi dalam merengkuh kekuasaan dan intrik sebagai akibat dari persinggungan antar golongan.Â
Salah satu tema yang diangkat dalam panggung politik selama 5 tahun terakhir ini adalah tentang kebangkitan komunisme. Kampanye untuk mewaspadai kembalinya gerakan yang terkenal dengan usaha makarnya itu dihembuskan kuat-kuat.
Kewaspadaan itu tak ada salahnya, bahwa wajib. Namun menjadikan kewaspadaan bangsa sebagai tunggangan dalam meraih keuntungan golongan bisa dikatakan sebagai bukan langkah jujur. Meski dalam politik, langkah apapun bisa dijustifikasi sebagai sebuah kehalalan dalam bertindak.Â
Dan yang santer digembar-gemborkan sebagai reinkarnasi komunisme adalah rejim yang berkuasa saat ini. Hal yang dijadikan dalil penguat dari narasi tersebut adalah tindakan atau kebijakan pemerintah yang dinilai menyudutkan sesuatu yang dinilai sebagai landasan utama dalam negara Pancasila yakni ketuhanan.Â
Ya, ada golongan yan menuduh bahwa negara telah mempraktekkan sebuah konspirasi untuk mempersempit kebebasan beragama. Mereka berkata bahwa ada upaya sistematis untuk menyudutkan umat Islam yang notabene golongan mayoritas melalui berbagai langkahnya.
Salah satu wujud konkritnya adalah pemberangusan sebuah ormas  bernama Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Tuduhan anti Islam pun disematkan kepada semua golongan yang mendukung tindakan pemerintah itu.Â
Narasi seperti itu sejatinya bisa ditepis karena kenyataannya pemerintah cukup memberikan kebebasan kepada masyarakat dan golongan-golongan Islam untuk mengembangkan kegiatannya.
NU, Golongan Islam Yang Memusuhi Islam?
Salah satu elemen masyarakat yang mendukung pemerintah dalam memerangi kelompok radikal adalah Nahdlatul Ulama (NU). Dalam penolakannya terhadap HTI, NU terlihat paling kentara. Sehingga saat HTI dibubarkan, muncul cibiran bahwa NU hanya mengekor pada putusan pemerintah.Â
Lalu tersebarlah fitnah bahwa pemerintah menggelontorkan dana 1.5 trilyun kepada ormas Islam yang diketuai K.H. Said Aqil Siroj itu sebagai kompensasi atas dukungannya itu. Padahal dana itu adalah skema bantuan pemerintah bagi usaha mikro yang didistribusikan melalui jaringan organisasi masyarakat yang memiliki jaringan luas seperti NU.
Saking hebatnya persangkaan buruk itu, budayawan yang amat dekat dengan kaum nahdliyyin, Emha Ainun Najib pun mengangkat hal yang kemudian disundul oleh banyak orang di media sosial. Masyamsul Huda sebagai Direktur Eksekutip NU Care saat itu sebenarnya sudah berupaya mengklarifikasi salah satunya melalui akun facebook-nya, namun entah Cak Nun memperhatikan hal itu atau tidak (cek di sini).
Kapan NU Sadar Akan Keberadaan HTI?Â
Saat itu sekitar tahun 2000, saya masih menjadi mahasiswa di salah satu perguruan tinggi negeri di Semarang. Salah satu teman kos saya adalah seorang aktivis Hizbut Tahrir (HT). Dia adalah seorang mahasiswa Fakultas MIPA jurusan Fisika. HT menjadi salah satu media berkumpulnya para mahasiswa yang memiliki kesamaan pandang di samping perkumpulan tarbiyah dan pergerakan dakwah lainnya.Â
Melompati waktu, pada tahun 2012 ada seorang dai muda NU bernama Muhammad Idrus Ramli yang menelurkan sebuah buku ulasan ringkas mengenai HTI, "Hizbut Tahrir Dalam Sorotan". Tak lama kemudian muncul bukunya yang ke dua berjudul "Jurus Ampuh Membungkam HTI".Â
Meski memiliki sikap yang sama terhadap HTI, K.H. Idrus Ramli adalah seorang yang amat kritis terhadap Ketua Umum PBNU, K.H. Said Aqil Siroj. Sikap serupa tercermin pada kiai NU lain seperti K.H. Luthfie Bashori. Jadi jika dalil yang diajukan adalah NU kontra HTI karena mengikuti Kiai Said yang dianggap pro Syiah dan liberal, maka hal itu akan terbantahkan dengan sendirinya melihat fakta tersebut.Â
Banyaknya anak muda NU yang belajar di negara Timur Tengah tentu menjadi salah satu ladang informasi mengenai kondisi negeri tempat mereka belajar termasuk suasana perpolitikannya. HT bukanlah pergerakan baru di dunia Arab. Mereka telah mencatatkan diri sebagai salah satu elemen yang kerap bersinggungan dengan pemerintahan di negara mereka berada.Â
Hal itu pun sudah disampaikan oleh K.H. Hasyim Muzadi sebelum pemerintah menindak. Dalam sebuah acara, beliau mengatakan bahwa suatu saat HTI pasti akan bergesekan dengan pemerintah. Dan benar adanya, mereka akhirnya kena batunya saat rejim Jokowi berkuasa.
Rabun Fakta akibat Bias PolitikÂ
Khalayak yang kadung bersimpati pada HTI dan bahkan menganggap mereka sebagai perwujudan gerakan untuk mengembalikan Islam pada kejayaannya enggan melihat rekam jejak HT yang bermasalah di negeri-negeri muslim.Â
Bahkan orang-orang yang menjadikan Turki sebagai acuan negeri muslim ideal --meski sejatinya sekuler-- justru memalingkan muka saat mendapati fakta bahwa HT juga ditolak oleh rejim Erdogan.Â
Yang mereka pikirkan sebenarnya hanya satu, siapa pun yang menjadi musuh rejim Jokowi maka mereka adalah teman. Apalagi HTI dipandang begitu islami sehingga blokade atas mereka akan dengan mudah dikesankan sebagai penyudutan terhadap Islam. Pas sudah.Â
Bagi orang yang mencermati pergerakan di dunia Islam, tentu akan mengenal entitas bernama Hizbut Tahrir dan kenal betul dengan lambang yang mereka gunakan.Â
Alangkah naifnya jika ada muslim yang menuduh muslim lain sebagai anti Islam hanya karena si tertuduh mengasosiakan bendera hitam bertulis kalimat tauhid itu sebagai lambang yang kerap digunakan oleh HT.Â
Dan kenaifan itu menanjak menjadi sebuah kebodohan saat dia menyindir saudaranya dengan perkataan "jika membenci Islam, kenapa masih menjadi muslim?".Â
Pertanyaan semacam itu adalah sebuah pernyataan bahwa si penanya sejatinya tertinggal informasi. Mereka memanfaatkan rendahnya pengetahuan untuk merendahkan orang lain yang justru lebih mengerti.Â
Disadari atau tidak, politik telah menganeksasi kesadaran berpikir sekian banyak orang. Bahkan seolah menjadi mazhab di negeri ini bahkan menjadi "agama". Karena di saat agama mengajarkan perkataan jujur, mereka justru menyebarkan berita bohong.Â
Di saat agama mengajarkan tabayun, mereka justru membudayakan buruk sangka tanpa klarifikasi. Di saat agama mengajarkan perkataan baik, merela justru mengumbar perkataan kotor karena menganggap tak bermasalah karena percaya diri dengan kebenaran versinya.Â
Dan nampaknya, tantangan yang ditimbulkan oleh skema "Islam yang anti Islam" itu akan membesar jika penguasa tak pandai-pandai menempatkan diri di kalangan umat Islam moderat yang tak kerap larut dalam arus politik.
______
Baca juga artikel lain :
- Distorsi Istilah "Moslem Fanatics" dalam Pertempuran Surabaya
- Duka Ducati di Motogp dan WorldSuperbike
- Media Sosial dan "Superiority Complex" Penggunanya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H