Mohon tunggu...
Ahmad Indra
Ahmad Indra Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

NKRI, Negeri Khilafah Rakyat Indonesia

11 Agustus 2019   14:35 Diperbarui: 11 Agustus 2019   16:39 2474
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ijtima' Ulama IV | Foto. Okezone.com


"Dari pertama, kami berbeda sikap dengan HTI. Kami beranggapan Indonesia ini negara tauhid dengan Pancasila dan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tapi, sebaliknya, HTI menganggap Indonesia adalah thogut"
, ujar Ki Agus M Choiri selaku Ketua Bantuan Hukum Front FPI Jawa Barat sebagaimana dikutip oleh BBC News (8/5/2017). 

Pernyataan di atas muncul saat dia menanggapi pembubaran ormas transnasional yang kerap mengkampanyekan khilafah, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), 2 tahun silam. 

Dengan pernyataan di atas, FPI secara eksplisit telah menyatakan diri berbeda pemahaman dengan HTI terkait konsep NKRI dan dasar negaranya, Pancasila. FPI nampak menempatkan diri sebagaimana ormas Islam lainnya seperti NU dan Muhammadiyah yang menerima NKRI dan Pancasila. 

Hal itu berlawanan dengan HTI yang tak punya iktikad untuk menyatakan diri menerima Pancasila sebagai dasar negara meski para aktivis mereka dan simpatisan HTI dari kalangan masyarakat umum menyatakan bahwa Pancasila berisi pasal-pasal yang selaras dengan nilai keislaman. 

Dua tahun berselang, muncullah putusan Ijtima' Ulama IV yang salah satu poin pertimbangannya menyatakan bahwa penegakan khilafah adalah wajib disamping penerapan syariah dan amar ma'ruf nahi munkar. Dan sebagaimana kita tahu, unsur FPI menjadi salah satu warna dalam perkumpulan para ulama dan habaib itu. 

Bukan hendak meragukan pemahaman mereka dalam menempatkan kewajiban mendirikan khilafah dalam literatur keagamaan, namun saat ini kedudukan FPI dalam memandang NKRI justru menjadi sebuah hal yang abu-abu. Apalagi jika dihadapkan pada salah satu putusan/ketetapannya yang mengarah pada NKRI bersyariat berdasarkan pada Pancasila. 

"3.6. Mewujudkan NKRI bersyariah yang berdasarkan Pancasila sebagaimana termaktub dalam Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945 dengan prinsip ayat suci di atas ayat konstitusi agar diimplementasikan dalam kehidupan beragama, berbangsa dan bernegara." 

- Salah satu ketetapan Ijtima' Ulama IV

Dua masalah yang seolah berlawanan di atas --yakni kewajiban pendirian khilafah dan mewujudkan NKRi bersyariat-- tak pelak dapat disandingkan dengan plintat plintutnya HTI dalam menjawab pertanyaan tentang Pancasila sebagai dasar negara. Atau justru sebaliknya, sebenarnya mereka sendiri mengakui bahwa NKRI ini pada dasarnya adalah sebuah bentuk kekhilafahan, hanya saja masih perlu diperjuangkan formalisasi syariat Islam di dalamnya. 

Ketua Umum PP Muhammadiyah, Haedar Nashir dalam sebuah pernyataannya menyinggung adanya polemik yang hanya berkutat pada istilah semata. Dikatakannya bahwa tujuan syariah itu sudah tercakup di dalam Pancasila, dan tidak perlu lagi ada idiom-idiom, simbol-simbol dan konsep yang semakin menjauhkan NKRI dari jiwanya. NKRI ini sebenarnya sudah sejak lama bersyariat, imbuhnya.

"Karena hanya berpikir soal nama, soal atribut, soal cangkang, soal kulit, nah Muhammadiyah sudah memandang Indonesia itu darul ahdi wa syahadah," ujar Haedar sebagaimana dikutip Republika.

Kampanye terang-terangan HTI tentang khilafah sudah cukup menjadi bukti bahwa sebenarnya mereka memang memiliki agenda yang tak sejalan dengan para pendiri bangsa yang diantaranya adalah para alim dalam bidang agama. 

Bisa disimpulkan bahwa HTI memandang pendirian sebuah negara demokrasi seperti Indonesia bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Bagi mereka, format negara seperti Indonesia dan negara bangsa lain yang terutama mengadopsi sistem demokrasi tidak bisa diterima secara mutlak meski hal itu dapat diperdebatkan dalam literatur keagamaan pula. 

HTI dan para pembelanya kerap bersembunyi di balik pernyataan bahwa Pancasila itu sudah begitu islami terlihat dari setiap silanya. Lalu mereka menuding pihak-pihak yang berlawanan dengan mereka justru sebagai pihak yang tak pancasilais karena bersikap sewenang-wenang terhadap pergerakan yang mereka lakukan. 

Dan tak jarang mereka pun bersikap seolah-olah menjadi korban rejim meski sejatinya justru tindakan merekalah yang membuat pemerintah bertindak keras. Dibredelnya HTI dari daftar ormas Islam dinilai sebagai penindasan terhadap pergerakan Islam di negeri ini. Dengan menjadikan Islam sebagai "victim", harapan untuk mendulang simpati khalayak akan menjadi lebih besar. 

Dalam berdalil mengenai wajibnya mendirikan khilafah, berkali-kali publik disuguhkan fakta-fakta kebesaran khilafah di masa lalu. Dengan begitu, mereka menghakimi bahwa para penolak khilafah adalah orang-orang yang tak berpengetahuan cukup dalam khazanah keislaman. 

Hal yang lebih mengemuka mengenai pertentangan itu adalah islam versus demokrasi. Ayat Tuhan versus perundang-undangan manusia. Tentu dengan dikotomi seperti itu, khalayak yang mayoritas adalah umat Islam awam terseret pada ilustrasi sederhana yang keliru itu. 

Jika saja diskusi ilmiah yang mengetengahkan dalil-dalil agama antara pro dan kontra khilafah ini lebih banyak disuguhkan ke ruang publik, maka khazanah pengetahuan masyarakat akan lebih terbuka dan tak melulu berpikir bahwa tema khilafah ini adalah pertempuran antara Islam dan pembenci Islam yang takut akan kebangkitan Islam. 

Buku-buku yang berisi dalil mengenai kontra Hizbut Tahrir --bukan hanya HTI-- sebenarnya sudah banyak muncul dan dapat dipakai untuk memperluas cakrawala pandang. Semoga saja hasil literasi semacam itu dapat menembus maraknya kampanye agen-agen HTI dan pihak-pihak yang terbius propaganda mereka dan menyadarkan awam bahwa permasalahan ini tak layak untuk menjadikan muslim Indonesia terpecah belah.

Baca juga artikel terkait :

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun