Semalam, seorang sepupu dari Jawa Timur datang ke Jakarta untuk keperluan wawancara kerja. Dia kirim kabar melalui whatsapp bahwa dirinya dipanggil sebuah perusahaan tour and travel di kawasan Jatinegara. Berbekal google maps, saya coba cari lokasi tepatnya berdasarkan alamat yang dikirimkannya. Dan ternyata tempatnya tak jauh dari rute saya saat berangkat ke kantor. Alhasil, pagi tadi, saya antarkan dia sampai ke lokasi.Â
Sepintas, saya jadi ingat kenangan sekitar 15 tahun lalu. Saat pertama kalinya saya menginjakkan kaki di ibu kota dengan tujuan yang sama.Â
Sejatinya, selepas lulus kuliah, tak terbersit sepersen pun keingingan untuk bekerja di Jakarta. Disamping karena jauh dari tempat asal, saya berpikir bahwa siapapun yang berkarir di Jakarta pastilah orang terbaik dari daerahnya masing-masing. Dan saya merasa tidak memiliki persyaratan itu sehingga tak muncul kepercayaan diri untuk mengadu nasib di sini.Â
Namun apa daya, Tuhan berkehendak lain. Sebuah perusahaan konsultansi sekaligus kontraktor gedung sudi menerima saya yang hanya memiliki 1 tahun pengalaman kerja.Â
Tak lama bekerja di Jakarta, saya menemukan sebuah kesempatan untuk balik ke daerah asal. Yakni melalui sebuah lowongan pekerjaan yang akan menempatkan pegawainya di Jawa Tengah. Nampaknya Tuhan benar-benar mengabulkan yang ada di pikiran saya sejak pertama kali diterima bekerja di Jakarta. Pulang kampung.Â
Hal yang ada di pikiran saya saat menerima telepon dari bagian kepegawaian perusahaan konsultan dulu itu ternyata bukan saja tentang pekerjaan yang akan saya geluti. Namun juga menyusun jadwal pulang kampung.Â
Waktu berjalan. Selama kurang lebih 3 tahun kepulangan saya ke Jawa Tengah, ternyata Jakarta kembali menjadi tempat pergumulan saya dengan profesi. Hingga kini.Â
Kepulangan ke kampung halaman selalu menjadi sebuah episod menyenangkan. Berkumpul kembali bersama orang tua, saudara dan jauh dari hiruk pikuknya kota adalah sebuah kehidupan dengan imej ideal bagi saya.Â
Apalagi di masa senjanya, orang tua --terutama ibu-- selalu merasa ingin tak jauh dari pitra putrinya. Tak perlu ditanya, hal itu sudah terungkapkan dengan sendirinya dari percakapan kami melalui telepon atau candaannya dengan cucu-cucunya melalui video call.Â
Terbayang sukacitanya melihat tingkah polah cucunya yang tak saban hari disaksikannya. Keceriaan anak-anak nampak menular ke relung hati mereka. Dan semua itu berubah kala tiba waktunya kami kembali ke ibu kota. Meninggalkan mereka dengan kenangan sang cucu yang berlari dari dapur ke teras rumah sambil bersuara-suara.Â
Di titik ini, mungkin saya menganut sebuah kosakata Jawa yang berbunyi "Mangan ora mangan kumpul" meski hanya parsial. Entah berapa besar perbandingan antara "mangan" dan "kumpul"-nya.Â
Di satu sisi saya sudah memiliki tanggung jawab yang dilimpahkan oleh mertua saat saya menikahi putrinya yang darinya sudah tercipta sebuah keluarga kecil. Di lain sisi, ada keinginan untuk membahagiakan orang tua melalui kehadiran kami di sisinya.Â
Ibu, bapak, doakan anakmu kembali...sekedar untuk membahagiakanmu di masa senjamu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H