Direktur Jenderal (Dirjen) Politik dan Pemerintahan Umum (Polpum) Kemdagri, Soedarmo, sebagaimana dikutip oleh Berita Satu menyatakan bahwa Surat Keterangan Terdaftar (SKT) Front Pembela Islam (FPI) akan berakhir pada 20 Juni 2019. Dan per 8 Mei 2019, ormas yang bermarkas di Petamburan itu belum juga mengajukan permohonan perpanjangan izinnya.
Sementara itu, di dunia maya telah beredar petisi penolakan perpanjangan izin FPI. Hingga pukul 05.30 hari ini (11/5), petisi yang dimuat di situs Change.org itu telah ditandatangani lebih dari 353.000 orang. Petisi dengan judul "Stop Ijin FPI" itu diinisiasi oleh seorang netizen bernama Ira Bisyir dan ditujukan kepada Menteri Dalam Negeri.
Menanggapi petisi itu, Soedarmo menyatakan bahwa masukan dari masyarakat memang menjadi salah satu pertimbangan dalam menyeleksi permohonan perpanjangan ijin sebuah ormas.Â
Baca juga :Â Dahnil Anzar Simanjuntak dalam Jejak Digital
FPI Ajukan Perpanjangan
Sementara itu, Ketua Umum FPI, Ahmad Sobri Lubis memberikan kepastian bahwa FPI akan mengajukan permohonan perpanjangan izin ke Kemdagri. Hal itu bagi FPI adalah proses yang biasa karena selama ini FPI merasa bejalan dalam koridor hukum yang berlaku.
Terhadap masyarakat yang ikut menandatangani petisi online "Stop Ijin FPI", Sobri tak menganggapnya sebagai sebuah halangan berarti.
"Mungkin orang-orang yang doyan maksiat ya biasanya mereka yang minta supaya FPI dibubarkan. Enggak masalah,"Â kata Sobri kepada CNN saat berada di kediaman Prabowo (7/5).
Pernyataan Sobri itu jelas menegasi keberadaan orang-orang yang menganggap bahwa saat ini FPI kerap bersinergi dengan agenda politik pihak yang berseberangan dengan pemerintah dan memberi stempel gerakan itu dengan label agama.Â
Terakhir, ajakan Habib Rizieq untuk mengadakan Aksi Bela Negeri dan tuntutan agar segera dilantiknya Prabowo menjadi bukti bahwa gerakan yang selama ini mereka lakukan kental dengan muatan politik.
Baca juga :Â "Five Minarets in New York", Kontraterorisme ala Layar Lebar
GP Ansor Menanggapi
Tanggapan terhadap keberadaan petisi juga muncul dari Ketua Umum GP Ansor, Yaqut Cholil Qoumas. Pada dasarnya dia tak mempermasalahkan munculnya masukan apapun termasuk usulan tentang FPI itu dan mengembalikan keputusan akhirnya kepada pemerintah.
Namun dia mewanti-wanti jika dalam AD/ART FPI ditemukan tentang adanya tujuan untuk mendirikan khilafah maka pemerintah harus melakukan hal sama seperti yang telah dilakukan kepada Hizbut Tahrir Indonesia (HTI).
Isu mengenai ideologi subversip seperti yang ditemukan pada HTI memang menjadi sorotan utama bagi GP Ansor, sebagaimana induk organisasi kepemudaan ini, Nahdlatul Ulama (NU).
Sebagai salah satu elemen yang membidani berdirinya republik ini, NU berdiri di garda depan dalam memerangi paham atau gerakan yang ingin merongrong kedaulatan negara.
Hal itu telah dibuktikan baik dalam menghadapi ancaman dari pihak luar maupun dari dalam negeri sendiri. Resolusi Jihad NU yang dikeluarkan pada 22 Oktober 1945 adalah wujud resistensi NU dalam menghadapi agresi asing.Â
Setelahnya, NU pun mengukuhkan posisi pemerintah dalam menghadapi pemberontakan dari dalam negeri termasuk pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII).
Baca juga :Â Aksi Bela Negeri = People Power(?)
Rekam Jejak Pendiri GP Ansor
Salah satu pendiri NU, K.H Abdul Wahab Hasbullah yang sekaligus pemrakarsa berdirinya Gerakan Pemuda Ansor (GP Ansor) -- sebelumnya bernama Persatuan Pemuda NU, Pemuda NU dan Anshoru Nahdlatul Ulama -- pernah berpidato di depan sidang parlemen, 29 Maret 1954.
Isi pidato tersebut adalah tentang kedudukan Ir. Soekarno sebagai pemimpin sebuah negara dalam konteks darurat. Dalam tinjauan fiqih --Kiai Wahab adalah pakar ushul fiqih--, umat Islam telah sepakat untuk mengangkat seorang pemimpin tunggal (imam al-a'dham) yang berkemapuan setara dengan seorang mujtahid mutlak.Â
Namun profil tersebut sudah tak ditemui selama 700 tahun belakangan, meski begitu setiap negara tetap berkewajiban memiliki pemimpin meski statusnya darurat. Sehingga dari sini muncullah istilah "waliyyul amri dlaruri bissyaukah"/Â pemegang kekuasaan negara darurat.
Pernyataan Kiai Wahab itu kemudian dikukuhkan dalam Munas Alim Ulama yang diinisiai Kementerian Agama pada 2 - 5 Maret 1954 di Cipanas.
Semangat itulah yang kini diwarisi oleh GP Ansor sebagai peninggalan Kiai Wahab. Dan pada masa kepemimpinan putra Kiai Cholil Bisri saat ini, GP Ansor nampak begitu agresip dalam menentang keberadaan ormas beragenda subversip berbalut agama.
Baca juga :Â Ramadan, Haruskah Diricuhkan dengan Doa Berbuka Puasa?
FPI Tak Sama Dengan HTI
Ki Agus M Choiri selaku Ketua Bantuan Hukum Front FPI Jawa Barat, pernah menyatakan bahwa FPI berbeda dengan HTI. Hal itu dinyatakannya setahun lalu saat menanggapi pembubaran HTI yang ditengarai bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Salah satu yang dipakainya sebagai dalil adalah tesis Habib Rizieq Syihab mengenai Pancasila.Â
Pendapat yang mendukung hal itu datang dari mantan politisi PDI Perjuangan, Permadi. Pria yang kerap menggunakan pakaian serba hitam mengatakan bahwa Habib Rizieq adalah seorang Soekarnois berdasar pengalamannya berbincang dengan mantan ketua umum FPI itu.
Namun khalayak masih ingat mengenai beberapa hal yang mengganjal pernyataan di atas. Diantaranya adalah orasi Habib Rizieq tentang simpati (dan kritiknya) terhadap ISIS beberapa tahun lalu.Â
Selain itu keberadaan kader FPI Munarman pada acara simpatisan ISIS yang didalamnya terdapat baiat terhadap pemimpin ISIS, Abu Bakar al-Baghdadi, juga menimbulkan kecurigaan meski hal itu belum tentu bisa diartikan sebagai dukungan FPI terhadap pendirian negara Islam di Suriah & Libya itu.Â
Belum lagi kebersamaan FPI dengan HTI dalam banyak peristiwa diantaranya Aksi Bela Islam yang telah diadakan dalam banyak jilid.
Terlepas dari semua hal di atas, keputusan lanjut tidaknya FPI terpulang sepenuhnya kepada pemerintah. Dan masing-masing keputusan akan mempunyai konsekuensinya. Terlebih di saat suasana yang masih panas selepas pemilu, ditetapkannya beberapa orang yang selama ini sebarisan dengan FPI sebagai tersangka ataupun ajakan Habib Rizieq untuk mengadakan aksi terhadap KPU dan Bawaslu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H