Mohon tunggu...
Ahmad Indra
Ahmad Indra Mohon Tunggu... Administrasi - Swasta

Aku ingin begini, aku ingin begitu. Ingin ini ingin itu banyak sekali

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Jama'ah Tabligh, Politik Praktis dan Hidangan Satu Nampan

7 Mei 2019   18:33 Diperbarui: 7 Mei 2019   22:08 740
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di akhir tahun 1980-an, saat itu masih kelas 4 atau 5 SD, saya sempat merasakan mondok kilat selama libur sekolah di pesantren asuhan Kiai Naharussurur di Tegalsari, Solo. Bersama 2 orang teman sekampung, kami bersama anak-anak yang datang dari berbagai daerah ngangsu kawruh (menimba ilmu) agama di pesantren bernama Ta'mirul Islam itu.

Kiai Nahar memiliki seorang putra bernama Muhammad Halim yang juga menjadi pengajar di situ. Suatu kali, beliau mengajak beberapa dari kami untuk pergi menyambangi sebuah masjid di luar kompleks pondok. Di sana kami bertemu dengan beberapa orang yang tengah mengadakan kegiatan dakwahnya. Dengan ramah, kami disambut hangat dan bahkan mereka memberi waktu ke Ustadz Halim untuk memberikan tausiyah. Waktu itu, saya tak tahu persis siapa mereka, apa nama jama'ah atau kegiatannya, maklumlah.. anak kecil.

De Javu 

Waktu berlalu, sekitar 6 tahun kemudian saya mengenyam pendidikan lanjut di sebuah SMU di kota Klaten. 

Di masjid sekolah, ada kegiatan yang sepertinya tak asing bagi saya. Ada sebuah kegiatan yang pernah saya temukan beberapa tahun sebelumnya. Mereka yang sebagian adalah pengurus kerohanian Islam, rutin sepekan sekali mengadakan kajian selepas shalat jamaah Dhuhur. Kalau tak salah, hari Rabu atau Kamis.

Selepas kajian berakhir, sang pengisi kajian mengajak jamaah untuk mengadakan kegiatan yang biasa mereka sebut "keluar di jalan Allah" atau khuruj fi sabilillah atau jaulah.

Khuruj untuk anak-anak sekolah seperti kami biasa dilaksanakan selama 1 hari, dimulai sejak Sabtu selepas pulang sekolah hingga Minggu sore. Siswa yang bersedia ikut, selepas jam pulang sekolah pada hari Sabtu akan berkumpul di masjid sekolah dan kemudian berangkat menuju sebuah masjid di kota Solo. Dari situ, para karkun (istilah bagi pengikut kegiatan itu) dikirimkan ke mushalla di beberapa tempat yang tiap rombongan biasanya terdiri dari 5 atau 6 orang.

Mereka ini adalah para pengikut Jamaah Tabligh (JT), sebuah kelompok dakwah yang pernah saya temui 6 tahun sebelumnya saat diajak oleh ustadz Halim di sekitaran Ta'mirul Islam.

Metode Dakwah Jama'ah Tabligh

Jama'ah Tabligh muncul atas prakarsa seorang ulama India, Syekh Maulana Ilyas al-Kandahlawi pada kisaran tahun 1925. Kini, pengikut JT sudah menyebar di berbagai negara. Di Indonesia, meski tak sepopuler ormas Islam lokal seperi NU dan Muhammadiyah, pengikutnya bisa dibilang tak sedikit. Bangun Sugito (Gito Rolies) dan Shakti mantan personil Sheila on 7 adalah orang terkenal yang menjadi pengikut JT. Di Jakarta, JT memusatkan kegiatannya di Masjid Raya Kebon Jeruk.

Kelompok ini tak sulit mendapatkan simpati karena gerakannya yang bersifat inklusif dan moderat. Rombongan khuruj biasa memusatkan kegiatannya di sebuah masjid. Mereka menginap dan menjadikannya sebagai pusat dakwah mereka selama paling tidak 3 hari.

Bagi JT, tiap muslim memiliki kewajiban berdakwah selama 1/10 dari waktu diberikan Allah kepadanya. Sehingga dari situ muncullah konsep khuruj fi sabililillah atau jaulah 3 hari selama sebulan, 40 hari hari selama setahun dan 4 bulan sekali selama hidup.

Menggunakan metode dakwah door to door, kelompok ini biasa menggunakan tema memperbanyak amal saleh. Pendekatan yang dilakukan cenderung bergaya sufisme dan mengesampingkan perbedaan fiqiyah (khilafiyah). Jadi kita tak akan menemukan pembicaraan atau kritik mengenai hukum qunut, melafalkan niat shalat, men-jahr-kan wirid selepas shalat dan khilafiyah lainnya. Sehingga tak terjadi friksi antar pengikut JT hanya karena masalah seperti itu.

Kitab yang familier karena sering digunakan saat diadakan ta'lim (setidaknya saat khuruj yang pernah saya ikuti) adalah kitab Riyadhusshalihin karya ulama mazhab Syafi'i, Imam Abu Zakariya Yahya bin Syaraf al-Nawawiy atau lazim dikenal dengan Imam al-Nawawiy. 

Apolitik

Selain melarang pembicaraan tentang khilafiyah, halaqah JT juga tak memperkenankan pembicaraan mengenai politik praktis. Hal ini tak lain disebabkan oleh sifat JT yang terbuka bagi siapapun, tak mengenal sekat mazhab keagamaan dan wilayah apalagi sekedar perbedaan orientasi politik.

Sikap apolotik mereka dalam lingkup dakwah adalah sikap yang tepat dimana mereka menjaga agar ruh dakwah tetap pada relnya. Sebagaimana kita pahami dan alami saat ini, perbedaan orientasi politik bisa begitu keras menyebabkan friksi di antara umat seagama bahkan dalam hubungan berkeluarga sekalipun.

Kebersamaan di pengikut JT bukan cuma kiasan namun tercermin dari kebiasaan yang dilakukan. Salah satunya nampak dari kegiatan makan bersama. Mereka biasa makan dengan menggunakan 1 nampan saja. Salah satu adab saat makan adalah mengambil makanan yang terdekat dengan posisi duduk. Satu nampan biasa berisi sajian untuk 3 atau 4 orang yang duduk bersimpuh membentuk lingkaran. Begitu nyata kebersamaannya.

Jama'ah Tabligh dan Friksi

Inklusivitas mereka dalam berdakwah bukan berarti tanpa mendapatkan hambatan sama sekali. Banyak simpati namun ada juga kegiatan mereka yang menimbulkan kesalahpahaman.

Beberapa tahun lalu, kepolisian RI mengamankan beberapa orang anggota JT yang datang dari Filipina. Kepolisian menaruh kecurigaan terhadap mereka karena mensinyalir adanya keterlibatan JT dengan jaringan separatis Filipina di Mindanao Selatan. Meski kecurigaan itu tak terbukti akhirnya.

Friksi lain yang terjadi terkait dengan kegiatan mereka yang divonis menyimpang. Vonis ini berpijak pada pandangan ulama zaman ini yang menisbatkan diri para penerus dakwah salafunasshalihin salah satunya Syekh Nashiruddin al-Albani. 

Dia mengatakan bahwa JT tidak berdiri di atas manhaj kitabullah dan sunnah Rasul dan tidak mendasarkan dakwahnya pada pengetahuan. Hal lain yang dikritiknya adalah berkumpulnya berbagai mazhab dalam tubuh JT, ada Asyairah, Maturidi bahkan yang tak bermazhab pula. Pendapat senada akan kita temui pada dai-dai pengikut ajaran Salafi termasuk di Indonesia.

Disamping itu pendekatan sufisme yang dekat dengan para pengikut JT adalah sesuatu yang dijauhi oleh para pengikut Salafi. Hal yang sama dilakukan Salafi terhadap kelompok-kelompok yang toleran terhadap tasawuf termasuk kepada ormas terbesar di Indonesia, Nahdlatul Ulama yang di dalamnya menginduk organisasi ahli tarekat yang saat ini dipimpin oleh Habib Lutfi bin Yahya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun