Dalam hal ini, Dahnil justru bersikap woles.
Melalui sebuah twit, dia menggarisbawahi bahwasanya tafsir kreatip terhadap pelaksanaan nilai-nilai Islam bukanlah menjadi masalah saat tidak bertentangan dengan tauhid (nilai-nilai ketuhanan).
Dan memang begitu adanya, Islam Nusantara sebenarnya bukanlah sebuah hal baru dalam khazanah keislaman di Indonesia. Bahkan sebagian besar dari kita sudah mengaplikasikannya dalam keseharian.Â
Diksi ini bukan dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa NU telah keluar dari jalurnya sebagai penganut Asya'irah dalam akidah dan Syafi'iyah dalam fiqih, namun lebih kepada budaya Islam yang sifatnya lokal atau asli Nusantara sehingga tak ditemui di wilayah lain. Dan tentu saja, semua itu masih berada dalam koridor keislaman.
2. Mengkritik pencatutan ulama untuk kepentingan politik
Ulama kini seolah menjadi bintang dalam dalam percaturan politik tanah air. Ada diantaranya yang memang menduduki posisi dalam struktur jabatan dalam pemerintahan ataupun yang terjun dalam kancah politik secara tak langsung sebagai pendukung figur tertentu.
Tak dipungkiri juga, bahwa identitas keulamaan mempunyai legitimasi yang kuat di mata masyarakat kebanyakan.Â
Kaitannya dengan dinamika dalam negeri akhir-akhir ini, ada pihak-pihak yang berupa mendapatkan legitimasi atau dukungan luas dengan cara mengatasnamakan ulama. Ulama yang seharusnya dapat berdiri di semua golongan dan tak tersandera dengan politik praktis "dipinjam" untuk kepentingan pragmatis.
Dahnil adalah salah satu orang yang secara eksplisit mengatakan hal itu sebagai upaya pembajakan terhadap ulama. Dia menghimbau pihak-pihak yang bertarung dalam kontes politik untuk lebih mengedepankan gagasan yang berkebangsaan dan berkemajuan.