Kebijaksanaan hidup bisa datang kapan saja, dari siapa saja, bahkan dari kodok sekalipun. Seperti halnya ku terus teringat kebijaksanaan yang dituturkan oleh Kyai Difaun dari Pondok Pesantren Ahlul Fiksianah Karomah (PP-AFK) tujuh tahun yang lalu.
-----
Kami berlima; aku dan keempat teman kuliah akan memulai Kuliah Kerja Nyata (KKN). KKN tematik, yakni KKN dengan misi khusus. Dalam hal tersebut, misi kami mengusahakan PP-AFK dapat tumbuh berkembang baik. Targetnya, minimal dapat memberikan rancang gerak untuk lima tahun ke depan, dengan indikator keberhasilan menjadi PP terbaik se Kecamatan.
Sebelum menginap selama 60 hari dan beraktifitas di Pondok Pesantren tentu kami harus kulonuwun dengan Kyai selaku pemilik Pondok. Kami pun memperkenalkan diri. Sarwo Pleci, temanku yang paling tua memperkenalkan kami satu-persatu lengkap beserta asal Jurusan. Suaji Danarhadi jurusan sosiologi, Andri Kalemsu jurusan teknik sipil, Dosmantil jurusan teknik mesin, dan namaku pun disebut plus jurusanku tata boga.
"Siapa dan maksud kehadiran kami disini nantinya kurang lebih seperti itu Kyai". "Dengan kerendahan hati, kami mohon restu dan wejangan Kyai" tutup Sarwo dengan sedikit kikuk mengakhiri perkenalan.
Kyai Difaun tersenyum teduh. Nampak matang dan tahu benar sebuah pembicaran perlu jeda, Kyai mempersilahkan menikmati minuman. Teh manis buatan istri Kyai, Nyai Biyastri, kami sruput. Begitu gelas kembali pada lepek, dan punggung kami kembali bersandar pada kursi kayu, maka Kyai pun memulai pembicaraan.
"Silahkan saja, kami senang menerima tamu,.. dan tidak ada wejangan. Wejangan? hahaha.. kayak saya seorang pejabat saja. Anggaplah rumah dan jangan lupakan sholat"Â tawa tutur Kyai.
"Maaf andai-diandai kami tamu bertamu, maka bahagia kami berbunga-bunga apabila dapat wejangan dari Kyai" mohon Dosman dengan gaya bicaranya yang khas. Kamipun tertunduk lesu ketika Dosman memohon itu pada Kyai.
Tanpa disangka Kyai menanggapinya: "Baiklah, namun saya hanya akan bertanya saja. Hal sepele. Lebar sungai dari pinggir tepi ke tepi lainnya enam meter. Satu kali lompatan kodok sejauh satu meter. Berapakah lompatan yang dibutuhkan kodok menyeberanginya?"
Kami berlima, antara kaget, bingung, dan merasa aneh dengan pertanyaan Kyai. Dosman merasa itu pertanyaan basa-basi ramah tamah. Dengan ringan langsung menjawab: "maaf Kyai, jelas enam lompatan. Enam meter dibagi satu sama dengan enam".
Kyai asal Depok itu hanya tersenyum tipis: "Bukan itu jawabnya Nak Dosman". Nyai Biyastri pun turut tersenyum sembari memandang kami seolah mengundang jawaban yang lain.
Andri pun dengan kalem mencoba mencairkan suasana hening dengan jawaban: "Delapan kali Kyai; satu lompatan pertama Kodok melompat dari tanah ke air tepi sungai, lantas meloncat enam kali sepanjang sungai, serta ditambah satu kali lagi loncat dari air ke tanah tepian".
Lagi-lagi Kyai tersenyum, hanya saja senyumnya lebih mengembang dari sebelumnya: "Bukan pula itu jawabnya Nak Andri".
Hening lagi-lagi hadir. Hadir bersama kerut di jidat Sarwo. Telapak tangan Aji pun berubah dari semula di lengan kursi menjadi penyangga dagu tanda turut berfikir. Tak lama, keduanya seolah menemukan jawaban. Saling berbalas tatap, dan mengangguk seirama tanda punya jawaban yang sama. Aku pun percaya bakal jawaban keduanya akan benar. Percaya karena, pertama aku tak punya jawaban, kedua ku akui mereka gemar membaca, pandai menulis, dan punya wawasan luas.
"Dua kali Kyai!" serempak jawab Sarwo dan Aji. "Satu kali melompat ke sungai, lantas berenang melintas..." papar Sarwo, lantas pungkas Aji "...dan satu lagi ketika melompat selesai berenang!". Senyumku, Dosman, dan Andri mengiringi jawaban duet tersebut.
"Tidak salah nak jawaban kalian itu, tapi bukan itu jawabannya" jawab Kyai menggelengkan kepalanya sambari tetap tersenyum. Senyum yang seolah kami anak kecil bertingkah lucu meminta angpao di kala lebaran. Di mataku, Kyai sekarang sudah tahu tingkat derajat keilmuan kami.
Kami pun kaget sekaligus penasaran. "Lantas apa jawabannya?" gumamku. Aku yakin benar kami semua bingung.
Seperti biasa, Dosman memberanikan diri mengawali tanya "Nah, yang sebenar-benar melompat berapa kali Kyai?"
"Nol kali. Kodok tidak melompat sama sekali guna menyeberang sungai" tangkas jawab Kyai. Sebuah jawaban padat yang berbalas keriyit alis kami.
---------
Nyai Biyastri serta merta sigap memberikan tiga lembar kertas dan spidol biru kepada suaminya. Badan Kyai pun mulai sedikit membungkuk ke meja dan mulai menggambar sambari menjelaskan.
"Tidak salah Nak Dosman, enam dibagi satu adalah enam. Matematika menjawab demikian itu. Tidak salah".
"Demikian pula ketika hendak melakukan sesuatu tentu perlu berancang, perlu pijakan dan hitungan. Teknik Sipil lebih lengkap dalam mengupasnya. Jadi Nak Andri juga tidak salah" sambung Kyai.
"Meski berpunya hitungan, teori, bahkan nalar sekalipun,.. alangkah bijaknya jika kita lengkapi dengan menyaksikan kenyataan di lapangan, di tepian sungai. Ketika Kodok bertemu dengan air, saya melihatnya tidak pernah meloncat girang menceburkan diri,.. tidak pernah. Kodok dengan tenang dan perlahan mendekati air lalu slulup terbenam ke dalamnya."
"Kodok pergunakan segenap daya kemampuan yang dipunya, maka dalam air kodok pun berenang."
"Kala melihat tanah di tepian juga sama, Kodok tetap tenang. Saya lihat Kodok tidak pernah terlalu riang menjejak air, melompat, lantas mendarat di tanah,.. tidak pernah. Kodok merayap menyembul dari balik air, kemudian menapak tanah penuh barulah berjalan melompat-lompat" terang Kyai. Â
"Nah pesan saya, apapun itu pahamilah benar duduk perkaranya, bahkan pelajari tiap bagian dari pertanyaan. Jangan terburu-buru menjawab atau bertindak. Memang dalam agama, dalam kebaikan, kita harus semangat bersegera bergegas, namun itu bukan berarti terburu-buru. Alangkah bijak apabila kita tidak gegabah menilai kebenaran, terlebih hanya dengan sesempit satu-dua ilmu,.. ingatlah semesta punya kebenaran-Nya sendiri" lagi-lagi Kyai Difaun tersenyum bijak, entah sudah berapa kali senyum dari awal temu.
Kami berlima pun mengangguk bersamaan meski tak seirama, saling tukar pandang. Sebuah pandangan cermin kemantaban hati ber-KKN di Ponpes, tidak sebatas menggelar rangkaian Baksos sebagai bumbu KKN, lebih dari itu. Di PP-AFK kami belajar bijak-hidup kepada sosok panutan santri yakni Kyai Difaun Maksum Barbidul.
Kumandang adzan maghrib dan salim cium tangan menakzimkan Kyai menutup pertemuan sore itu.
        ***
slulup (jawa: terbenam masuk ke air degan pelan-pelan) | kulonuwun (jawa: permisi mau masuk bertamu atau memasuki sebuah ruang/wilayah) | sumber ilustrasi foto kodok
---------
Tulisan ini masuk dalam Kumpulan Karya BIJAK KEHIDUPAN
Kumpulan Tulisan dan/ Puisi tema lain: BUDAYA DAN SASTRAÂ |Â Â CINTA DAN PENDIDIKAN | EKONOMI Â |Â Â ANTI-KEKERASAN | KESEHATANÂ |Â Â LINGKUNGAN ALAM |Â MUSIMÂ |Â POLITIK |Â URBAN |
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H