"Demikian pula ketika hendak melakukan sesuatu tentu perlu berancang, perlu pijakan dan hitungan. Teknik Sipil lebih lengkap dalam mengupasnya. Jadi Nak Andri juga tidak salah" sambung Kyai.
"Meski berpunya hitungan, teori, bahkan nalar sekalipun,.. alangkah bijaknya jika kita lengkapi dengan menyaksikan kenyataan di lapangan, di tepian sungai. Ketika Kodok bertemu dengan air, saya melihatnya tidak pernah meloncat girang menceburkan diri,.. tidak pernah. Kodok dengan tenang dan perlahan mendekati air lalu slulup terbenam ke dalamnya."
"Kodok pergunakan segenap daya kemampuan yang dipunya, maka dalam air kodok pun berenang."
"Kala melihat tanah di tepian juga sama, Kodok tetap tenang. Saya lihat Kodok tidak pernah terlalu riang menjejak air, melompat, lantas mendarat di tanah,.. tidak pernah. Kodok merayap menyembul dari balik air, kemudian menapak tanah penuh barulah berjalan melompat-lompat" terang Kyai. Â
"Nah pesan saya, apapun itu pahamilah benar duduk perkaranya, bahkan pelajari tiap bagian dari pertanyaan. Jangan terburu-buru menjawab atau bertindak. Memang dalam agama, dalam kebaikan, kita harus semangat bersegera bergegas, namun itu bukan berarti terburu-buru. Alangkah bijak apabila kita tidak gegabah menilai kebenaran, terlebih hanya dengan sesempit satu-dua ilmu,.. ingatlah semesta punya kebenaran-Nya sendiri" lagi-lagi Kyai Difaun tersenyum bijak, entah sudah berapa kali senyum dari awal temu.
Kami berlima pun mengangguk bersamaan meski tak seirama, saling tukar pandang. Sebuah pandangan cermin kemantaban hati ber-KKN di Ponpes, tidak sebatas menggelar rangkaian Baksos sebagai bumbu KKN, lebih dari itu. Di PP-AFK kami belajar bijak-hidup kepada sosok panutan santri yakni Kyai Difaun Maksum Barbidul.
Kumandang adzan maghrib dan salim cium tangan menakzimkan Kyai menutup pertemuan sore itu.
        ***