Budi berprofesi sebagai penjual peti mati. Tidak ada yang tahu sejak kapan dimulainya usaha itu, bahkan Budi sendiri sekalipun. Yang jelas, Budi mulai menjual peti mati kala mulai berfikir kerja tuk terus dapat bertahan hidup.
Budi membuat peti mati dengan upaya terbaik, bukan demi kepuasan pengguna, toh selama ini tak ada pengguna protes padanya. Tidak pernah pengguna yang bangkit dari kubur, atau setidaknya sudi hadir mengabari dalam mimpi. Kesungguhan upaya itu, maksud Budi sebatas tidak menambah kesedihan keluarga yang berduka.
Budi tidak mencari untung berlebih, secukupnya saja, karena merasa aneh dan tak nyaman kala ada yang merasa berat berujung menawar. Dalam tiap pembuatannya, Budi selalu berdoa baik semoga penggunanya kelak nyaman berbaring di dalamnya. Namun selepas selesai, terlebih saat stok mulai memenuhi garasi, maka Budi pun berdoa semoga Malaikat Pencabut nyawa tidak alpa menunaikan perintah-Nya.
Bagi sebagian besar manusia, Malaikat Maut adalah sosok menakutkan yang tak pernah diundang terlebih dinanti. Beda bagi Budi, Malaikat Maut adalah mitra bisnis setia, meski ia tidak pernah ikut dalam pertemuan-pertemuan jual-beli peti mati. Setiap ada kabar duka, maka itu adalah lega bahagia, sambari berharap semoga peti mati buatannya yang terpilih. Alam itu seimbang, setiap ada duka kematian maka ada bentuk lain kesenangan kehidupan. Ternyata Budilah salah satu penikmat keseimbangan itu.
-----
Toko "Peti Mati Budi", itu nama papan tokonya. Adapun penjualnya sekarang bernama Minah, bertabiat sama dengan Budi. Maklum Minah adalah putri sulung Budi. Sedang Budi sendiri sudah lama meninggal,.. sedari Minah lulus sekolah SMA. Selepas lulus Minah menikah. Untuk sementara, beberapa tahun usaha peti mati dijalankan oleh menantu alias suami Minah. Anak-anak mereka terbilang sudah besar sekarang, suami minah beralih kembali ke profesi awal sebagai blantik ayam di pasar.
-----
Suatu pagi Minah membuka toko dengan senyum terkembang, sebuah rekah janggal kala sedang sepi musim orang mati. Ternyata Minah bermimpi tentang ayahnya semalam,.. bermimpi tentang perjalanan kematian ayahnya beserta kabarnya. Sekarang Minah bercerita padaku, membacakan sebuah tulisan. Rekaman papar yang disampaikan ayahnya, lalu selepas subuh Minah menuliskannya;..
_______________
Aku sedang asyik mengerjakan pesanan,.. berkah kenikmatan dunia,..
Lantas Malaikat Maut datang, tak bisa ditolak, pekerjaan pun bertambah. Satu menyelesaikan nikmat dunia tersisa, satu lagi mempersiapkan pesanannya,.. pesanan untuk kematian diriku sendiri..
Pesanan peti kematianku sendiri,.. pesanan yang kubuat tidak dengan catatan pembukuan.. tidak ada gunanya, tidak ada guna lagi masalah untung rugi. Delapan bilah jati kualitas utama untuk peti seorang pembuat peti sejati..
Kehidupan alam kubur adalah kehidupan yang sepi, redup tiada terang, jauh dari nyaman,.. namun setidaknya aku lebih nyaman.. bagaimana tidak.. kematian ini telah ku siapkan jauh-jauh hari.. setidaknya ku berpunya bekal yang terbawa sampai mati,.. peti alasku sekarang ini..
Malaikat datang kali kedua lebih cepat dari yang ku duga; Ia bertanya padaku..
Siapa Tuhanmu?. Lantas jelas ku jawab: "Yang menciptakan kehidupan juga kematian semua makhluk, termasuk hidup dan matiku".
Siapa Nabi..? Tukasku: "Dia manusia terbaik dari manusia yang ada, terbaik dari seluruh makhluk kepunyaan-Nya, dia kekasih-Nya".
Malaikat terdiam, diam namun juga belum melangkah pergi. Lantas ku bertanya padanya, "Kenapa tidak kau sambung tanya amalanku di dunia?. Pelan namun terang terdengar, Malaikat menjawab: "Tak perlu lagi ku tanya itu padamu, tak perlu ku tanya pada manusia yang selalu ingat mati tiap hari". Tidak menjawab namun itulah jawabannya.
Tertunduk Malaikat lirih berujar, "Ku yakin engkau pun tahu kenapa ku tak bersemangat menemuimu, terlebih bertanya padamu, karena kau tahu itu."
"Kau juga tahu ada satu kurangmu namun itu juga bukan salahmu,.. tak ada guna lagi ku bertanya padamu" tutup Malaikat masih tertunduk.
"Ya benar aku tahu itu" dalam gumam batinku. Meski enggan ku katakan, namun harus ku katakan untuk mengakhiri jengah pertemuan ini. Ku beranikan diri tuk katakan padanya, kepada Malaikat.. "Meski kau petinggi langit,.. kau pun sama, kau yang terakhir, kau akan mati.. dan maafkan aku tak bisa membuatkan peti mati untukmu"...
Aku kembali diam, malaikat pergi, dan hening sepi datang meruang kembali..
                                                   ***
_________________
Sumber ilustrasi foto
Silahkan saja menukil atau meng-copy-paste tulisan ini, namun dengan kerendahan hati wajib menyertakan nama penulis/pengarang (Imam Muttaqin) berikut sumber/link tulisan ini. Maturnuwun.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H