Mohon tunggu...
Rifki Sanahdi
Rifki Sanahdi Mohon Tunggu... Freelancer - Nama lengkap

Saya suka menulis puisi dan juga essay-essay pendek

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Iklim Pendidikan yang Baik Harus Jadi Prioritas Pendidikan, Begini Pengalaman Saya di Australia

4 Maret 2020   10:45 Diperbarui: 4 Maret 2020   19:31 469
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Terhitung sejak tanggal 7 Juli hingga 4 Maret 2020, sudah hampir delapan bulan lamanya saya menginjakkan kaki di negara ini, Australia, dan ternyata belum ada kisah yang tersampaikan tentang perjalanan ini. Padahal saat ini saya berada pada sebuah lembaran hidup yang begitu berbeda dari sebelum-sebelumnya. 

Saya dihadapkan pada cuaca yang baru, orang-orang baru, bahasa yang baru dan juga kampus yang baru. Sejujurnya, saya tidak pernah berfikir akan terdampar di Australia, karena sebelumnya negara-negara Skandinavia (Denmark, Swedia, Norwegia) menjadi incaran sewaktu semester akhir selama s1. Lund University, University of Oslo dan Copenhagen University merupakan universitas-universitas yang saya buru dari dulu. 

Namun nasib membawa saya menjadi mahasiwa di salah universitas terbaik di Australia, the University of Queensland ; orang-orang sering menyingkatknya menjadi UQ.

Mendaftar di UQ waktu itu juga lantaran mengikuti seorang kawan. Setelah melakukan riset lebih mendalam dan berdiskusi dengan beberapa teman, saya makin tertarik dengan universitas ini. Tentunya karena program yang saya inginkan ada di sini dan juga terdapat beberapa projeknya di Indonesia.

Tulisan kali ini akan fokus pada pengalaman saya bertemu dengan iklim akademik baru di UQ. Lebih detailnya, pertama-tama saya akan memberikan testimoni saat memulai perkuliahan, selanjutnya saya ingin menjelaskan tentang perbedaan system belajar mengajar di sini dengan saat-saat masih kuliah S1.

Tulisan ini akan dibuka dengan cerita singkat seputar perjumpaan pertama saya dengan kampus tempat saya kuliah saat ini. Ada banyak cara orang mengekspresikan dirinya saat bertemu dengan lingkungan baru termasuk saya. Momen pertama kali keluar dari pesawat di bandara Brisbane tidak mungkin bisa terlupakan. 

Waktu itu, kampus adalah hal yang pertama kali ingin saya lihat. Rasa penasaran akan rupa bangunan klasik UQ, yang selama ini sering saya amati melalui google dan vlog mahasiswa-mahasiswanya, tidak terbendung. Akhirnya, saya mengajak supir taxi untuk melewati depan kampus hanya untuk menghilangkan rasa penasaran. 

Keesokan harinya, saya memutuskan untuk melihat kampus walau cuaca saat itu sangat dingin dan juga hujan sedang mengguyur. Jujur, saya takjub melihat gedung-gedung tua kampus, saya seakan-akan merasa berada di zaman kerajaan, karena memang tata letak dan juga arsitekturnya mirip kerajaan-kerajaan khas Eropa kuno.

Sebagaimana mahasiswa baru lainnya, sebelum memulai perkuliahan di sini, mahasiswa juga diwajibkan mengikuti masa orientasi yang berlangsung selama seminggu. Orientasi pada umumnya diisi dengan kegiatan workshop cara menulis essay, membaca cepat, strategi belajar efektif dan juga cara melakukan sitasi dalam tulisan akademik. 

Kampus memang begitu serius dan ketat dalam urusan karya mahasiswanya; tulisan yang dihasilkan harus orisinil, akademik dan bukan hasil plagiat. Saat pertama kali masuk ruangan kelas, saya harus lebih fokus mendengar materi dosen karena aksen Australia yang saya tidak terlalu familiar terhadapnya. Untungnya di setiap kelas akan disediakan lecturer notes, sehingga kita bisa mendengarnya lagi kapan pun melalui HP atau laptop. 

Bukan hanya materi, orientasi juga dipenuhi dengan barang-barang gratis yang bisa kita dapatkan hanya dengan menunjukkan kartu mahasiswa; moment yang selalu saya tungu-tunggu, dan baju kaos bertulisakan nama kampus menjadi incaran utama saat itu. Namun, bagi saya masa orientasi tidak luput dari beberapa kekurangannya.

Pertama, waktu untuk penjelasan materi yang begitu singkat menyulitkan suasana interaktif dalam kelas. Dosen lebih banyak menjelaskan dari awal hingga akhir sesi dan saya pribadi tentunya mempunyai beberapa penjelasan yang perlu dijelaskan lagi. 

Padahal, seharusnya untuk setiap materi bisa dibagi ke dalam dua sesi untuk menambah waktu diskusi dan klarifikasi. Kedua, jumlah mahasiswa yang mengikuti workshop terlalu banyak, sehingga membutuhkan ruang kelas yang besar dan juga menyulitkan dosen untuk melempar diskusi karena tidak semua mahasiswa mendapatkan jatah bicara dikarenakan singkatnya waktu. Namun orientasi singkat tersebut setidaknya bisa menjadi pondasi dasar mahasiswa untuk mengikuti kegiatan belajar di kelas.

Tanggl 22 Juli 2019 menjadi kelas perdana di semester pertama di jurusan Master of Development Practice. Tentunya ada rasa deg-degan. Akhirnya, setelah sekian lama bertarung menaklukkan susahnya bahasa Inggris, saya berhadapan langsung dengan penutur aslinya.

Lebih menantangnya lagi, bahasa akademik sedikit berbeda dengan bahasa sehari-hari, sehingga saya harus bekerja lebih keras lagi untuk mengikuti alur belajar di kelas. 

Di winter semester, saya mengambil empat mata kuliah wajib yaitu Politic of Indigenous people, communication and social movement, Foundation of International Relation, dan Gender and Global Political Development. Di antara keempat mata kuliah tersebut, dua mata kuliah terlihat sedikit familiar dan sisanya benar-benar baru. 

Tentunya mata kuliah yang terlihat familiar seperti Gender dan juga politic of indigenous people bisa saya ikuti dengan sedikit gampang jika dibandingkan dengan mata kuliah foundation of IR dan Communication and Social Movement.

Sejak beberapa tahun belakangan, kehidupan akademik di Indonesia, khususnya Jogja dipenuhi dengan diskursus tentang gender dan perlawanan politik masyarakat adat terhadap globalisasi di beberapa daerah baik di Indonesia maupun dunia secara umum.

Terkait dua kursus yang sedikit menantang untuk saya, foundation of International Relation benar-benar terlihat bukan seperti foundation. Mata kuliah Hubungan international tidak semudah yang saya bayangkan sebelumnya.

Terdapat beberapa teori dasar yang harus saya ketahui seperti liberalisme, neoliberalisme, realisme, neorealisme, feminisme, konstruktifisme dan Marxisme. Teori-teori tersebut menjadi menantang karena kita didorong untuk melihat bagaimana mereka bekerja di tantanan global. 

Permasalahannya adalah, selama ini saya lebih fokus melihat fenomena politik dalam skala mikro yaitu seputar perpolitikan di Indonesia. Selama satu semester, saya harus berjuang memahami konsep keamanan global, perang dingin, perang dagang , hukum internasional, organisasi internasional, terorisme dan perubahan iklim.

Namun harus diakui bahwa materi-materi di mata kuliah fondasi hubungan internasional tersebut sangat berguna bagi mata-mata kuliah lainnya di depan. 

Misalnya saja seperti the history of development dan the development in post-colonial societies yang akan saya ambil di semester ke dua. Di mata kuliah ini, saya melihat bagaimana tatanan ekonomi global melahirkan istilah negara berkembang dan negara maju dan bagaimana negara-negara great powers mendominasi diskursus global, serta melihat bagaimana proses pemiskinan berlangsung di berbagai negara.

Dengan mengetahui beberapa konsep hubungan internasional, saya lebih mudah mengikuti materi yang ada, karena memang pengantarnya sudah saya pelajari sebelumnya. 

Seanjutnya, saya mengira mata kuliiah Communication and social movement akan dengan mudh saya ikuti karena saya sudah mempelajari beberapa teori dan studi kasus tentang gerakan social di beberapa negara.

Namun dugaan saya meleset, course ini cukup menantang karena ternyata gerakan yang dimaksud adalah gerakan dan reformasi media-media. Ini jelas lebih berkaitan dengan mata kuliah anak komunikasi. Saya agak kagok karena kurangnya bahan bacaan tentang media selama ini. Namun terlepas dari semua itu, saya bersyukur saya bisa lulus dua mata kuliah tersebut walau dengan nilai yang tidak tinggi.

Berkaca dari kuliah semester lalu, ada beberapa hal yang saya suka dari proses belajar mengajar di sini. Pertama, saya sangat suka dengan silabus yang lengkap, yang sudah memuat tugas, materi kuliah, jadwal dan juga beberapa kuliah umum di dalamnya.

Hal tersebut tentu memudahkan saya untuk mempersiapkan tugas-tugas kuliah dari jauh-jauh hari. Misalkan, mengumpulkan beberapa referensi buku, jurnal dan beberapa berita dari koran yang akan dijadikan sebagai bahan essay. 

Ekspektasi dosen akan sebuah tugas sangat tinggi. Kita dituntu untuk membhat tugas yang tidak biasa. Artinya di dalamnya harus memuat sumber-sumber yang relevan dengan konteks, terbaru dan juga sebuah pemikiran kritis.

Kedua, saya selalu hormat dengan dosen-dosen yang responsive khususnya menjawab beberapa pertanyaan dan menyediakan kebutuhan kita, dan dosen-dosen di sini tak pernah membalas email saya lebih dari lima jam setelah saya mengirimnya. Jawaban-jawaban yang diberikan pun cukup membantu, dan jika dirasa kurang maka biasanya mereka akan mengajak bertemu langsung. 

Selain itu, mereka juga berusaha memahami beberapa kesulitan yang dihadapi oleh mahasiwea internasional khusunya dalam hal bahasa Inggris. Oleh karena itu, dalam hal penilaian, grammar dan tata bahasa biasanya memiliki poin paling kecil. Mereka juga sering mensupport kita untuk berani berargumen walau tidak selancar mahasiwa-mahaiswa native. 

Ketiga, kendati memiliki tingkat kesibukan yang padat, para professor tetap menjadikan proses mengajar sebagai prioritas. Walaupun mereka memiliki beberapa asisten, tetapi tugas asisten dosen bukan untuk mengajar melainkan membantu beberapa hal-hal praktis di kelas seperti membagikan beberapa kertas ke meja-meja, membagi kelompok diskusi dan juga ikut nimbrung dalam diskusi. 

Hal ini sangat berbeda saya rasakan dengan pengalaman belajar sebelumnya, di mana dosen utama jarang sekali mengajar diakibatkan proyek yang begitu banyak, walhasil Asisten mereka menjadi pengganti. Saya tidak meragukan kapabilitas Asdos-asdos tersebut, hanya saja ketika membayar uang kilah, apa yang saya harapkan yaitu ilmu langsung dari ahlinya yaitu dosen-dosen yang sudah melakukan berbagai macam riset di bidang tersebut.

Terakhir, perpustakaan menjadi favorit saya di sini. Kita bisa mengakses buku dan ruang belajar di perpustakaan selama 24 jam. Semester lalu, saat tugas-tugas menyerang, perputskaan menjadi rumah pertama.

Sebenarnya bisa saja saya mengerjakan tugas di rumah. Tetapi terdapat banyak godaan seperti Kasur dan makan dan juga hosumate (teman serumah) yang sangat mengganggu konsentrasi dikarenakan terlalu ribut sepanjang malam. Biasanya saya akan pulang ke rumah jam 3 atau 4 pagi.

Sebagai penutup, menyediakan iklim akademik yang bagus menjadi prioritas utama dalam sebuah Pendidikan. Kriteria atmosfer yang baik di sebuah institusi Pendidikan yaitu mudahnya akses ke perpus, dosen yang egaliter dan responsive, dan juga kampus yang demokratis yang membebaskan mahasiwanya untuk berkreasi. Bukan malah melarangnya untuk berasosiasi dan berdiskusi lantaran berbeda ideologi dengan para petinggi kampus.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun