Mohon tunggu...
Mas Id
Mas Id Mohon Tunggu... Penulis - Kretekus Teater

Penulis lakon

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tangan Kanan Memberi, Tangan Kiri Jangan Lupa Selfie!

27 Januari 2021   15:47 Diperbarui: 28 Januari 2021   11:45 2600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Memang, nikmatnya memberi pakan untuk ikan di kolam adalah ketika mereka para jelata; lele, kakap, nila, yang kita budidaya itu berkecipak, berduyun-duyun, berdesakan, berserobotan, berebutan butiran-butiran pelet yang ditebar oleh tangan kita.

Diri pemberi pakan jadi merasa menjadi Wisynu yang dielu-elu, diagung-agung, dinanti-nanti, dan dipuji-puji. Menjadi sosok agung perawat kehidupan, biarpun sebentar, tetaplah merupakan satu kemewahan.

Jadi Tuan-Puan tiada perlu merasa heran jika sering, masih, dan akan terus kita saksikan acara pembagian bantuan yang diselenggarakan secara gegap gempita, penuh sesak oleh massa, dan mengundang mara bahaya. Padahal dengan sekali pengandaian, setiap jiwa yang berakal tentu bisa membuat, mereka-reka, dan merencanakan sistematika yang lebih efektif, efisien, dan bermartabat.

Jika memang cita-citanya adalah bantuan dapat tersalurkan, apa sulitnya jauh hari kepastian nomor dan jumlah antrean per hari telah diberikan. 

Dengan berdasar perhitungan kuota waktu dan tempat dan ketersediaan teknologi, tiada mustahil maksud baik pemberian terejawantah secara elegan. Dan tiada mustahil pula peristiwa pembagian tidak dijadikan pagelaran, pertunjukan, panggung kebaikan. Yakni dengan cara transfer rekening atau door to door. Tetapi, ya Tuan dan Puan, balik lagi ke soal kejiwaan melempar pakan pada kolam tadi.

Sedikit tak apa, meski hati siapa yang tidak meronta menyaksikannya. Tapi kita bisa sedikit maklum, jika pembagian bantuan diselenggarakan dengan modal pribadi seorang yang kaya raya. Karena setidaknya uang yang dipyur-pyur-kan adalah miliknya sendiri.

Jadi wajar jika mereka merasa berhak untuk merasakan kemewahan dewa Wisynu, di mana singgasana mewahnya menjadi semakin wah, ketika para jelata berduyun-duyun mengerubung untuk mendapat jatah paket kebaikan yang diamalkan.

Kemewahan macam seperti itu memanglah mahal harganya. Sampai-sampai tak hanya menuntut modal pribadi Si Dermawan, tetapi beberapa martabat dan nyawa kaum pengantre penerima bantuan, kadang musti keluar untuk menanggungnya.

Tak usah kita tengok jauh-jauh pada sejarah berdebu. Saya rasa masih kekal di ingatan Tuan dan Puan sekalian, peristiwa berdarah pembagian sedekah oleh dermawan dari Pasuruan, Jawa Timur di tahun 2008 di mana 21 orang meninggal dunia dan 13 orang lainya luka-luka dan pingsan akibat terinjak-injak.

Peristiwa duka yang merenggut nyawa sekaligus menyakiti akal sehat dan kemanusian tersebut bukan kali pertama dan nampaknya tidak lantas menjadi terakhir kalinya. Sekalipun "Jas Merah"-nya Soekarno, mayoritas dari kita mempercayainya sebagai anjuran baik dari pendiri bangsa. "Jangan sekali-kali melupakan sejarah!"  

"Ya, pikiran kami tidak lupa pada sejarah, Bung! Hanya saja hati kami melulu tergiur pada kemewahan panggung kedermawanan."

Hasrat tergiur pada kemewahan nan mahal dan berisiko semacam itu, tentu tak bakal terbersit di benak kita yang masih sibuk perkara mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tetapi godaan menggelar gegap-gempita panggung kebaikan diri tersebut besar mungkin bakal muncul ketika kita bergelimpang harta dan kuasa.

Hasrat bermewah-mewahan dengan jalan seperti itu memang hanya bakal terjadi jika kita memiliki modalnya. Jika pun belum, beberapa dari kelas menengah sebenarnya sudah merintisnya secara kecil-kecilan. Dengan jalan menunggang panggung virtual, mereka berlaga di atas panggung kebaikan diri. Tangan kanan memberi tangan kiri jangan sampai lupa merekamnya.

Tuan dan puan biasa menyebut fenomena itu dengan pansos atawa panjat sosial. Dan yang dipanjat adalah panggung kemiskinan. Hati Tuan-Puan resah, tapi bakal segan untuk menyampaikan keberatan karena banyak orang telah mempraktikannya, sehingga hampir-hampir telah menjadi kewajaran.

Bisa-bisa jika mengkritik kita justru terkucil dari pergaulan lantaran dianggap sebagai tukang nyinyir dan kena dakwa, "iri bilang bos!". Maka akal sehat kita biasanya hanya akan menelan ludah sembari masygul lantaran teringat peribahasa SD, "tangan kanan memberi, tangan kiri jangan sampai tahu."

Atau justru kita terpacu untuk juga bisa berbuat seperti itu? Dan lalu turut membenarkan dalih, "maksudnya bukan pamer, tetapi agar orang lain juga tergerak untuk turut berbuat serupa. Bayangkan betapa bakal indahnya di dunia ini jika semua orang ingin berbagi." Kira-kira begitu batin mereka ketika membagikan postingan amal sedekah mereka.

Suka tidak suka, setuju tidak setuju, hal semacam itu nyatanya jamak terjadi di sekeliling kita. Tidak hanya di negeri kita Indonesia, tetapi di seluruh penjuru dunia yang warganya sekaligus menjadi warga jagad maya.

Jim Carrey, aktor kawakan Hollywood, berkenaan dengan kecenderungan seperti itu, sampai berkata, "Imagine struggling with being homeless and someone comes with camera in your face to give you a meal and you have to take it... Imagine that feeling. Please, stop doing that. If you go to help someone, do it with kindness and not your ego."

Tetapi Tuan-Puan, sekalipun gejala semacam itu telah terjadi di mana-mana, bukan berarti sudah tidak ada orang-orang yang berbuat baik dengan tata cara yang baik. Silent dan elegan. Mereka ada di sekitar kita, banyak dan tidak kita ketahui karena memang sedekah yang dilakukan sengaja tidak diperlihatkan.

Kemanusian harus percaya ini, bahwa masih ada orang-orang yang sanggup menikmati kebaikan tanpa harus diketahu orang lain. Tentu saja peristiwanya, tak akan Tuan-Puan temui di beranda sosial media mereka.

Jadi untuk sementara ini, dengan mengingat kemasihadaan mereka para dermawan yang senantiasa meletakkan sedekah pada marwahnya, saya rasa bisa cukup untuk meredakan keresahan Tuan-Puan berkenaan dengan banyaknya panjatan sosial yang berdiri di atas punggung kemiskinan. Mau bagaimana lagi, pertunjukan kemiskinan sebanal itu bahkan telah jadi bsinis hiburan yang tidak dilarang oleh Komisi Penyiaran. 

Tetapi kemakluman itu untuk mereka yang membiayai panggungnya dengan hartanya sendiri. Kita mungkin masih bisa memaklumi. Sedang kepada praktik gegap gempita yang memakai uang rakyat, rasanya tidak bisa tidak akal sehat untuk tidak menghujat. Negara mengistilahkannya sebagai bantuan saja sudah tak tepat, apalagi jika sampai diatasnamakan sebuah jabatan sebagai pihak penyumbang atau pemberi bantuan. 

Misal "Bantuan dari Wakil Presiden". Itu hanya misal. Pencetus kebijakan pemberian mungkin, tetapi tetap tidak tepat jika lantas dilabelkan sebagai si penderma. Karena sumber modal bukan dari kas pribadi jabatan. Tetapi dari APBN yang notabene adalah uang rakyat yang dikelola pejabat.

Saya rasa perkara istilah bantuan tersebut, sudah banyak yang membahasnya, sekalipun tetap saja tak mempan untuk memperbaiki keadaan bahkan sekadar perbaikan pengistilahannya.

Tulisan ini tak hendak meramaikan khasanah perdebatan tersebut. Tetapi pada praktik penggegap-gempitaan pemberian bantuannya yang diselenggarakan pemerintah, ternyata masih juga terjadi di masa wabah ini. Padahal di sisi lain anjuran sosial distancing juga dicanangkan.

Saya tidak mengalaminya secara langsung. Karena sekalipun miskin, alhamdulilah kondisi tidak sampai memaksa saya untuk mendaftarkan diri sebagai pengantre bantuan.

Saya hanya selintas tahu bahwa untuk menanggulangi dampak ekonomi akibat wabah, ada pembagian bantuan. Kira saya, husnuzan saya, tentu saja mekanisme pembagian tidak bakal dibuat secara demonstratif dan berduyun-duyun seperti yang sudah-sudah. Karena tentu saja situas pandemi telah diperhitungkan. Saya kira Tuan-Puan juga bakal berpikir seperti itu.

Tapi apa nyatanya, Tuan-Puan? Seorang kawan seniman saya pada suatu siang membawa cerita pengalamannya tahun kemarin ketika menerima bantuan, yang membuat akal sehat geleng kepala dan berkata, "masih saja seperti itu!"

Tuan-Puan silakan tidak percaya, kalau saya pribadi percaya pada cerita ini.

Waktu sampai di lokasi pengambilan bantuan, ia dapati antrean dan kerumunan nyatanya tetap terjadi. Dan ironi sepanjang masa di negeri kita pula kembali mengemuka di masa wabah ini. Yakni petugas pelayanan publik yang digaji oleh rakyat bertingkah menyebalkan kepada para pengantre. Mungkin lantaran bosan, atau justru di situ terletak kesenangan wewenang?

Seakan-akan sedang menghadapi rombongan pengemis yang merusak hari-hari tenteramnya. Lupa mereka, bahwa itu tugas mereka dan tugas itu ada lantaran mereka digaji tiap bulannya. Itu menurut penilaian kawan saya, yang tentu saja subyektif. Yang jelas teman saya secara pribadi mengaku bahwa di situ ia merasa dihinakan dan kapok, tidak akan sudi lagi. Kecuali kalau kepepet, barangkali.

Tapi rasanya memang keterluan, karena sampai linmas atau satpamnya (saya lupa) yang bertugas merasa berhak galak dan membentak-bentak seorang tua. "Maju! Maju sini! Hei kamu! Goblok, cepat diisi kursi ini!"

Teman saya jadi merasa perlu mempraktikkan seni perannya dengan mengaku-aku sebagai wartawan untuk membalas perlakuan si galak. Dengan ganti membentaki dan mengancam si satpam, "Bapak jangan kurang ajar! Saya tulis di koran, nanti! Saya ini wartawan lho!".

Mungkin kebohongan profesi itu terjadi lantaran kawan saya tersinggung kemanusiannya dan sekalian ingin melampiaskan kekesalannya pribadi. 

Setelah mendengar cerita dari kawan saya yang seniman tersebut, saya jadi teringat keasyikan menebar pakan untuk ikan di kolam. Dan lalu tergerak menulis catatan ini.

Saya hubungkan karena saya rasa perkara demonstratif pembagian bantuan tak hanya peristiwa politik belaka, tetapi di situ ada pula pelampiasan kejiwaan. Yakni rekreasi kemewahan sehari menjadi Sang Hyang Wisnu. Kecuali yang tidak, tentunya.

Sukoharjo, 27 Januari 2021

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun