"Ya, pikiran kami tidak lupa pada sejarah, Bung! Hanya saja hati kami melulu tergiur pada kemewahan panggung kedermawanan."
Hasrat tergiur pada kemewahan nan mahal dan berisiko semacam itu, tentu tak bakal terbersit di benak kita yang masih sibuk perkara mencukupi kebutuhan sehari-hari. Tetapi godaan menggelar gegap-gempita panggung kebaikan diri tersebut besar mungkin bakal muncul ketika kita bergelimpang harta dan kuasa.
Hasrat bermewah-mewahan dengan jalan seperti itu memang hanya bakal terjadi jika kita memiliki modalnya. Jika pun belum, beberapa dari kelas menengah sebenarnya sudah merintisnya secara kecil-kecilan. Dengan jalan menunggang panggung virtual, mereka berlaga di atas panggung kebaikan diri. Tangan kanan memberi tangan kiri jangan sampai lupa merekamnya.
Tuan dan puan biasa menyebut fenomena itu dengan pansos atawa panjat sosial. Dan yang dipanjat adalah panggung kemiskinan. Hati Tuan-Puan resah, tapi bakal segan untuk menyampaikan keberatan karena banyak orang telah mempraktikannya, sehingga hampir-hampir telah menjadi kewajaran.
Bisa-bisa jika mengkritik kita justru terkucil dari pergaulan lantaran dianggap sebagai tukang nyinyir dan kena dakwa, "iri bilang bos!". Maka akal sehat kita biasanya hanya akan menelan ludah sembari masygul lantaran teringat peribahasa SD, "tangan kanan memberi, tangan kiri jangan sampai tahu."
Atau justru kita terpacu untuk juga bisa berbuat seperti itu? Dan lalu turut membenarkan dalih, "maksudnya bukan pamer, tetapi agar orang lain juga tergerak untuk turut berbuat serupa. Bayangkan betapa bakal indahnya di dunia ini jika semua orang ingin berbagi." Kira-kira begitu batin mereka ketika membagikan postingan amal sedekah mereka.
Suka tidak suka, setuju tidak setuju, hal semacam itu nyatanya jamak terjadi di sekeliling kita. Tidak hanya di negeri kita Indonesia, tetapi di seluruh penjuru dunia yang warganya sekaligus menjadi warga jagad maya.
Jim Carrey, aktor kawakan Hollywood, berkenaan dengan kecenderungan seperti itu, sampai berkata, "Imagine struggling with being homeless and someone comes with camera in your face to give you a meal and you have to take it... Imagine that feeling. Please, stop doing that. If you go to help someone, do it with kindness and not your ego."
Tetapi Tuan-Puan, sekalipun gejala semacam itu telah terjadi di mana-mana, bukan berarti sudah tidak ada orang-orang yang berbuat baik dengan tata cara yang baik. Silent dan elegan. Mereka ada di sekitar kita, banyak dan tidak kita ketahui karena memang sedekah yang dilakukan sengaja tidak diperlihatkan.
Kemanusian harus percaya ini, bahwa masih ada orang-orang yang sanggup menikmati kebaikan tanpa harus diketahu orang lain. Tentu saja peristiwanya, tak akan Tuan-Puan temui di beranda sosial media mereka.
Jadi untuk sementara ini, dengan mengingat kemasihadaan mereka para dermawan yang senantiasa meletakkan sedekah pada marwahnya, saya rasa bisa cukup untuk meredakan keresahan Tuan-Puan berkenaan dengan banyaknya panjatan sosial yang berdiri di atas punggung kemiskinan. Mau bagaimana lagi, pertunjukan kemiskinan sebanal itu bahkan telah jadi bsinis hiburan yang tidak dilarang oleh Komisi Penyiaran.Â