Memang, nikmatnya memberi pakan untuk ikan di kolam adalah ketika mereka para jelata; lele, kakap, nila, yang kita budidaya itu berkecipak, berduyun-duyun, berdesakan, berserobotan, berebutan butiran-butiran pelet yang ditebar oleh tangan kita.
Diri pemberi pakan jadi merasa menjadi Wisynu yang dielu-elu, diagung-agung, dinanti-nanti, dan dipuji-puji. Menjadi sosok agung perawat kehidupan, biarpun sebentar, tetaplah merupakan satu kemewahan.
Jadi Tuan-Puan tiada perlu merasa heran jika sering, masih, dan akan terus kita saksikan acara pembagian bantuan yang diselenggarakan secara gegap gempita, penuh sesak oleh massa, dan mengundang mara bahaya. Padahal dengan sekali pengandaian, setiap jiwa yang berakal tentu bisa membuat, mereka-reka, dan merencanakan sistematika yang lebih efektif, efisien, dan bermartabat.
Jika memang cita-citanya adalah bantuan dapat tersalurkan, apa sulitnya jauh hari kepastian nomor dan jumlah antrean per hari telah diberikan.Â
Dengan berdasar perhitungan kuota waktu dan tempat dan ketersediaan teknologi, tiada mustahil maksud baik pemberian terejawantah secara elegan. Dan tiada mustahil pula peristiwa pembagian tidak dijadikan pagelaran, pertunjukan, panggung kebaikan. Yakni dengan cara transfer rekening atau door to door. Tetapi, ya Tuan dan Puan, balik lagi ke soal kejiwaan melempar pakan pada kolam tadi.
Sedikit tak apa, meski hati siapa yang tidak meronta menyaksikannya. Tapi kita bisa sedikit maklum, jika pembagian bantuan diselenggarakan dengan modal pribadi seorang yang kaya raya. Karena setidaknya uang yang dipyur-pyur-kan adalah miliknya sendiri.
Jadi wajar jika mereka merasa berhak untuk merasakan kemewahan dewa Wisynu, di mana singgasana mewahnya menjadi semakin wah, ketika para jelata berduyun-duyun mengerubung untuk mendapat jatah paket kebaikan yang diamalkan.
Kemewahan macam seperti itu memanglah mahal harganya. Sampai-sampai tak hanya menuntut modal pribadi Si Dermawan, tetapi beberapa martabat dan nyawa kaum pengantre penerima bantuan, kadang musti keluar untuk menanggungnya.
Tak usah kita tengok jauh-jauh pada sejarah berdebu. Saya rasa masih kekal di ingatan Tuan dan Puan sekalian, peristiwa berdarah pembagian sedekah oleh dermawan dari Pasuruan, Jawa Timur di tahun 2008 di mana 21 orang meninggal dunia dan 13 orang lainya luka-luka dan pingsan akibat terinjak-injak.
Peristiwa duka yang merenggut nyawa sekaligus menyakiti akal sehat dan kemanusian tersebut bukan kali pertama dan nampaknya tidak lantas menjadi terakhir kalinya. Sekalipun "Jas Merah"-nya Soekarno, mayoritas dari kita mempercayainya sebagai anjuran baik dari pendiri bangsa. "Jangan sekali-kali melupakan sejarah!" Â
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!