Saya sering mendapatkan pertanyaan, "apa tidak deg-degan ketika berdiri di atas panggung?"
"Ya ded-degan kalau tidak deg-degan ya mati."
Biasanya saya jawab dengan seloroh semacam itu. Saya tahu maksud deg-degan si penanya. Yakni berkenaan dengan situasi mendebarkan, menegangkan, dan menggeletarkan badan karena tampil di hadapan banyak orang, dan biasa disebut demam panggung. Dan dikira oleh mereka setelah menyaksikan pertunjukan saya, adalah saya tidak mengalami situasi mendebarkan tersebut karena telah seringkali berpentas dan sudah mengalami banyak latihan.
Padahal saya masih merasakannya, sama seperti dulu kali pertama pentas teater sampai sekarang ini. Baik ketika di atas panggung maupun di belakang panggung. Tetapi saya tidak menyebutnya sebagai demam panggung. Debar, tegang, dan geletar tubuh di atas pentas, saya maknai sebagai gairah panggung yang tengah menggelora dan berkecamuk di tubuh aktor. Tanpa gejolak itu, pertunjukan justru terasa hampa. Tidak ereksi apalagi orgasme.
Saya memiliki penggambaran seperti ini. Tercetus ketika saya menemani adik-adik teater saya di belakang panggung, menunggu pertunjukan dimulai. Itu adalah malam pertama mereka berpentas. Kepada mereka yang pucat pasi, ketika tahu penonton telah memadati kursi, saya berikan analogi; situasi mencium kekasih yang sangat kau cintai untuk kali pertama.
"Lumrah saja jika dadamu berdebar, ketika kau dan si kekasih bertatapan. Lalu guncangan di dada itu semakin menghebat tatkala wajah kalian saling mendekat. Bibir kalian pun sampai tergetar, tubuh menegang, dst."
Jadi, kataku pada mereka yang mengeluh karena ketegangan backstage itu, yang kalian rasakan adalah wajar. Tak usah berusah menghilangkannya. Sia-sia dan justru menghabiskan energi dan merusak konsentrasi. Lagipula nikmatnya bercinta itu di situ, kalau tidak nikmat, namanya bukan bercinta. Dan kekasih kalian di ranjang pertunjukan adalah mereka para penonton yang sudah bersusah-susah datang dan membeli tiket itu.
"Kalau bolak-balik kebelet kencing?"Â
Salah satu bertanya. Ya sama, orgasme itu hampir-hampir rasanya seperti ingin kencing, jawabku. Beberapa yang mengerti tertawa. Sedang si penanya justru bengong.
Saya tak tahu, apakah penjelasan di atas dapat terterima oleh mereka atau pembaca tulisan ini. Karena pengertian tersebut berdasarkan pengalaman saya pribadi. Tentu saja, besar mungkin berbeda dengan kesimpulan pelaku panggung lainnya.
Jalan Pemaknaan, Tidak Menyembuhkan Tetapi Mendamaikan.
Mengubah perspektif dalam memaknai situasi demam panggung adalah cara menangani satu perkara psikologis tampil di hadapan publik, agar tidak menjadi masalah baru. Karena justru sia-sia bila kita melawan gelora perasaan tersebut. Misal, saya sendiri pernah mengalami. Ketika kaki saya bergetar karena grogi, saat saya coba untuk menghentikan gigilan lutut tersebut dengan jalan menegangkan kaki, getarannya justru menghebat. Akibatnya, yang menggigil tak lagi cuma kaki, tapi seluruh tubuh saya!
Dari situlah, saya menarik kesimpulan bahwa ketika gejala---yang biasa disebut---demam panggung menyerang, hal terbaik yang bisa dilakukan adalah bukan dengan melawannya, tetapi dengan menganggapnya bukan sebagai masalah. Biarkan saja, nanti juga bakal reda ketika konsentrasi kita kembali terpusat pada peran atau tugas kita di atas panggung.
Tentu saja di dalam metode keaktoran ada banyak latihan dan pemahaman untuk mempersiapkan kesiapan kejiwaan untuk menghadapi gejolak-gejolak psikologis semacam itu. Dan mungkin psikiater atau psikolog juga memiliki berbagai caranya. Tetapi jika misal, besok atau lusa, atau sebentar lagi kalian musti tampil di hadapan orang banyak, dan merasa demam, saya kira kesimpulan dan pemahaman teater saya ini bisa kau jajal.
"Bahwa demam panggung adalah sebuah perkara wajar dan bukan merupakan masalah. Justru bakal menjadi masalah yang berlarut ketika menganggapnya sebagai masalah yang harus dienyahkan. Guncangan itu justru akan bergejolak ketika kita melawannya. Sebaliknya jika kita anggap sebagai gairah yang lumrah, derasnya aliran darah yang terpompa oleh pacuan jantung dapat menjadi energi besar untuk menunjang penampilan kita. Nikmatilah, dan kelak kau akan merindukan situasi dan perasaan tersebut."
Sukoharjo, 27 Januari 2021
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H