Mohon tunggu...
Mashuri Mashar
Mashuri Mashar Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Desa Sogitia yang Terbelah

4 November 2015   13:50 Diperbarui: 4 November 2015   14:04 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menjadi bagian dari masyarakat desa merupakan pengalaman yang tidak pernah terlupakan. Karena di desalah kita belajar tentang makna hidup yang sesungguhnya. Jika Kota menawarkan impian, maka desa menawarkan kenyataan dengan segala bentuk kesederhanaannya. Dalam masyarakat desa kelas sosialpun yang tersusun begitu sederhana.

 Seperti dalam pengkategorian menurut Weber, ada tiga tipe kepemimpinan. Tipe pemimpin kharismatik, Tipe kepemimpinan tradisional, Tipe pemimpin rasional-legal. Untuk konteks Provinsi Gorontalo pada umumnya, ketiga tipe pemimpin menurut Weber juga berada dengan segala bentuk penyesuaian. Secara sederhana tipe kepemimpinan dalam masyarakat desa terbagi atas dua kategori berdasarkan asal jenis kelembagaannya. Kategori pertama ialah pemimpin yang berasal dari lembaga formal seperti Kepala Desa yang mewakili pemerintahan negara, dan kategori kedua ialah pemimpin dari lembaga informal seperti Imam Kampung (Tokoh Agama)dan Pemimpin Adat (Tokoh Adat).

            Hubungan antara masing-masing tipe pemimpin di tengah masyarakat juga terkadang tidak harmonis jika kata bertentangan sangat kasar untuk diungkapkan. Hal ini disebabkan oleh banyak faktor, diantaranya ialah perbedaan nilai/orientasi yang ditingkahi ego masing-masing orang yang menduduki posisi tersebut.  Hal ini berangkat dari hal ihwal untuk menduduki posisi tersebut.

Untuk menjadi seorang Kepala Desa,seseorang harus memperoleh suara mayoritas dari penduduk desa tersebut yang kemudian disahkan melalui Surat Keputusan dari Bupati atau Walikota, sehingga seorang Kepala Desa (Untuk daerah Provinsi Gorontalo Kepala Desa dikenal dengan nama Ayahanda) dan perangkat turunannya (Aparat Desa, Ketua PKK, dll) merasa merupakan perwakilan dari masyarakat dan negara.  

Sedangkan untuk menjadi seorang pemimpin adat hanya diperlukan garis darah dari keluarga yang pertama kali menempati suatu daerah dan memiliki pengetahuan lebih tentang adat istiadat yang masih murni sifatnya, dan atau bisa juga keluarga tersebut merupakan utusan dari Kerajaan Adat untuk menempati daerah tertentu sehingga merasa merupakan perwakilan dari masyarakat terdahulu.

Dan untuk menjadi seorang pemimpin agama kriterianya sedikit lebih ringan karena mereka yang ditunjuk secara informal sebagai Imam Kampung ialah mereka yang memiliki pengetahuan lebih terhadap agama mayoritas di suatu wilayah dan kebanyakan dari mereka sudah berusia lanjut. 

            Salah satu bentuk ketidakharmonisan antara masing-masing tipe pemimpin di desa/kampung biasanya ketika saat pengambilan keputusan di tingkat desa/kampung. Momentum ini biasanya ketika MUSREMBANGDES. Ketika Ayahanda sebagai perwakilan Negara merasa bahwa setiap program yang tertuang dalam hasil-hasil MUSREMBANGDES wajib sejalan dengan kriteria yang terlebih dahulu sudah ditetapkan Negara melalui Rencana Kerja di masing-masing SKPD.

Sedangkan bagi Tokoh Adat, segala hal yang menjadi pokok bahasan  dalam MUSREMBANG sejatinya tidak bertentangan dengan nilai-nilai keharmonisan antara masyarakat ,alam semesta dan Tuhan (dan ini biasanya tertuang dalam aturan adat). Hal yang hampir serupa juga diharapkan oleh Tokoh Agama. Sehingga tidak jarang antara Tokoh Adat dan Tokoh Agama memiliki kesepahaman yang tidak disengaja.

Dua Kutub di Sogitia

            Salah satu hal berkesan bagi penulis ialah ketika menjadi bagian dari Desa Sogitia. Desa  yang berpenduduk 1180 Jiwa (BPS Tahun 2012) dan terletak 3 KM dari ibukota Provinsi Gorontalo, merupakan salah desa di wilayah kecamatan Bone, Kabupaten Bone Bolango, Provinsi Gorontalo. Secara administrasi Desa Sogitia berbatasan dengan Teluk Tomini disebelah selatan, Kabupaten Bolaang Mongondow Selatan di sebalah Utara, Desa Molamahu di sebelah timur dan Desa Cendana Putih di sebelah barat.

Untuk tiba di desa yang terletak di pesisir pantai Teluk Tomini memerlukan waktu 2 (dua) Jam setelah melewati  2 (dua) Obyek wisata yaitu: wisata pantai Botutonuo dan wisata laut Ulele . Karena terletak di pesisir pantai dan sebagian wilayahnya juga berada di dataran tinggi sehingga mata pencaharian penduduknya adalah nelayan dan berkebun cengkeh, selain kelapa tentunya yang menjadi ciri khas masyarakat pesisir pantai.

            Sebagai sebuah wilayah, Desa Sogitia juga memiliki sejarah. Pertama kali wilayah ini ditempati manusia pada tahun 1985 (Dokumen PDRRRA tahun 2014). Dua desa yang berbatasan di sebelah Barat dan Timur dengan Desa Sogitia awalnya merupakan bagian dari Desa. Pemekaran itu terjadi di tahun 2006 dan Tahun 2009.

Dari segi mata pencaharian, masyarakat Desa Sogitia terdiri dari : PNS, Penambang batu dan pasir, Petani, Penampung Hasil Bumi, Nelayan, Pengrajin Meuble (Tukang Kayu), Penambang Emas, Sopir, dan Pembuat Batu Bata. Sepanjang Tahun desa juga mengalami bermacam musim, mulai dari musim tanam cengkeh, hingga musim melaut.

            Salah satu dampak pemekaran suatu desa ialah meningkatnya kebutuhan akan penanggung jawab wilayah tersebut dalam hal ini Kepala Desa. Hal yang serupa juga terjadi di Kecamatan Bone setelah memekarkan Desa Sogitia. Sehingga Kepala Desa Sogitia terdahulu kemudian terpilih untuk memimpin Desa Cendana Putih. Sehingga memaksa masyarakat Desa Sogitia untuk melakukan PILKADES. Dalam momentum itu ada 3 (tiga) kandidat yang memperebutkan posisi Ayahanda di Desa Sogitia. Kemudian terpilihlah seorang yang terbaik setidaknya menurut masyarakat Desa Sogitia untuk menjadi Ayahanda.

            Pada tahun 2011 terjadi bencana banjir bandang yang merupakan luapan dari sungai yang membelah Desa Sogitia. Banjir ini sendiri tergolong yang terparah mengingat cakupan korban secara kuantitas terdiri dari 13 rumah warga hancur, 1 gedung TK sogitia , 1 gedung SMP 1 Atap, 1 jembatan putus, dan kerusakan lahan pertanian warga  sekitar  22 HaUntuk kategori bencana yang pernah menimpa desa ini yang tergolong paling berat. Karena berdasarkan pengakuan masyarakat Desa Sogitia, pertama kali mengalami bencana di tahun 1991 yaitu Gempa Bumi.

            Berdasarkan hasil diskusi yang mendalam bersama masyarakat ditemukan ada 2 (penyebab) dari bencana yang terjadi di Desa Sogitia. Penyebab pertama karena mata pencaharian masyarakat di desa yang berhubungan dengan pengolahan Kayu dan penambangan pasir dan batu secara tradisional. Penyebab kedua adalah keberadaan dari pabrik pemecah batu yang berada di Desa Sogitia yang bergerak untuk skala besar. Pemilik pabrik ini sendiri merupakan salah satu pejabat penting di Provinsi Gorontalo. Ini yang menjadi cikal bakal ketidakharmonisan antara Ayahanda dan Tokoh adat/Agama.

            Persoalan bermula dari dialog yang terbangun antara pengelolah perusahaan bersama masyarakat desa yang membuahkan beberapa poin kesepakatan diantaranya:

  • Pihak pabrik berkewajiban untuk melakukan normalisasi sungai yang selama ini menjadi tempat pembuangan material padat sisa pengolahan pabrik.
  • Pihak pabrik berkewajiban untuk memperbaiki jalanan yang selama ini menjadi rusak akibat lalulalang mobil-mobil besar (truk).
  • Masyarakat berkewajiban menjaga kelestarian alam dengan menanam pohon di sepanjang sungai.

Dari beberapa poin yang termaktub dalam kesepakatan itu, pihak pabrik tidak melaksanakan yang menjadi kewajiban mereka. Beberapa kali perwakilan masyarakat mengajukan protes kepada pabrik yang kemudian berusaha diredam oleh Ayahanda. Sehingga puncaknya pada semakin memanasnya hubungan antara Ayahanda dan Tokoh Adat/Agama yang sebenarnya masih ada ikatan keluarga dekat.

Tokoh adat/Agama berpendapat sudah seyogyanya pabrik memberikan perhatian lebih terhadap masyarakat Desa Sogitia mengingat di beberapa kondisi justru masyarakatlah yang menjadi korban langsung dari segala aktivitas sejak berdirinya pabrik tersebut, seperti mulai kejadian pendangkalan sungai yang berujung pada banjir bandang, kemudian kebisingan akibat aktifitas pabrik yang hanya berlangsung pada malam hari

Selain itu juga bentuk polusi udara akibat pengolahan pemecahan batu yang dilakukan oleh pabrik. Di satu sisi bagi Ayahanda dan aparatnya,  bentuk protes tersebut merupakan bentuk lain dari upaya menghalangi pembangunan. Hal ini kemudian yang akhirnya memunculkan penafsiran bahwa Ayahanda dan aparatnya sudah menjadi “bagian” dari pabrik.

Dalam kondisi tersebut kemudian menjadikan masyarakat mengalami kebingungan  sehubungan dengan disharmonisasi hubungan personal antara Ayahanda dan Tokoh adat. Mengingat dalam momentum PILKADES Sogitia kemarin keberpihakan tokoh adat pada salah satu kandidat yang kemudian terpilih menjadi Ayahanda begitu terlihat. Kebingungan masyarakat Desa Sogita akan sikap Tokoh Adat terhadap Ayahanda dan begitupun sebaliknya menjadikan masyarakat kemudian memilih cenderung diam dan melihat penyelesaian masalah keberadaan pabrik lebih moderat. Sehingga secara tidak langsung dengan kecendrungan diamnya masyarakat kemudian menjadikan tidak selesainya permasalahan sebenarnya. 

Pembangunan sebagai sebuah kata yang popular sejak zaman Orde Baru hingga saat ini masih menjadi sebuah bentuk kata yang memiliki kekuatan hipnotis. Sehingga segala bentuk aktifitas para pengelola Negara selalu dikonotasikan dengan kata Pembangunan itu sendiri. Persoalannya ialah sebegitu netralkah kata tersebut sehingga memberi kekuatan lebih pada para penggunanya ketika disaat bersamaan justru bertentangan dengan keinginan masyarakat kebanyakan.

Sedangkan ketika dilihat secara lebih mendalam pembangunan adalah segala bentuk kegiatan yang dilakukan dan bertujuan untuk melakukan perubahan social menuju ke arah yang lebih baik. Di sini kemudian yang menjadi permasalahannya untuk konteks keberadaan Pabrik di Desa Sogitia.

            Keberadaan Pabrik tersebut merupakan jawaban atas pemenuhan kebutuhan material padat berupa kerikil hingga pasir halus untuk kebutuhan proses pembuatan jalan hingga bangunan. Sehingga secara bersamaan dengan olahan yang cukup besar merupakan hal yang sangat signifikan untuk memperluas akses ekonomi dari masyarakat yang hubungannya dengan jalur transportasi.

Berangkat dari kondisi bahwa Provinsi Gorontalo masih merupakan Provinsi termuda di Indonesia, sehingga wajarjika dalam 14 tahun belakangan Pemerintah Provinsi masih berkonsentrasi pada peningkatan tingkat pendapatan masyarakat. Jalur transportasi yang menjadi salah satu faktor penentu dalam peningkatan di sektor ekonomi menjadi salah satu kegiatan yang mendapat prioritas. 

            Dengan Kondisi tersebut, pertanyaan yang layak muncul adalah apakah masyarakat Desa Sogitia pantas menjadi korban atas keberadaan Pabrik Tersebut. Disini lagi-lagi penulis melihat bahwa sudut pandang masyarakat desa sedemikian sederhana dalam melihat keberadaan pabrik. Karena ketika awal keberadaan pabrik, masyarakat tidak menunjukkan penolakan.

Pun yang terjadi belakangan merupakan bentuk reaksi dari kondisi desa mereka yang sudah mengalami perubahan tanpa mereka sadari. Untuk itupun mereka masih menunjukan sebuah itikad baik dalam melihat penyelesaian permasalah alam akibat keberadaan pabrik. Ketika dibeberapa lokasi lain jika hal yang sama menimpa masyarakat, minimal mereka menuntut untuk menutup, justru itu tidak dilakukan oleh masyarakat Sogitia.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun