Sebagai sebuah wilayah, Desa Sogitia juga memiliki sejarah. Pertama kali wilayah ini ditempati manusia pada tahun 1985 (Dokumen PDRRRA tahun 2014). Dua desa yang berbatasan di sebelah Barat dan Timur dengan Desa Sogitia awalnya merupakan bagian dari Desa. Pemekaran itu terjadi di tahun 2006 dan Tahun 2009.
Dari segi mata pencaharian, masyarakat Desa Sogitia terdiri dari : PNS, Penambang batu dan pasir, Petani, Penampung Hasil Bumi, Nelayan, Pengrajin Meuble (Tukang Kayu), Penambang Emas, Sopir, dan Pembuat Batu Bata. Sepanjang Tahun desa juga mengalami bermacam musim, mulai dari musim tanam cengkeh, hingga musim melaut.
Salah satu dampak pemekaran suatu desa ialah meningkatnya kebutuhan akan penanggung jawab wilayah tersebut dalam hal ini Kepala Desa. Hal yang serupa juga terjadi di Kecamatan Bone setelah memekarkan Desa Sogitia. Sehingga Kepala Desa Sogitia terdahulu kemudian terpilih untuk memimpin Desa Cendana Putih. Sehingga memaksa masyarakat Desa Sogitia untuk melakukan PILKADES. Dalam momentum itu ada 3 (tiga) kandidat yang memperebutkan posisi Ayahanda di Desa Sogitia. Kemudian terpilihlah seorang yang terbaik setidaknya menurut masyarakat Desa Sogitia untuk menjadi Ayahanda.
Pada tahun 2011 terjadi bencana banjir bandang yang merupakan luapan dari sungai yang membelah Desa Sogitia. Banjir ini sendiri tergolong yang terparah mengingat cakupan korban secara kuantitas terdiri dari 13 rumah warga hancur, 1 gedung TK sogitia , 1 gedung SMP 1 Atap, 1 jembatan putus, dan kerusakan lahan pertanian warga sekitar 22 HaUntuk kategori bencana yang pernah menimpa desa ini yang tergolong paling berat. Karena berdasarkan pengakuan masyarakat Desa Sogitia, pertama kali mengalami bencana di tahun 1991 yaitu Gempa Bumi.
Berdasarkan hasil diskusi yang mendalam bersama masyarakat ditemukan ada 2 (penyebab) dari bencana yang terjadi di Desa Sogitia. Penyebab pertama karena mata pencaharian masyarakat di desa yang berhubungan dengan pengolahan Kayu dan penambangan pasir dan batu secara tradisional. Penyebab kedua adalah keberadaan dari pabrik pemecah batu yang berada di Desa Sogitia yang bergerak untuk skala besar. Pemilik pabrik ini sendiri merupakan salah satu pejabat penting di Provinsi Gorontalo. Ini yang menjadi cikal bakal ketidakharmonisan antara Ayahanda dan Tokoh adat/Agama.
Persoalan bermula dari dialog yang terbangun antara pengelolah perusahaan bersama masyarakat desa yang membuahkan beberapa poin kesepakatan diantaranya:
- Pihak pabrik berkewajiban untuk melakukan normalisasi sungai yang selama ini menjadi tempat pembuangan material padat sisa pengolahan pabrik.
- Pihak pabrik berkewajiban untuk memperbaiki jalanan yang selama ini menjadi rusak akibat lalulalang mobil-mobil besar (truk).
- Masyarakat berkewajiban menjaga kelestarian alam dengan menanam pohon di sepanjang sungai.
Dari beberapa poin yang termaktub dalam kesepakatan itu, pihak pabrik tidak melaksanakan yang menjadi kewajiban mereka. Beberapa kali perwakilan masyarakat mengajukan protes kepada pabrik yang kemudian berusaha diredam oleh Ayahanda. Sehingga puncaknya pada semakin memanasnya hubungan antara Ayahanda dan Tokoh Adat/Agama yang sebenarnya masih ada ikatan keluarga dekat.
Tokoh adat/Agama berpendapat sudah seyogyanya pabrik memberikan perhatian lebih terhadap masyarakat Desa Sogitia mengingat di beberapa kondisi justru masyarakatlah yang menjadi korban langsung dari segala aktivitas sejak berdirinya pabrik tersebut, seperti mulai kejadian pendangkalan sungai yang berujung pada banjir bandang, kemudian kebisingan akibat aktifitas pabrik yang hanya berlangsung pada malam hari
Selain itu juga bentuk polusi udara akibat pengolahan pemecahan batu yang dilakukan oleh pabrik. Di satu sisi bagi Ayahanda dan aparatnya, bentuk protes tersebut merupakan bentuk lain dari upaya menghalangi pembangunan. Hal ini kemudian yang akhirnya memunculkan penafsiran bahwa Ayahanda dan aparatnya sudah menjadi “bagian” dari pabrik.
Dalam kondisi tersebut kemudian menjadikan masyarakat mengalami kebingungan sehubungan dengan disharmonisasi hubungan personal antara Ayahanda dan Tokoh adat. Mengingat dalam momentum PILKADES Sogitia kemarin keberpihakan tokoh adat pada salah satu kandidat yang kemudian terpilih menjadi Ayahanda begitu terlihat. Kebingungan masyarakat Desa Sogita akan sikap Tokoh Adat terhadap Ayahanda dan begitupun sebaliknya menjadikan masyarakat kemudian memilih cenderung diam dan melihat penyelesaian masalah keberadaan pabrik lebih moderat. Sehingga secara tidak langsung dengan kecendrungan diamnya masyarakat kemudian menjadikan tidak selesainya permasalahan sebenarnya.
Pembangunan sebagai sebuah kata yang popular sejak zaman Orde Baru hingga saat ini masih menjadi sebuah bentuk kata yang memiliki kekuatan hipnotis. Sehingga segala bentuk aktifitas para pengelola Negara selalu dikonotasikan dengan kata Pembangunan itu sendiri. Persoalannya ialah sebegitu netralkah kata tersebut sehingga memberi kekuatan lebih pada para penggunanya ketika disaat bersamaan justru bertentangan dengan keinginan masyarakat kebanyakan.