Mohon tunggu...
Mashen
Mashen Mohon Tunggu... Freelancer - Penulis

Pemimpi yang selalu berimajinasi dan berjiwa visioner

Selanjutnya

Tutup

Financial

Ketidakadilan dalam Sistem Perpajakan Di Indonesia

8 Januari 2025   22:20 Diperbarui: 8 Januari 2025   22:20 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Finansial. Sumber ilustrasi: PEXELS/Stevepb

Sistem perpajakan di Indonesia sering kali menjadi sorotan publik, terutama terkait aspek keadilan bagi wajib pajak. Beberapa permasalahan yang terjadi menunjukkan adanya ketimpangan kekuasaan antara pemerintah, wajib pajak, dan para pelaku profesi yang terlibat dalam perpajakan. Artikel ini akan membahas tiga isu utama: kewenangan peraturan yang dikuasai sepenuhnya oleh Kementerian Keuangan, posisi pengadilan pajak yang berada di bawah struktur kementerian, serta potensi konflik kepentingan dalam pengaturan profesi konsultan pajak.

1. Perubahan Peraturan Tanpa Konsultasi DPR

Kementerian Keuangan memiliki wewenang besar dalam menetapkan aturan teknis perpajakan, bahkan tanpa harus melalui proses konsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal ini diatur dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), yang telah beberapa kali diubah, terakhir melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Dalam aturan tersebut, Menteri Keuangan diberi kewenangan untuk mengeluarkan peraturan pelaksana yang bersifat teknis.

Kewenangan ini menciptakan fleksibilitas bagi pemerintah untuk menyesuaikan kebijakan sesuai kebutuhan, namun di sisi lain menimbulkan ketidakpastian hukum bagi wajib pajak. Bagi pelaku usaha, perubahan aturan yang terlalu sering dan tanpa pembahasan terbuka menyebabkan sulitnya perencanaan keuangan jangka panjang. Ketidakpastian ini tidak hanya mengganggu stabilitas bisnis, tetapi juga mengikis rasa percaya terhadap sistem perpajakan itu sendiri.

2. Independensi Pengadilan Pajak yang Dipertanyakan

Salah satu masalah mendasar dalam sistem perpajakan di Indonesia adalah pengadilan pajak yang berada di bawah naungan Kementerian Keuangan. Sebagai institusi yang mengatur pengumpulan pajak, kementerian memiliki kepentingan langsung dalam hasil persidangan sengketa pajak. Hal ini menimbulkan pertanyaan: bagaimana independensi hakim pengadilan pajak dapat terjamin jika mereka berada dalam struktur organisasi yang memiliki konflik kepentingan?

Ketergantungan struktur ini memunculkan persepsi bahwa wajib pajak tidak memiliki peluang yang adil untuk memenangkan sengketa, terutama jika berhadapan langsung dengan otoritas pajak. Untuk menciptakan keadilan, pengadilan pajak seharusnya dikelola secara independen di bawah kekuasaan yudikatif, sehingga keputusan yang diambil murni berdasarkan fakta hukum, bukan tekanan birokrasi.

3. Kewenangan atas Konsultan Pajak

Konsultan pajak berperan penting dalam membantu wajib pajak memahami dan memenuhi kewajiban mereka sesuai peraturan. Namun, kewenangan Kementerian Keuangan untuk mencabut izin konsultan pajak tanpa mekanisme yang jelas dapat menciptakan potensi konflik kepentingan. Konsultan pajak yang sering membela kepentingan wajib pajak dalam sengketa mungkin merasa terancam jika terlalu kritis terhadap kebijakan pemerintah.

Sistem seperti ini mengurangi rasa percaya masyarakat terhadap keadilan perpajakan, karena tampak bahwa pemerintah tidak hanya memegang kendali atas pengaturan dan pemungutan pajak, tetapi juga atas mereka yang mendampingi wajib pajak dalam sengketa.

Solusi untuk Mewujudkan Sistem Perpajakan yang Adil

Untuk mengatasi ketimpangan ini, diperlukan reformasi di beberapa aspek utama:

  1. Independensi Pengadilan Pajak:Pengadilan pajak sebaiknya berada di bawah kekuasaan Mahkamah Agung, bukan Kementerian Keuangan. Dengan demikian, hakim pajak dapat bekerja secara independen tanpa intervensi dari pihak yang memiliki kepentingan dalam pengumpulan pajak.

  2. Konsultasi dengan DPR:Perubahan kebijakan perpajakan, terutama yang berdampak besar pada masyarakat, harus melalui proses konsultasi dengan DPR. Hal ini akan memastikan transparansi dan meningkatkan legitimasi kebijakan yang dibuat.

  3. Mekanisme Pencabutan Izin yang Transparan:Proses pencabutan izin konsultan pajak perlu diatur dengan lebih jelas dan transparan. Keputusan tersebut harus berdasarkan evaluasi yang objektif, bukan karena adanya tekanan atau konflik kepentingan.

  4. Pendidikan dan Pendampingan Wajib Pajak:Pemerintah perlu meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai hak dan kewajiban perpajakan. Hal ini termasuk memberikan akses kepada wajib pajak untuk mengetahui mekanisme penyelesaian sengketa secara transparan.

Akhir kata  Keadilan dalam sistem perpajakan adalah salah satu pilar penting untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah. Dengan menciptakan regulasi yang transparan, pengadilan pajak yang independen, serta perlindungan bagi profesi konsultan pajak, diharapkan tercipta keseimbangan antara hak dan kewajiban baik bagi pemerintah maupun wajib pajak. Reformasi ini tidak hanya akan memperbaiki sistem, tetapi juga menguatkan hubungan antara pemerintah dan masyarakat dalam semangat gotong royong untuk memajukan bangsa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun