2. Pembentukan cabang-cabang BPRS Propinsi di setiap kabupaten/kota dalam wilayah rentang tanggung jawab di setiap propinsi dengan target selambat-lambatnya akhir tahun 2016 telah terbentuk BPRS Kabupaten di seluruh kabupaten dan kota di Indonesia.
3. Penguatan fungsi dan peran BPRS Propinsi dan cabang-cabang nya dengan membekali dengan kewenangan melakukan tindakan yang bersifat teguran atupun sanksi administratif dan BUKAN hanya sekedar memberi rekomendasi kepada dinas kesehatan propinsi ataupun dinas kesehatan kabupaten/kota. Diperlukan badan pengawas yang bersifat independen dan melibatkan masyarakat sebagai pengguna layanan rumah sakit dengan dibekali kewenangan untuk melakukan "eksekusi administrasi" terhadap rumah sakit.
4. Ketentuan terkait pelarangan pembatasan kuota jumlah tempat tidur di rumah sakit perlu dipertegas secara eksplisit dari sekedar "himbauan" pada tingkat peraturan menteri kesehatan, namun harus ditegaskan lagi dengan produk hukum yang lebih kuat seperti peraturan presiden (Perpres) ataupun setingkat intruksi presiden (Inpres).
5. Membangun sinergisitas yang lebih kuat antara BPRS dengan Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) dalam melakukan fungsi pengawasan kepada rumah sakit yang sudah berkerjasama dengan BPJS guna menjamin keberlangsungan pelayanan dan peningkatan mutu layanan rumah sakit.
6. Percepatan revisi tarif INA CBG dengan melibatkan setidaknya minimal 50% rumah sakit swasta, organisasi profesi dan sepeminatan, organisasi rumah sakit daerah (ARSADA), dan organisasi rumah sakit swasta (ARSSI). Proses perhitungan tarif didorong untuk dilakukan dengan berdasar pada real hospital cost dan bukan political cost.
Terimakasih,
Tri Muhammad Hani, dr. MARS
RSUD Bayu Asih Purwakarta
Jl. Veteran No. 39 Kabupaten Purwakarta - Jawa Barat
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H