BENDUNG BANYU
Air di salah satu kolam terlihat menyembur ke atas lebih dari tiga meter.
BHLAAR!
Sekali lagi, aku melihat di depan mataku sendiri ledakan air setinggi itu. Lalu perlahan terlihat seorang pemuda dari dalam air yang menggerakkan tangan dengan gerakan yang khas. Sebagian gerakan bisa aku ingat namun sebagiannya lagi tidak. Aku merasa beberapa gerakan yang dilakukan pemuda itu tidak asing bagi ingatanku.
Aih, benar saja. Aku jadi teringat dengan pelajaran yang dulu ayahku berikan.
Seluruh darahku terasa berdesir. Aku paham benar tenaga yang dipergunakan untuk membuat air menjadi tersembur setinggi itu mestilah tidak sedikit. Dulu ketika ayah melatihku di sungai akupun melihat ayah melakukan hal yang sama. Hanya saja semburan air yang disebabkan oleh tenaga ayah saat itu tidaklah setinggi yang kulihat saat ini. Aku jadi teringat ucapan ayah.
"Ayah hanya bisa melakukan sebatas ini. Keilmuan ini belum tuntas ayah pelajari dari sumber aslinya. Ada beberapa lembaran yang hilang. Ayah wariskan ini untukmu sambil ayah doakan agar kelak kamu bisa ketemu dengan pewaris yang memiliki keilmuan yang lebih lengkap dari yang ayah miliki.", ucap ayah saat itu sambil tersenyum. Peluhnya terlihat membanjiri wajah dan lehernya.
"Kisanak, kenapa melamun?", tanya Aji membuyarkan lamunanku.
"Eh, tidak apa-apa. Aku hanya teringat ayahku. Dulu aku pernah melihat ayah melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan oleh pemuda itu.", jawabku polos.
"Ayah Kisanak?", tanya Aji dengan penuh penasaran.
"Benar. Kalau aku tidak salah, apakah keilmuan yang dilakukan oleh pemuda itu bernama Bendung Banyu?", tanyaku memancing Aji.
Aku melihat wajah Aji menunjukkan keterkejutan.
"Dari mana Kisanak tahu ilmu itu?", ucap Aji dengan penuh selidik.
"Seperti kubilang tadi, ayahku yang memberitahu dan mengajariku. Namun yang dulu kulihat ketika ayah memperagakan di depanku tidaklah setinggi itu ledakan airnya. Hanya kurang lebih satu sampai satu setengah meter saja. Pemuda itu lebih hebat karena ledakan airnya hingga lebih dari tiga meter. Mestilah tenaganya besar sekali...", jawabku terus terang.
"Rupanya benar penilaian Guru, bahwa Kisanak memang harus menuju kebelakang pendopo. Dari Kidang Telangkat yang relatif sangat cepat Kisanak kuasai pada tingkat dasar, lalu pemahaman akan Bendung Banyu membuatku yakin kalau jalur keilmuan Kisanak memang terhubung dengan perguruan kami disini.", ucap Aji menjelaskan.
"Aji... Maaf jika ini terkesan kurang sopan, mohon jangan dianggap aku kurang ajar. Begini, aku ingin mencoba mengadu Bendung Banyu milikku dengan milik pemuda itu. Bolehkah?", tanyaku kepada Aji dengan bersungguh-sungguh.
Aku melihat kening Aji berkerut.
"Apakah Kisanak sungguh-sungguh?", tanyanya.
Aku mengangguk mantap. Sorot matakupun tidak menyiratkan keraguan.
"Baiklah. Aku tidak bisa menolak. Akan kuperkenalkan Kisanak dengan pemuda itu. Mari, silahkan...", jawab Aji sambil mempersilahkan aku berjalan lebih dulu.
Aku mengikuti arah tangan Aji. Lalu berjalan perlahan menuju kolam di dekat pemuda tersebut. Sementara Aji mengikuti dari belakangku. Kami kemudian berhenti didekat kolam berjarak kurang lebih dua meter.
"Darmo, Kisanak ini tamu kami. Beliau mengatakan kalau Bendung Banyu juga dikuasainya dan ingin mencobanya dengan Bendung Banyu milikmu yang sudah dilatih barusan. Apakah kau bersedia?", ucap Aji dengan lantang.
Pemuda yang bernama Darmo ini  kemudian tersenyum dan menggerakan tangan yang dimaknai "silahkan". Aku paham isyarat tangannya, ia memintaku untuk turun ke kolam. Dengan penuh semangat aku mengikuti ajakannya. Darahku berdesir lebih cepat, rasanya adrenalin ini sangat meningkat luar biasa.
Kakiku mulai menyentuh air kolam. Rambatan dinginnya menyusupi permukaan kulitku. Hanya sebentar saja karena berikutnya sudah berganti menjadi rasa hangat akibat adrenalin yang semakin cepat. Aku terus turun ke kolam hingga airnya setinggi lutut, lalu pahaku, lalu pinggangku, dan kemudian dadaku. Praktis saat ini hanya tinggal leher dan kepalaku saja yang tidak terendam air. Demikian juga dengan pemuda di depanku.
"Namaku Darmo, aku murid perguruan ini. Aji adalah kakak seperguruanku, ia kakak tertua dari semua yang ada disini. Guru kami mengangkatnya menjadi wakil perguruan. Ia mewarisi banyak keilmuan Guru. Apapun perintahnya, aku tidak akan menolak.", ucap pemuda bernama Darmo itu kepadaku dengan sopan.
"Mohon maaf apabila Bendung Banyuku tidak sebagus milik Kisanak. Aku sedang belajar. Mari bersiap-siap...", lanjut pemuda itu.
"Jangan merendah. Dengan melihat sekilas saja aku bisa mengukur besarnya tenaga milikmu Darmo. Kalau bicara tenaga, rasanya tenagaku tidak kalah denganmu. Namun kalau bicara tingkatan keilmuan Bendung Banyu rasanya aku tertinggal darimu. Aku ingin tahu sampai dimana batas keilmuan ini kukuasai. Mohon jangan setengah hati...", jawabku dengan mantap.
"Baiklah Kisanak, aku mengerti. Aku tidak akan sungkan...", ucap Darmo serius.
Aku melihatnya mundur dua langkah.
"Bersiaplah Kisanak, aku akan mengerahkan Bendung Banyu terbaikku...", lanjut Darmo.
Sekejap setelah ia mengucapkan itu, aku melihat air disekitarnya mulai bereaksi. Aku paham, Darmo sudah mulai mengerahkan tenaga untuk melepas Bendung Banyu. Tidak menunggu lama, akupun melakukan hal yang sama. Riak-riak air mulai bereaksi di sekitarku. Sambil mengerahkan tenagaku, kuperhatikan juga perbedaan riak-riak air yang terjadi diantara kita. Jujur saja, Bendung Banyuku dipastikan tidak murni. Aku hanya menguasai tahap dasar. Aku meningkatkan menjadi tahap lanjutan dengan pemahamanku sendiri, bukan dengan bagaimana keilmuan ini mengajari. Sebab transmisi keilmuannya terputus. Lembaran yang kudapat dari ayah hanya sampai tingkat dasar. Meski demikian, dengan kecerdasan ayah, aku diberikan pemahaman bagaimana menembusi tahap selanjutnya. Mungkin tidak akan persis sama dengan keilmuan aslinya. Akan tetapi bagi yang tidak mengerti, akan terlihat sama pada satu titik. Bagi yang jeli, akan jelas perbedaannya.
Riak-riak air disekitar Darmo sudah mulai bereaksi lebih banyak, tangannyapun sudah mulai mengambil posisi gerak pembuka lontaran Bendung Banyu. Akupun melakukan gerakan yang sama. Sudah tidak ada lagi yang kupikirkan saat ini selain dari melontarkan Bendung Banyu.
BHLAAAR!
Secara hampir bersamaan kami saling melontar Bendung Banyu dengan cara mendorong kedua telapak tangan dari bawah ke atas menuju lawan. Ledakan air yang dihasilkan dari Bendung Banyu milik Darmo mulai menindihku. Bendung Banyu kami mulai bertabrakan. Pada serangan pertama ini aku hanya bisa bertahan. Tiba-tiba Darmo meningkatkan tenaganya, ia merangsek dengan serangan kedua. Akupun terpaksa menangkisnya. Perlahan kakiku bergeser mundur. Air yang semula dingin ini mulai berubah rasa, mulai menyakiti permukaan kulitku dan otot-ototku. Rasanya seperti disayat-sayat dengan tekanan tinggi. Kutingkatkan tenagaku hingga hampir dua kali lipat untuk melawan serangan Darmo. Posisiku kembali kokoh. Bendung Banyu serangan kedua dari Darmo bisa kuhentikan. Darmo terlihat agak terkejut, namun ia cepat menguasai diri dan mulai menyerang kembali dengan serangan ketiga. Aku bersiap menyambutnya.
BHLAAAR!
"Aaakkh...!", jeritku tertahan.
Ledakan Bendung Banyu milik Darmo benar-benar besar sekali dan tidak bisa kutahan. Rasanya seperti dihantam oleh air terjun didepan tubuhku. Aku terdorong tidak hanya satu langkah, melainkan terdorong penuh hingga punggungku menabrak dinding kolam dan menyebabkan rasa sakit yang luar biasa. Aku hanya bisa bertahan menutupi wajahku.
"Saat kau terdesak, lakukan Bendung Banyu modifikasi seperti yang ayah ajarkan. Ini akan bisa menyelamatkanmu untuk sementara. Kecuali jika lawanmu menguasai hingga tahap akhir, maka kau pasti kalah. Namun jika tidak, maka ini akan cukup membuatnya sangat terkejut.", tiba-tiba aku terngiang ucapan ayah.
Sekejap aku mengkokohkan kedua kakiku, kukerahkan tenaga berputar dari bawah pusar. Kusalurkan ke lengan kanan, lalu kuputar hingga membentuk gerakan menengadah sambil kusatukan tenagaku dengan rasa air. Sementara lengan kiriku segera kutarik di samping pinggang dan segera melakukan hal yang sama. Kini kedua telapak tanganku memutar sedikit dengan posisi telapak tangan berada didepan wajah. Riak-riak air disekitarku mulai bereaksi dan membentuk pusaran. Efeknya sangat berbeda dengan Bendung Banyu milik Darmo. Sekejap kulontarkan dengan mendorong kedepan. Air yang sebelumnya hanya terlihat mendorong dan melaju lurus kini terlihat berputar, langsung melibas serangan yang diberikan oleh Darmo. Sekejap saja tenaga dorong dari Darmo menghilang musnah. Dulu aku sangat kesulitan untuk membentuk gerakan air sesuai keinginanku. Diperlukan latihan tambahan dari ayah agar niat dan imajinasiku serta tenagaku bisa menyatu dan melebur bersama unsur air. Dengan latihan keras, akhirnya aku memahami bagaimana caranya niat dan imajinasi ini dapat melebur dan menyatu bersama unsur alam.
Aku melihat raut wajah Darmo yang tersenyum ramah. Ia langsung menarik kembali Bendung Banyu miliknya. Melihatnya menghentikan serangan, akupun melakukan hal yang sama.
"Kisanak hebat! Bisa menahan Bendung Banyu milikku...", ucap Darmo dengan tulus.
"Tidak... Aku hampir kalah tadi. Tekanan seranganmu hampir-hampir tidak bisa kutahan. Aku tidak bisa membalas, hanya bisa bertahan saja.", jawabku terus terang.
"Bendung Banyu milik Kisanak yang terakhir itu nampak sangat berbeda dengan yang kupelajari disini. Baik dari sisi pengerahan tenaga maupun efek yang ditimbulkannya. Ini sangat mengejutkanku. Kisanak sangat berbakat!", ucap Darmo.
"Jangan memuji. Bendung Banyu milikku tidak ada apa-apanya dibandingkan denganmu. Aku hanya sedikit memodifikasi berdasarkan ajaran ayahku. Sebab ayahku saat itu hanya mendapatkan lembaran awal. Lalu dengan kecerdasan ayah, dimodifikasilah sedikit dengan batasan bahwa kalau aku ketemu dengan mereka yang menguasai Bendung Banyu tingkat lanjut maka aku pasti akan kalah. Modifikasi ini hanya bisa membuat imbang saja, bertahan dan tidak kalah.", jawabku apa adanya. Memang seperti itulah yang dulu kupelajari dari ayah.
Aku melihat Darmo menengok ke arah Aji, lalu tersenyum. Aji kemudian mengangguk. Entah apa maksudnya Aji dan Darmo melakukan itu. Sepertinya ada kesepahaman diantara mereka berdua.
"Kisanak, bolehkah kuminta satu permintaan...", tanya Darmo kepadaku.
"Silahkan. Semoga aku bisa menyanggupinya...", jawabku singkat.
"Aku ingin Kisanak melepaskan Bendung Banyu yang terakhir tadi dengan tenaga penuh. Dengan segenap pemahaman yang Kisanak miliki kearah sana. Akupun akan melontarkan Bendung Banyu milikku pada tingkat tertinggi yang kukuasai saat ini ke arah yang sama dengan arah Kisanak. Nanti kakak seperguruanku akan menyiapkan sebuah dua gentong besar disana. Gentong itulah yang akan menjadi sasaran masing-masing dari kita.", ucap Darmo.
"Baiklah... Aku bersedia... Mari...", jawabku.
Aku langsung memutar sedikit tubuhku pada arah yang ditunjuk oleh Darmo. Iapun melakukan hal yang sama. Sementara kulihat Aji sudah menyiapkan dua gentong besar berjarak satu meter dari pinggir kolam
"Aku akan menghitung sampai tiga, lalu Kisanak dan Darmo saling melontar ke arah gentong besar ini.", ucap Aji dengan lantang.
Aku dan Darmo mengangguk setuju.
Aku mulai mengerahkan tenaga pembuka Bendung Banyu, demikian juga dengan Darmo. Riak-riak air mulai bereaksi disekeliling kami.
"Satu... Dua... Tiga...", teriak Aji dengan keras.
"Bendung Banyu..!!!"
Teriakku bersamaan dengan teriakan Darmo.
BHLAAAAR!!!
Dua ledakan air terjadi dari tempatku dan tempat Darmo.
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H