"Jangan memuji. Bendung Banyu milikku tidak ada apa-apanya dibandingkan denganmu. Aku hanya sedikit memodifikasi berdasarkan ajaran ayahku. Sebab ayahku saat itu hanya mendapatkan lembaran awal. Lalu dengan kecerdasan ayah, dimodifikasilah sedikit dengan batasan bahwa kalau aku ketemu dengan mereka yang menguasai Bendung Banyu tingkat lanjut maka aku pasti akan kalah. Modifikasi ini hanya bisa membuat imbang saja, bertahan dan tidak kalah.", jawabku apa adanya. Memang seperti itulah yang dulu kupelajari dari ayah.
Aku melihat Darmo menengok ke arah Aji, lalu tersenyum. Aji kemudian mengangguk. Entah apa maksudnya Aji dan Darmo melakukan itu. Sepertinya ada kesepahaman diantara mereka berdua.
"Kisanak, bolehkah kuminta satu permintaan...", tanya Darmo kepadaku.
"Silahkan. Semoga aku bisa menyanggupinya...", jawabku singkat.
"Aku ingin Kisanak melepaskan Bendung Banyu yang terakhir tadi dengan tenaga penuh. Dengan segenap pemahaman yang Kisanak miliki kearah sana. Akupun akan melontarkan Bendung Banyu milikku pada tingkat tertinggi yang kukuasai saat ini ke arah yang sama dengan arah Kisanak. Nanti kakak seperguruanku akan menyiapkan sebuah dua gentong besar disana. Gentong itulah yang akan menjadi sasaran masing-masing dari kita.", ucap Darmo.
"Baiklah... Aku bersedia... Mari...", jawabku.
Aku langsung memutar sedikit tubuhku pada arah yang ditunjuk oleh Darmo. Iapun melakukan hal yang sama. Sementara kulihat Aji sudah menyiapkan dua gentong besar berjarak satu meter dari pinggir kolam
"Aku akan menghitung sampai tiga, lalu Kisanak dan Darmo saling melontar ke arah gentong besar ini.", ucap Aji dengan lantang.
Aku dan Darmo mengangguk setuju.
Aku mulai mengerahkan tenaga pembuka Bendung Banyu, demikian juga dengan Darmo. Riak-riak air mulai bereaksi disekeliling kami.
"Satu... Dua... Tiga...", teriak Aji dengan keras.