Mohon tunggu...
Mas Gunggung
Mas Gunggung Mohon Tunggu... Penulis -

Selamat menikmati cerita silat "Tembang Tanpa Syair". Semoga bermanfaat dan menjadi kebaikan bersama.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Tembang Tanpa Syair - Jagad Tangguh - Bagian 22

17 Maret 2017   20:57 Diperbarui: 18 Maret 2017   06:00 718
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

"Darmo, Kisanak ini tamu kami. Beliau mengatakan kalau Bendung Banyu juga dikuasainya dan ingin mencobanya dengan Bendung Banyu milikmu yang sudah dilatih barusan. Apakah kau bersedia?", ucap Aji dengan lantang.

Pemuda yang bernama Darmo ini  kemudian tersenyum dan menggerakan tangan yang dimaknai "silahkan". Aku paham isyarat tangannya, ia memintaku untuk turun ke kolam. Dengan penuh semangat aku mengikuti ajakannya. Darahku berdesir lebih cepat, rasanya adrenalin ini sangat meningkat luar biasa.

Kakiku mulai menyentuh air kolam. Rambatan dinginnya menyusupi permukaan kulitku. Hanya sebentar saja karena berikutnya sudah berganti menjadi rasa hangat akibat adrenalin yang semakin cepat. Aku terus turun ke kolam hingga airnya setinggi lutut, lalu pahaku, lalu pinggangku, dan kemudian dadaku. Praktis saat ini hanya tinggal leher dan kepalaku saja yang tidak terendam air. Demikian juga dengan pemuda di depanku.

"Namaku Darmo, aku murid perguruan ini. Aji adalah kakak seperguruanku, ia kakak tertua dari semua yang ada disini. Guru kami mengangkatnya menjadi wakil perguruan. Ia mewarisi banyak keilmuan Guru. Apapun perintahnya, aku tidak akan menolak.", ucap pemuda bernama Darmo itu kepadaku dengan sopan.

"Mohon maaf apabila Bendung Banyuku tidak sebagus milik Kisanak. Aku sedang belajar. Mari bersiap-siap...", lanjut pemuda itu.

"Jangan merendah. Dengan melihat sekilas saja aku bisa mengukur besarnya tenaga milikmu Darmo. Kalau bicara tenaga, rasanya tenagaku tidak kalah denganmu. Namun kalau bicara tingkatan keilmuan Bendung Banyu rasanya aku tertinggal darimu. Aku ingin tahu sampai dimana batas keilmuan ini kukuasai. Mohon jangan setengah hati...", jawabku dengan mantap.

"Baiklah Kisanak, aku mengerti. Aku tidak akan sungkan...", ucap Darmo serius.

Aku melihatnya mundur dua langkah.

"Bersiaplah Kisanak, aku akan mengerahkan Bendung Banyu terbaikku...", lanjut Darmo.

Sekejap setelah ia mengucapkan itu, aku melihat air disekitarnya mulai bereaksi. Aku paham, Darmo sudah mulai mengerahkan tenaga untuk melepas Bendung Banyu. Tidak menunggu lama, akupun melakukan hal yang sama. Riak-riak air mulai bereaksi di sekitarku. Sambil mengerahkan tenagaku, kuperhatikan juga perbedaan riak-riak air yang terjadi diantara kita. Jujur saja, Bendung Banyuku dipastikan tidak murni. Aku hanya menguasai tahap dasar. Aku meningkatkan menjadi tahap lanjutan dengan pemahamanku sendiri, bukan dengan bagaimana keilmuan ini mengajari. Sebab transmisi keilmuannya terputus. Lembaran yang kudapat dari ayah hanya sampai tingkat dasar. Meski demikian, dengan kecerdasan ayah, aku diberikan pemahaman bagaimana menembusi tahap selanjutnya. Mungkin tidak akan persis sama dengan keilmuan aslinya. Akan tetapi bagi yang tidak mengerti, akan terlihat sama pada satu titik. Bagi yang jeli, akan jelas perbedaannya.

Riak-riak air disekitar Darmo sudah mulai bereaksi lebih banyak, tangannyapun sudah mulai mengambil posisi gerak pembuka lontaran Bendung Banyu. Akupun melakukan gerakan yang sama. Sudah tidak ada lagi yang kupikirkan saat ini selain dari melontarkan Bendung Banyu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun