Mohon tunggu...
Mas Gunggung
Mas Gunggung Mohon Tunggu... Penulis -

Selamat menikmati cerita silat "Tembang Tanpa Syair". Semoga bermanfaat dan menjadi kebaikan bersama.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Tembang Tanpa Syair - Jagad Tangguh - Bagian 5

14 Juli 2016   13:36 Diperbarui: 14 Juli 2016   13:40 368
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Novel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Fotografierende

PERJALANAN MELINTASI WAKTU

Suasana pinggir sungai ini memang sangat damai. Aku masih duduk diatas batu pipih yang cukup besar sementara ayah masih berdiri memandang sungai yang ada di depannya. Perlahan kulihat ayah membuka bajunya hingga terlihatlah punggungnya.

Aku terkejut. Punggung ayah, lengan kiri ayah, terlihat cukup banyak bekas luka. Ayah kemudian meremas baju dengan cara dilinding hingga menjadi seperti tongkat panjang. Ya, baju tersebut kini seperti sebuah tongkat panjang. Kemudian ayah menancapkannya ke tanah didekat sungai. Menancapkannya! Persis seperti tongkat yang ditancapkan ke tanah. Pandangan mataku terbelalak tak percaya. Itu adalah baju yang ayah pakai, lalu ditekuk sedemikian rupa, dilinting hingga seperti tongkat dan kemudian ditancapkan ke tanah dengan bentuk yang tidak berubah.

"Ayah! itu bajunya...", teriakku dengan sangat terkejut.

Aku melihat ayah membalikkan badan. Kini terlihatlah bagian dada ayah yang lagi-lagi terdapat bekas luka dibeberapa tempat. Aku merinding. Entah sekeras apa latihan atau perjalanan hidup yang ayah lakukan selama ini hingga menghasilkan banyak bekas luka seperti itu. Ayah kemudian berjalan ke arahku. Ia naik keatas batu tempatku duduk, lalu ikut duduk disampingku.

"Aa kenapa tadi teriak?", tanya ayah sambil tersenyum.

"Itu yah, bekas luka-luka ayah banyak sekali. Aa merinding melihatnya...", jawabku perlahan.

"Oh ini. Bekas luka ini adalah kenang-kenangan dari perjalanan hidup ayah di masa lalu...", ucap ayah sambil tersenyum.

"Ketahuilah, bahwa setiap dari manusia akan diberikan takdir perjalanan hidupnya masing-masing. Ada yang takdirnya berjalan di jalan yang lembut, namun ada juga yang takdirnya berjalan di jalan yang keras. Hidup adalah pilihan. Meski hidup adalah pilihan, ada yang bahkan memilih untuk tidak memilih. Membiarkan berjalan apa adanya bagaimana takdir itu bekerja.", lanjut ayah.

"Maksudnya gimana yah?", tanyaku penasaran.

"Misalnya begini. Apabila ada seseorang yang menderita sakit maka umumnya orang itu ingin sembuh. Untuk mencapai kesembuhannya, ia dihadapkan pada pilihan. Yakni ia berusaha sekuat tenaga untuk mencari kesembuhan itu. Ia berobat kesana kemari. Ia berusaha mencari jalan kesembuhan melalui tangan-tangan tenaga kesehatan profesional seperti dokter, atau mungkin terapis tradisional, dan lain sebagainya. Ia habiskan waktu, biaya, dan tenaga untuk mencari jalan kesembuhan tersebut. Namun ada juga orang-orang yang ketika sakit maka ia berdiam diri saja. Memasrahkan kesembuhannya kepada Tuhan tanpa mau berusaha. Ia merasa kalau sakit adalah takdirnya, maka kalau takdirnya menghendaki ia sembuh maka ia akan disembuhkanNya. Namun kalau takdirNya menghendaki ia mati maka ia akan dimatikanNya.

Keduanya sama-sama berharap pada Tuhannya, melalui jalan yang berbeda.

Yang pertama berusaha menggapai kesembuhanNya melalui jalan kesembuhan yang ada didepannya. Ia mencari jalan itu sebaik-baiknya sesuai dengan kemampuan dan kapasitas ilmunya. Setelah itu ia memasrahkan hasilnya. Seandainya ada tiga orang dokter dan ia memilih dokter yang pertama, maka keputusan memilih dokter yang pertama itu mestilah didasarkan pada kemampuan dan kapasitas ilmunya. Sementara yang kedua berusaha menggapai kesembuhanNya tanpa melakukan apa-apa. Semata-mata menyerahkan segala urusan kepada takdirNya yang akan bekerja pada dirinya.

Kedua jalan ini baik, apabila diyakini sesuai dengan kapasitas keyakinannya.

Namun, jalan keilmuan ayah adalah jalan yang pertama. Yakni jalan yang harus diperjuangkan. Jalan yang harus dilewati dengan ikhtiar maksimal, ikhtiar terbaik. Jalan yang harus dilewati dengan kecerdasan, latihan-latihan terbaik, dan ikhtiar yang juga terbaik.", jawab ayah dengan serius.

Aku mengangguk setuju.

"Ayah tidak bisa memaksakan mereka yang hanya duduk berdiam diri menunggu takdirNya. Sifat ilmu yang ayah pelajari dan yang saat ini kamu pelajari tidak demikian adanya. Segala sesuatu harus diperjuangkan. Jika pada contoh yang ayah katakan tadi ternyata manakala disaat berjuang dengan ikhtiar terbaik lalu Allah memberikan takdir kematian kepadanya maka ketahuilah bahwa orang-orang itu akan masuk kepada golongan orang-orang yang sedang berhijrah menuju kebaikan. Ini adalah semata-mata pilihan yang dijalani.

Jika Aa perhatikan, bahwa dalam setiap keilmuan ini adalah sebuah latihan yang harus selalu dijalani. Latihan ini bertujuan untuk menguji sejauh mana kekuatan niatmu, keteguhan tekadmu, untuk berjalan menuju tujuan yang kamu inginkan dengan ikhtiar maksimal.", lanjut ayah.

Aku kembali mengangguk setuju.

Aku melihat pandangan ayah mengarah pada baju yang saat ini masih menancap di tanah dekat tempat ayah berdiri tadi. Akupun tanpa sadar ikut menoleh kesana.

"Ayah, bolehkah Aa mendengar kisah perjalanan dibalik luka-luka di tubuh ayah yah?", tanyaku penasaran.

Aku memang ingin mendengar kisah-kisah perjalanan dibalik semua bekas luka di tubuh ayahku. Sebab ayah selalu berkata bahwa hendaklah kita mendengar kisah-kisah mengenai orang-orang yang memiliki keutamaan atau bisa juga orang-orang yang memiliki hikmah. Sebab hal itu termasuk kemuliaan dan padanya terdapat kedudukan dan kenikmatan bagi jiwa.

Aku melihat ayah tersenyum mengangguk.

"Baiklah. Ayah akan mulai dari luka sobek didekat ibu jari kanan ayah ini", jawab ayah sambil tangannya menunjuk ke arah bekas luka di dekat punggung tangan dekat ibu jari.

(bersambung)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun